Dan untuk menyelamatkan harga dirinya, tentu menutupi kebenaran adalah jalan keluarnya. Lagi pula, Baek tidak mungkin bertemu Cahaya lagi, seperti dirinya yang entah bisa bertemu lagi atau tidak. "Iya, dia anakku. Kim A Ya." Kim menjawab seperlunya, memang benarkan A Ya anaknya? Walau bukan Cahaya ibunya. Tidak ada yang tau juga kalau saat ini dia sedang berbohong. 'Terserah!'"Wah, saking cintanya kamu sampai menamai anakmu dengan nama panggilan ibunya." Baek tertawa, mengingat panggilan Cahaya dulu. Baek ikut duduk di sebelah Kim dengan terus mengawasi A Ya yang terlihat begitu menggemaskan. "Cahaya kemana? Kenapa tidak ikut?" Baek mengalihkan perhatian pada Kim, kembali berbincang dengan Kim. "Tidak." "Kenapa?""Dia … di Indonesia." Kim tak berani menatap mata Baek, dia lebih memilih melihat A Ya agar kebohongannya tidak terbuka. "Ah, sedang pulang ternyata. Sendiri? Kenapa kalian tidak ikut?" Baek semakin penasaran, mencoba menggali tanpa bermaksud mencari informasi, hanya s
Raja terkejut begitu pulang kerja menemukan kedua orang tuanya ada di rumah Khadijah. Apalagi Mukta--sang ibu-- malah memukul punggungnya berkali-kali saat mereka berpelukan, terlihat gemas dengan apa yang sudah dilakukan anak sulungnya. "Aww! Ummi sakit!" rajuk Raja manja, selalu seperti itu. Saat dia berada dalam pelukan Mukta, maka Raja akan berubah menjadi sosok yang sangat jauh berbeda. "Biarin! Biarin! Kenapa tidak bilang-bilang kalau kamu punya rencana seperti itu? Apa Ummi sudah tidak kamu anggap perlu pendapatnya? Hingga berniat melamar gadis itu pun kamu tidak bilang, A?" cecar Mukta berang, walau sebenarnya dia sangat senang mendengar kabar dari Khadijah, kalau Raja berniat untuk melamar Cahaya. Dan Raja tentu saja tau siapa tersangkanya. Khadijah. Dan tatapan tajam pun Raja layangkan, pada wanita hamil yang tengah puas tersenyum tanpa merasa bersalah sama sekali. Raja memang sudah melarang Khadijah untuk memberitahukan hal itu pada ibunya, karena Raja yang akan mengata
"Kepo!" Raja pun menderap langkah meninggalkan ruang tengah rumah Khadijah menuju kamarnya, sementara Khadijah dan Mukta bertukar pandangan meminta jawaban. Syena yang masuk bersama Denni, tangannya penuh dengan barang belanjaan yang baru dibelinya, celoteh riang dari bibirnya tak henti menanyakan apa saja, pada sang kakek yang begitu sabar memberikan jawaban yang bisa dipahami gadis kecil itu. "Banyak sekali belanjaan Syena? Ingat loh, nggak boleh makan coklat terlalu banyak. Nanti giginya sak... ""Kittt!" Syena langsung melengkapi perkataan Khadijah, begitu membongkar kantong plastik yang dia bawa, dan coklatlah kebanyakan yang dibeli Syena. "Bapak dituruti saja Syena beli coklat segini banyaknya?" Mukta sedikit menyalahkan suaminya, yang terlihat santai saja melihat istri dan anaknya protes karena dia memanjakan Syena dengan membelikan begitu banyak coklat. "Syena sudah janji ya, sama Abah tidak langsung dimakan semua?" Denni malah bertanya pada Syena yang meminta Khadijah unt
Namun belum juga Binar meninggalkan Cahaya, sebuah mobil memasuki pekarangan rumahnya yang memang tidak di pagar, diikuti mobil lain di belakangnya, membuat Binar dan Cahaya saling pandang dengan wajah semakin terlihat panik. "Nar, mereka sudah datang!" kata Cahaya dengan mata menatap pada mobil yang dia kenali sebagai milik Raja. "Bagaimana ini?" "Nggak tahu, Teh." Binar juga tidak kalah kalutnya seperti Cahaya, apalagi melihat dua mobil yang datang. "Kita belum sedia apa-apa." "Gimana atuh, Teh?" Keduanya hanya saling pandang sampai Raja keluar dari dalam mobil, dan tersenyum manis pada kekasih hati. "Bapak! Cari bapak, Binar! Cepetan!" akal sehat Cahaya kembali, setelah melihat senyuman Raja. Dan secepat dia bisa, Binar bergerak meninggalkan Cahaya menuju rumah Epon yang bersebelahan, dengan hanya terhalang pagar hidup setinggi setengah meter. Raja yang baru turun merasa heran dengan Binar, yang dia kira akan menghampiri malah beranjak pergi. "Nar? Mau kemana?" tany
