"Kepo!" Raja pun menderap langkah meninggalkan ruang tengah rumah Khadijah menuju kamarnya, sementara Khadijah dan Mukta bertukar pandangan meminta jawaban. Syena yang masuk bersama Denni, tangannya penuh dengan barang belanjaan yang baru dibelinya, celoteh riang dari bibirnya tak henti menanyakan apa saja, pada sang kakek yang begitu sabar memberikan jawaban yang bisa dipahami gadis kecil itu. "Banyak sekali belanjaan Syena? Ingat loh, nggak boleh makan coklat terlalu banyak. Nanti giginya sak... ""Kittt!" Syena langsung melengkapi perkataan Khadijah, begitu membongkar kantong plastik yang dia bawa, dan coklatlah kebanyakan yang dibeli Syena. "Bapak dituruti saja Syena beli coklat segini banyaknya?" Mukta sedikit menyalahkan suaminya, yang terlihat santai saja melihat istri dan anaknya protes karena dia memanjakan Syena dengan membelikan begitu banyak coklat. "Syena sudah janji ya, sama Abah tidak langsung dimakan semua?" Denni malah bertanya pada Syena yang meminta Khadijah unt
Namun belum juga Binar meninggalkan Cahaya, sebuah mobil memasuki pekarangan rumahnya yang memang tidak di pagar, diikuti mobil lain di belakangnya, membuat Binar dan Cahaya saling pandang dengan wajah semakin terlihat panik. "Nar, mereka sudah datang!" kata Cahaya dengan mata menatap pada mobil yang dia kenali sebagai milik Raja. "Bagaimana ini?" "Nggak tahu, Teh." Binar juga tidak kalah kalutnya seperti Cahaya, apalagi melihat dua mobil yang datang. "Kita belum sedia apa-apa." "Gimana atuh, Teh?" Keduanya hanya saling pandang sampai Raja keluar dari dalam mobil, dan tersenyum manis pada kekasih hati. "Bapak! Cari bapak, Binar! Cepetan!" akal sehat Cahaya kembali, setelah melihat senyuman Raja. Dan secepat dia bisa, Binar bergerak meninggalkan Cahaya menuju rumah Epon yang bersebelahan, dengan hanya terhalang pagar hidup setinggi setengah meter. Raja yang baru turun merasa heran dengan Binar, yang dia kira akan menghampiri malah beranjak pergi. "Nar? Mau kemana?" tany
"Pak! Bapak?!" tergesa Binar memasuki rumah Epon yang pintunya terbuka lebar, Hadi yang tengah berbincang dengan Ade langsung berdiri begitu mendengar Binar memanggilnya dengan panik, terbayang keadaan Rosita yang melintas di benaknya. "Kenapa, Nar? Ada apa?""Pulang, Pak ... cepat!"Dan Hadi langsung beranjak bangun dan berlari menuju rumahnya. Begitu pun Epon dan Ade, mereka menyusul para orang tua itu keluar dari rumah, tak lupa menutup pintu. Hadi terdiam begitu melihat dua mobil, dan beberapa orang yang sedang disambut Cahaya di pekarangan, dengan salah seorang darinya sudah dia kenal, Raja. Begitu pula Ade dan Epon, yang langsung menghentikan langkah di belakang Hadi yang mematung. "Di, mereka?" Hadi menoleh pada Ade, lalu kembali melihat ke arah Raja yang kini sudah menyadari keberadaannya. Tersadar kalau yang datang adalah keluarga Raja, Hadi mengajak Ade dan Epon untuk menyambut kedatangan mereka. "Mereka keluarganya Raja, Kang! Ayo, temani menyapa."Raja yang melihat k
Mereka memasuki ruang tamu dan dipersilahkan duduk, tak lama Binar menyusul dengan tangan kerepotan, membawa segala macam oleh-oleh dalam kantung plastik, dan kotak makanan. "Ummi, ini apa? Kenapa jadi tamu yang membawa sajian bukan tuan rumah?" Cahaya bertanya Pada Mukta, yang tersenyum menanggapi kecanggungannya. "Kami bukan tamu. Tapi keluarga.""Eh, iya. Tapi ....""Sudahlah, jangan merasa tidak enak seperti itu, Sayang." Mukta mengusap tangan Cahaya. "Duh, kami merepotkan jadinya Pak, Bu. Bukannya menjamu," kata Hadi yang juga merasakan canggung. "Tidak apa-apa, Pak." Denni menjawab kecanggungan Hadi, yang masih berdiri memperhatikan barang bawaan yang diangkut masuk. "Hanya oleh-oleh ala kadarnya.""Pak! Teteh!" suara Rosita terdengar dari ruang tengah yang hanya tersekat Bufet pajangan, menghentikan percakapan mereka serempak. Cahaya dan Hadi saling tatap, bertanya siapa yang akan memenuhi panggilan Rosita. Dan Hadi mengisyaratkan Cahaya untuk menemui ibunya. Cahaya menga
