Mereka memasuki ruang tamu dan dipersilahkan duduk, tak lama Binar menyusul dengan tangan kerepotan, membawa segala macam oleh-oleh dalam kantung plastik, dan kotak makanan. "Ummi, ini apa? Kenapa jadi tamu yang membawa sajian bukan tuan rumah?" Cahaya bertanya Pada Mukta, yang tersenyum menanggapi kecanggungannya. "Kami bukan tamu. Tapi keluarga.""Eh, iya. Tapi ....""Sudahlah, jangan merasa tidak enak seperti itu, Sayang." Mukta mengusap tangan Cahaya. "Duh, kami merepotkan jadinya Pak, Bu. Bukannya menjamu," kata Hadi yang juga merasakan canggung. "Tidak apa-apa, Pak." Denni menjawab kecanggungan Hadi, yang masih berdiri memperhatikan barang bawaan yang diangkut masuk. "Hanya oleh-oleh ala kadarnya.""Pak! Teteh!" suara Rosita terdengar dari ruang tengah yang hanya tersekat Bufet pajangan, menghentikan percakapan mereka serempak. Cahaya dan Hadi saling tatap, bertanya siapa yang akan memenuhi panggilan Rosita. Dan Hadi mengisyaratkan Cahaya untuk menemui ibunya. Cahaya menga
Kedua keluarga itu pun berkumpul di ruang tengah tempat Rosita berbaring, selepas melaksanakan sholat magrib yang mana para lelaki pergi ke masjid terdekat, mereka menikmati makan malam yang sudah dibawa Mukta. Senyum penuh kebahagiaan terus terukir di wajah kedua wanita paruh baya yang baru saja bertemu itu, keduanya seakan sehati, dan langsung akrab begitu saja. Dan si kecil Syena malah terus menempel pada Binar tak ingin berjauhan, kemana Binar melangkah, maka Syena langsung mengekori. Khadijah sendiri juga heran melihat putrinya bertingkah seperti itu, Syena bukanlah anak yang gampang akrab dengan orang baru. Tapi dengan Binar, Syena seakan tidak bisa dipisahkan. Seperti saat ini, saat yang lain sedang membahas rencana untuk hari Minggu nanti. Syena yang duduk nyaman di pangkuan Binar, meminta remaja yang beranjak dewasa itu untuk menyuapinya. Gadis lima tahun itu terus merengek saat Binar telat memasukkan kue yang ingin dimakannya, sewaktu Binar kembali fokus mendengarkan renca
"Ini kalian berdua ngobrolin apaan, sih? Kok, girang bener?" Raja yang duduk berdekatan dengan Binar, menghentikan gedoran tak seharusnya di dada Binar. Namun jawaban yang diberikan Syena pada Raja, bahkan menghentak lebih kuat dadanya, yang seakan organ tubuh yang berdegup itu terlepas. "Papa, kata Om Nar, nanti kalau Enna sudah besar, Om Nar mau menikah sama Enna. Boleh kan, Pa?"Raja terkekeh mendengar pertanyaan keponakannya itu, mengacak pelan puncak kepala Syena tanpa menjawab. "Ih, Papa malah acak rambut Enna! Nanti Enna terlihat jelek loh sama Om Nar!" protes Syena menepis tangan Raja yang singgah di kepalanya. Raja pun tertawa. "Iya, Maaf. Sini Papa rapikan lagi?" "Nggak mau, sama Om Nar saja!" tolak Syena, tak perduli dengan hati Binar yang saat ini semakin tak menentu. Dan Raja memilih kembali fokus pada percakapan para orang tua, yang sedang membahas hari bahagianya dengan Cahaya. Sesekali Raja melemparkan tatapan penuh pemujaan pada Cahaya, tersenyum manis, membuat s
"Saya ... saya tidak bisa." Cahaya menjeda kalimatnya, membiarkan sinar kekecewaan di mata Raja terlihat mendengar perkataannya, dan suasana semakin terasa mencekam, menunggu Cahaya melanjutkan perkataannya. Cahaya ingin sekali tertawa, melihat Raja yang sudah kehilangan fokusnya. "Saya tidak bisa menolak ... saya menerima lamaran ini." Cahaya menundukkan kepala, setelah mengatakan itu. Setelahnya, ucapan syukur terdengar di ruangan itu dari tiap bibir yang menjadi saksi, sementara Raja yang kehilangan fokus karena perkataan awal Cahaya, Raja sibuk menekan rasa kecewa yang menyangka Cahaya kembali menolaknya. "Loh, kok A Raja kayak yang nggak seneng gitu, ya?" Khadijah menepuk tangan Raja yang terhalang oleh Farhat duduknya, membuat semua orang melihat pada Raja. Raja tersentak kaget, menoleh pada Khadijah yang menatap heran padanya. "Gimana mau seneng, Khadi? Orang ditolak lagi!" ujar Raja lirih, namun jelas terdengar semua orang, dan mereka langsung saling pandang tak mengerti
"Karena belum ada cincin pengikatnya, untuk sementara pakai ini dulu, Sayang. Ini adalah cincin warisan turun temurun keluarga besar Subrata, yang diberikan pada calon istri anak lelaki pertama, atau yang paling besar. Dan Cahaya, Sayang. Hari ini tanggung jawab Ummi menjaga cincin pusaka keluarga Subrata, berpindah padamu. Berikan nanti cincin ini, pada anak lelaki paling besar kalian." Mukta melepas cincin yang melingkari jari tangannya, memberikan pada Raja untuk disematkan pada Cahaya. Raja menerima cincin yang masih terlihat berkilau itu, karena Mukta yang rajin merawatnya, cincin bermata satu dengan warna biru yang berkilauan saat tertimpa sinar lampu. Raja mengulurkan tangan, meminta Cahaya meletakkan tangannya di atas telapak tangan kirinya. Dan Khadijah tidak ingin kehilangan momen penting yang tidak direncanakan sama sekali itu, dengan mengabadikannya lewat kamera ponselnya. Cahaya meletakkan tangan kirinya di atas tangan Raja dengan senyum malu. "Cahaya Kamila, Sayang ..