"Pak! Bapak?!" tergesa Binar memasuki rumah Epon yang pintunya terbuka lebar, Hadi yang tengah berbincang dengan Ade langsung berdiri begitu mendengar Binar memanggilnya dengan panik, terbayang keadaan Rosita yang melintas di benaknya. "Kenapa, Nar? Ada apa?""Pulang, Pak ... cepat!"Dan Hadi langsung beranjak bangun dan berlari menuju rumahnya. Begitu pun Epon dan Ade, mereka menyusul para orang tua itu keluar dari rumah, tak lupa menutup pintu. Hadi terdiam begitu melihat dua mobil, dan beberapa orang yang sedang disambut Cahaya di pekarangan, dengan salah seorang darinya sudah dia kenal, Raja. Begitu pula Ade dan Epon, yang langsung menghentikan langkah di belakang Hadi yang mematung. "Di, mereka?" Hadi menoleh pada Ade, lalu kembali melihat ke arah Raja yang kini sudah menyadari keberadaannya. Tersadar kalau yang datang adalah keluarga Raja, Hadi mengajak Ade dan Epon untuk menyambut kedatangan mereka. "Mereka keluarganya Raja, Kang! Ayo, temani menyapa."Raja yang melihat k
Mereka memasuki ruang tamu dan dipersilahkan duduk, tak lama Binar menyusul dengan tangan kerepotan, membawa segala macam oleh-oleh dalam kantung plastik, dan kotak makanan. "Ummi, ini apa? Kenapa jadi tamu yang membawa sajian bukan tuan rumah?" Cahaya bertanya Pada Mukta, yang tersenyum menanggapi kecanggungannya. "Kami bukan tamu. Tapi keluarga.""Eh, iya. Tapi ....""Sudahlah, jangan merasa tidak enak seperti itu, Sayang." Mukta mengusap tangan Cahaya. "Duh, kami merepotkan jadinya Pak, Bu. Bukannya menjamu," kata Hadi yang juga merasakan canggung. "Tidak apa-apa, Pak." Denni menjawab kecanggungan Hadi, yang masih berdiri memperhatikan barang bawaan yang diangkut masuk. "Hanya oleh-oleh ala kadarnya.""Pak! Teteh!" suara Rosita terdengar dari ruang tengah yang hanya tersekat Bufet pajangan, menghentikan percakapan mereka serempak. Cahaya dan Hadi saling tatap, bertanya siapa yang akan memenuhi panggilan Rosita. Dan Hadi mengisyaratkan Cahaya untuk menemui ibunya. Cahaya menga
Kedua keluarga itu pun berkumpul di ruang tengah tempat Rosita berbaring, selepas melaksanakan sholat magrib yang mana para lelaki pergi ke masjid terdekat, mereka menikmati makan malam yang sudah dibawa Mukta. Senyum penuh kebahagiaan terus terukir di wajah kedua wanita paruh baya yang baru saja bertemu itu, keduanya seakan sehati, dan langsung akrab begitu saja. Dan si kecil Syena malah terus menempel pada Binar tak ingin berjauhan, kemana Binar melangkah, maka Syena langsung mengekori. Khadijah sendiri juga heran melihat putrinya bertingkah seperti itu, Syena bukanlah anak yang gampang akrab dengan orang baru. Tapi dengan Binar, Syena seakan tidak bisa dipisahkan. Seperti saat ini, saat yang lain sedang membahas rencana untuk hari Minggu nanti. Syena yang duduk nyaman di pangkuan Binar, meminta remaja yang beranjak dewasa itu untuk menyuapinya. Gadis lima tahun itu terus merengek saat Binar telat memasukkan kue yang ingin dimakannya, sewaktu Binar kembali fokus mendengarkan renca
"Ini kalian berdua ngobrolin apaan, sih? Kok, girang bener?" Raja yang duduk berdekatan dengan Binar, menghentikan gedoran tak seharusnya di dada Binar. Namun jawaban yang diberikan Syena pada Raja, bahkan menghentak lebih kuat dadanya, yang seakan organ tubuh yang berdegup itu terlepas. "Papa, kata Om Nar, nanti kalau Enna sudah besar, Om Nar mau menikah sama Enna. Boleh kan, Pa?"Raja terkekeh mendengar pertanyaan keponakannya itu, mengacak pelan puncak kepala Syena tanpa menjawab. "Ih, Papa malah acak rambut Enna! Nanti Enna terlihat jelek loh sama Om Nar!" protes Syena menepis tangan Raja yang singgah di kepalanya. Raja pun tertawa. "Iya, Maaf. Sini Papa rapikan lagi?" "Nggak mau, sama Om Nar saja!" tolak Syena, tak perduli dengan hati Binar yang saat ini semakin tak menentu. Dan Raja memilih kembali fokus pada percakapan para orang tua, yang sedang membahas hari bahagianya dengan Cahaya. Sesekali Raja melemparkan tatapan penuh pemujaan pada Cahaya, tersenyum manis, membuat s