"Keke belum bangun, Jang?" tanya Pak Iwan. Bujang duduk di kursi kayu sambil melihat Pak Iwan yang menganyam rotan. Sepertinya Pak Bujang tengah membuat tudung saji.Sejak perdebatan tadi, Keke belum mau bicara sepatah kata pun, dia malah menghabiskan waktu untuk tidur, tanpa mandi, tanpa berniat membuka selimut sedikit pun."Masih, mungkin nggak enak badan.""Ibu rasa, Keke memang sudah berisi," sahut Ibu Keke sambil meletakkan dua gelas kopi dan sepiring goreng pisang di dekat Pak Iwan. Tanpa menunggu lama, Pak Iwan mencomot satu goreng pisang yang masih panas itu."Iya, tadi sudah kami tes, dan alhamdulilah, positif." Bujang tak punya alasan untuk menyembunyikan kenyataan itu, bagaimanapun, wanita yang pernah melahirkan dan punya anak, bisa melihat ciri-ciri orang hamil. Bujang pernah mendengar itu, tapi entah kapan."Alhamdulillah," sahut Pak Iwan dan istrinya dengan wajah berbinar."Tapi Keke melarang saya memberi tahu. Katanya biar kejutan." Bujang menambahkan."Sebenarnya pas k
Bagi Bujang, Keke itu bagaikan gula yang selalu manis, kehadirannya menjadi candu dan membuat hidup Bujang lebih bewarna. Keke mengenalkan berbagai rasa pada dirinya, rasa cinta, rasa sayang, rasa rindu dan rasa cemburu. Keke ibarat magnet yang menarik dirinya untuk selalu mendekat, tak ingin berjauhan bahkan untuk waktu yang sebentar.Kadang Bujang tak percaya bisa berjodoh dengan Keke, sang Primadona kampung yang menjadi buah bibir setiap orang. Padahal, selama ini Bujang sudah tak begitu berambisi lagi untuk menikah, kalau pun ada wanita sederhana yang mau menjadi istrinya, dia akan menerima dengan tangan terbuka, tapi Tuhan malah memberikan Keke sebagai pendampingnya, seakan Keke adalah hadiah karena kesabaran dan keikhlasannya selama ini yang telah menerima takdir.Bujang tak bisa melepaskan matanya dari wajah cantik itu, wajah berseri yang berdiri di antara kerumunan orang yang menonton pertunjukan Tambua Tansa. Keke begitu menikmati, dia berada tak jauh dari kelompok pemain Tam
Keke mendapatkan tawaran kerja sebagai guru honorer di SD N 49 yang tak jauh dari rumah. Sekolah itu terletak di perbatasan desa, cukup ditempuh dengan mengendarai motor selama sepuluh menit melewati jalan menurun dan berkerikil.Sekolah negeri itu baru diresmikan oleh pemerintah tiga tahun yang lalu, jadi angkatan pertama masih duduk di kelas tiga. Seluruh murid berjumlah enam puluh orang, sepuluh orang guru yang rata-rata Pegawai Negri Sipil.Keke diminta mengajar ilmu komputer di kelas satu sampai kelas tiga. Jamnya tidak banyak, hanya enam jam seminggu, setidaknya Keke bisa mencari kesibukan lain selain mengurus rumah.Kandungan Keke sudah berusia tujuh bulan, tapi besarnya sudah seperti sembilan bulan. Namun, dia bukanlah wanita hamil yang malas bergerak, bahkan jika perkerjaan rumah selesai, dia membantu mengecat perabot buatan Bujang. Keke sangat senang saat keinginannya untuk bekerja disetujui oleh Bujang. Selain jaraknya dekat dengan rumah, Keke hanya perlu datang di jam men
"Bang, panas!" Keluh Keke, padahal kipas angin telah dinyalakan dengan level tertinggi. Dari tadi dia mencari posisi yang nyaman, tapi belum juga didapatkannya. Belum lagi rasa gatal yang teramat sangat di kulitnya jika kena keringat. Bujang selalu mencegah Keke jika Keke menggaruk menggunakan kukunya, Bujang dengan sabar menggunakan kain sebagai pembatas antara kuku dan kulit Keke jika membantu menggaruk perut besar itu.Bujang yang tadi sudah mulai tertidur bangun lagi. Dia bangkit, Keke masih belum tidur juga. Dia bergerak gelisah ke kiri dan ke kanan dari tadi, sehingga tempat tidur berderit terus.Memang, di usia kehamilannya yang ke sembilan bulan, semakin sulit bagi Keke untuk tidur malam. Dia tidur sambil duduk, satu lagi, hanya mengenakan sarung seperti kemben karena kepanasan. Kadang Bujang geleng-geleng, namun dia memaklumi, perasaan tak nyaman itu hanya Keke yang merasakannya."Besok kita pada AC saja ya, Ke." Bujang memaksa mata beratnya terbuka sempurna. Kalau baginya, u