Kedua keluarga itu pun berkumpul di ruang tengah tempat Rosita berbaring, selepas melaksanakan sholat magrib yang mana para lelaki pergi ke masjid terdekat, mereka menikmati makan malam yang sudah dibawa Mukta. Senyum penuh kebahagiaan terus terukir di wajah kedua wanita paruh baya yang baru saja bertemu itu, keduanya seakan sehati, dan langsung akrab begitu saja. Dan si kecil Syena malah terus menempel pada Binar tak ingin berjauhan, kemana Binar melangkah, maka Syena langsung mengekori. Khadijah sendiri juga heran melihat putrinya bertingkah seperti itu, Syena bukanlah anak yang gampang akrab dengan orang baru. Tapi dengan Binar, Syena seakan tidak bisa dipisahkan. Seperti saat ini, saat yang lain sedang membahas rencana untuk hari Minggu nanti. Syena yang duduk nyaman di pangkuan Binar, meminta remaja yang beranjak dewasa itu untuk menyuapinya. Gadis lima tahun itu terus merengek saat Binar telat memasukkan kue yang ingin dimakannya, sewaktu Binar kembali fokus mendengarkan renca
"Ini kalian berdua ngobrolin apaan, sih? Kok, girang bener?" Raja yang duduk berdekatan dengan Binar, menghentikan gedoran tak seharusnya di dada Binar. Namun jawaban yang diberikan Syena pada Raja, bahkan menghentak lebih kuat dadanya, yang seakan organ tubuh yang berdegup itu terlepas. "Papa, kata Om Nar, nanti kalau Enna sudah besar, Om Nar mau menikah sama Enna. Boleh kan, Pa?"Raja terkekeh mendengar pertanyaan keponakannya itu, mengacak pelan puncak kepala Syena tanpa menjawab. "Ih, Papa malah acak rambut Enna! Nanti Enna terlihat jelek loh sama Om Nar!" protes Syena menepis tangan Raja yang singgah di kepalanya. Raja pun tertawa. "Iya, Maaf. Sini Papa rapikan lagi?" "Nggak mau, sama Om Nar saja!" tolak Syena, tak perduli dengan hati Binar yang saat ini semakin tak menentu. Dan Raja memilih kembali fokus pada percakapan para orang tua, yang sedang membahas hari bahagianya dengan Cahaya. Sesekali Raja melemparkan tatapan penuh pemujaan pada Cahaya, tersenyum manis, membuat s
"Saya ... saya tidak bisa." Cahaya menjeda kalimatnya, membiarkan sinar kekecewaan di mata Raja terlihat mendengar perkataannya, dan suasana semakin terasa mencekam, menunggu Cahaya melanjutkan perkataannya. Cahaya ingin sekali tertawa, melihat Raja yang sudah kehilangan fokusnya. "Saya tidak bisa menolak ... saya menerima lamaran ini." Cahaya menundukkan kepala, setelah mengatakan itu. Setelahnya, ucapan syukur terdengar di ruangan itu dari tiap bibir yang menjadi saksi, sementara Raja yang kehilangan fokus karena perkataan awal Cahaya, Raja sibuk menekan rasa kecewa yang menyangka Cahaya kembali menolaknya. "Loh, kok A Raja kayak yang nggak seneng gitu, ya?" Khadijah menepuk tangan Raja yang terhalang oleh Farhat duduknya, membuat semua orang melihat pada Raja. Raja tersentak kaget, menoleh pada Khadijah yang menatap heran padanya. "Gimana mau seneng, Khadi? Orang ditolak lagi!" ujar Raja lirih, namun jelas terdengar semua orang, dan mereka langsung saling pandang tak mengerti
"Karena belum ada cincin pengikatnya, untuk sementara pakai ini dulu, Sayang. Ini adalah cincin warisan turun temurun keluarga besar Subrata, yang diberikan pada calon istri anak lelaki pertama, atau yang paling besar. Dan Cahaya, Sayang. Hari ini tanggung jawab Ummi menjaga cincin pusaka keluarga Subrata, berpindah padamu. Berikan nanti cincin ini, pada anak lelaki paling besar kalian." Mukta melepas cincin yang melingkari jari tangannya, memberikan pada Raja untuk disematkan pada Cahaya. Raja menerima cincin yang masih terlihat berkilau itu, karena Mukta yang rajin merawatnya, cincin bermata satu dengan warna biru yang berkilauan saat tertimpa sinar lampu. Raja mengulurkan tangan, meminta Cahaya meletakkan tangannya di atas telapak tangan kirinya. Dan Khadijah tidak ingin kehilangan momen penting yang tidak direncanakan sama sekali itu, dengan mengabadikannya lewat kamera ponselnya. Cahaya meletakkan tangan kirinya di atas tangan Raja dengan senyum malu. "Cahaya Kamila, Sayang ..