Dan tepukan gemas tangan Cahaya mendarat di tangan Raja, dia merasa malu dengan tingkah calon suaminya itu. "Nggak boleh, udah cepet keburu malam." Denni menghardik galak, dan Raja hanya pasrah, menyalami Hadi dan yang lainnya dengan malas. "Cahaya masih di sini, Nak Raja,tidak akan kemana-mana," goda Hadi pada calon menantunya itu. "Besok juga ketemu lagi, A. Terus hari Minggu ketemu lagi, tenang saja," timpal Binar ikut menggoda, membuat yang lain tertawa. Akhirnya Raja pun melangkah ke mobil mengikuti Denni, dan Farhat yang sudah lebih dulu masuk kedalam mobilnya. Tangan Cahaya melambai melepas kepergian keluarga Raja, setelah mobil yang dikendarai Farhat lebih dulu keluar, diiringi lengkingan suara Syena memanggil Binar. "Dadah, Om Nar ... Enna pulang dulu, nanti Enna datang lagi, ya ... Enna sayang sama Om Nar!"Binar merasakan desiran itu lagi, desiran aneh namun terasa menyenangkan.Cahaya dan yang lainnya berbalik masuk, setelah mobil Raja tak nampak lagi terhalang pekat
Sang perawan tengah berbunga hatinya. Bahagia itu melingkupi hati, memeluk asa, mendekap rindu yang kini kembali mengetuk kalbu, menerbangkan angan seakan sang pujaan ada bersebelahan. Bahkan saat becermin seakan dia di sana, tersenyum menggoda dengan kerling mata penuh pesona"Hei! Kangen kan?!" "Eh?!" Cahaya mengerjapkan mata, menoleh melihat kebelakang tubuhnya, saat bayang Raja terpantul cermin di depannya. Tak ada! Karena memang itu kenyataannya. Sang pemilik hati tentu saja tidak di sana. Sudah pulang bersama keluarganya, hanya cinta dan hatinya yang tertinggal. Cahaya menutup wajahnya yang tiba-tiba menghangat, merasa malu dengan apa yang kini tengah dirasakannya. Jatuh cinta. Sangat. Sangat jatuh cinta pada Raja. Kemana dia selama ini? Bagaimana bisa dia menyia-yiakan cinta seorang Raja? Bagaimana dengan mudah dia membuang kebahagiaan yang ditawarkan Raja dengan begitu angkuh? Tapi apalah semua tanya itu sekarang? Karena kini kebahagiaan itu kembali diraih, Raja-nya suda
Menarik napas dalam sebelum menerima panggilan Raja, Cahaya menepuk pipinya pelan yang terasa memanas lagi. "Ha-halo, A?" 'Duh, kok gugup sih?'"Halo, Sayang ... sudah tidur?" suara Raja menyapa, terbayang wajah tampan itu tersenyum padanya, dan Cahaya memilih berbaring untuk menyamankan diri, berbincang dengan sang pujaan. "Belum, baru baringan saja. Aa udah nyampe?" "Baringan? Kapan kita bisa baringan bareng, Sayang?" Cahaya semakin merasakan panas di wajahnya. "Dih, apaan sih, A? Ditanya bukannya jawab? Malah ngomongin apa.""Hehehe ... iya, Sayang. Udah nyampe dari setengah jam tadi, terus bersih-bersih. Baru deh hubungi kamu.""Iya. Ummi baik-baik saja kan? Nggak kecapean?" Cahaya mencoba memberikan perhatian untuk calon mertuanya itu. "Ummi baik, semangat sekali malahan. Tadi langsung pesan cincin buat kita, nanti Aa kirim photonya buat kamu pilih model, Sayang.""Nggak usah, A. Gimana bagusnya aja. Aku percaya kok sama pilihan ummi dan kamu.""Nggak bisa gitu juga, Sayang