Anak adalah harta yang tak bisa dinilai harganya. Dia bukan materi yang bisa dicari dengan cara usaha yang menghasilkan untung rugi, tapi hanya orang yang dipercayakan oleh yang Maha kuasa yang akan memilikinya. Ucapan syukur tak putus-putus terucap dari bibir Bujang, bayi kembar mereka tengah dimandikan oleh perawat, dua perawat sekaligus turun tangan memandikan, bahkan perawat yang berbadan gemuk, mendapatkan jatah tembakan kencing pagi dari bayi laki-laki mereka."Haha, dapat jatah kamu, Wit." Rekannya menertawakan perawat yang dipanggil Wit itu. Dia hanya membalas dengan senyum kalem.Bayi kembar Bujang dan Keke mengeluatkan suara tangisnya, mereka bertanding mengeluarkan suara tangis siapa yang paling keras. Dan hasilnya, dimenangkan bayi perempuan. Sedangkan bayi laki-laki diam sendiri karena kalah suara."Bu Keke sudah bisa dimandikan, ini sarapannya, ini obatnya ya, Pak!" kata perawat pada Bujang.Buang melirik bayi mereka, bayi kembar itu, menghabiskan malam dengan begadang
Tujuh tahun yang laluKamar berukuran lima kali enam meter, dengan jendala yang menghadap ke matahari terbit. Di sebuah tempat tidur itu, sosok tubuh tidur menghadap ke jendela. Sesakali air mata meleleh di pipinya.Dia bukannya wanita pemalas yang suka tidur dari pada bekerja. Namun, kabar kali ini membuat persendiannya lemah. Dia kecewa dan bersedih.Dia hanya wanita tua yang memiliki anak tunggal dan tak memiliki saudara. Anak tunggalnya pun adalah laki-laki. Bukan dia tak mau memiliki anak yang banyak, tapi mungkin dia kurang subur sebagai wanita, karena untuk mendapatkan Bujang saja dia harus berobat terlebih dahulu.Wanita yang berusia sekitar enam puluhan itu menoleh saat ada sentuhan lembut di bahunya. Dia bukannya tak tau bahwa seseorang telah masuk ke kamarnya, tapi dia merasa enggan menoleh."Bu," suara besar tapi terkesan penuh kasih itu adalah milik putranya. "Aku ingin bicara."Wanita yang tak lain adalah ibunya Bujang itu bangun dari pembaringannya. Menatap wajah lelah
Selama empat puluh hari, ibu Keke bolak balik ke rumah membantu semua pekerjaan rumah. Sebenarnya Bujang tipe laki-laki yang telaten, bahkan sudah dua Minggu si kembar dimandikan oleh Bujang, awalnya Keke merasa ngeri sendiri, Bujang terbiasa memegang kapak, alat pertukangan dan kayu, dia khawatir bayi yang masih merah itu akan remuk di tangan Bujang, tapi Bujang sangat gigih untuk belajar, karena tak mau terlalu merepotkan mertuanya.Di hari keempat puluh satu, ibu Keke tak datang lagi, menurut kebiasaan orang masyarakat, di hari keempat puluh satu itu wanita yang baru melahirkan bisa dikatan 'keras', atau sudah bisa bekerja sedikit karena darah nifas sudah selesai. Sedangkan selama empat puluh hari sebelumnya, wanita yang habis melahirkan tak boleh melakukan apa-apa, hanya menyusui anak.Saat ini mereka tengah menggendong bayi mereka, bayi perempuan yang diberi nama Adelia, dan laki-laki diberi nama Adelio. Sebenarnya awal pemberian nama itu, Bujang kurang setuju, dia menganggap nam
"Sebentaaaar," seru Keke. Dia tengah berkutat di dapur, sementara Delia dan Delio digendong di kiri dan kanan Bujang. Delio menangis keras, sedangkan Delia menatap saudara kembarnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca."Masih lama, Ke?" tanya Bujang yang mulai kebingungan mendiamkan Delio, Delio semakin menggeliat dan suara tangisnya bertambah keras.Delia ditaruh oleh Bujang di dalam box bayi. Delia malah menangis keras, bahkan lebih keras dari suara Delio, akhirnya Bujang mengambil Delia kembali. "Dua-duanya menangis," kata Bujang bicara sendiri. Ternyata mengasuh anak itu tidak mudah, bahkan sehari ini Bujang belum menyentuh kayu sama sekali."Sedikit lagi cabenya matang," sahut Keke dari dapur. Keke bahkan tak fokus. "Ya ampun, sayurnya kehabisan air.""Matikan saja dulu api kompornya, nanti lanjut masak lagi.""Kita belum makan siang," sahut Keke frustasi."Susukan Delio dulu, biar aku yang menggantikan di dapur.""Ayo! Sini, gantian, ya!" kata Keke mengambil Delio lebih dulu, k