"Pulang tadi malam, A." Cahaya menjawab dengan senyuman tipis di bibirnya, membuat Yusuf yang masih mendamba cintanya, laksana musafir di padang tandus ditawari setetes air pelepas dahaga, menuntaskan rindu walau hanya sekejap mata bersua. "Tadi malam? Dijemput Binar?" kembali Yusuf membuka percakapan, dia tidak ingin kehilangan kesempatan saat bisa berbicara dengan Cahaya. "Tidak, pulang sendiri." Cahaya menjawab seperlunya, dia belum ingin berbangga hati dengan mengakui kalau dia telah memiliki pujaan hati. Takut dengan kemungkinan, apapun di dunia ini pasti akan berubah tanpa bisa kita hindari. "Sendirian? Naik ojeg? Waduh, bahaya itu. Seharusnya jangan, Ya." Yusuf tersentak kaget, membayangkan Cahaya pulang dengan menggunakan jasa ojeg malam-malam, membuatnya khawatir tanpa bisa dijelaskan. "Cahaya diantar temannya, A Yusuf. Dan alhamdulillah selamat sampe rumah, dan sekarang baik-baik saja bersama kita." Hadi bantu menjelaskan pada Yusuf, dia tahu Cahaya masih enggan mengatak
Senyum Raja terus tersungging di bibir, letupan rasa bahagia begitu semarak dalam dada. Ingin rasanya dia memekik, dan melompat meluapkan kemenangannya kini. Selangkah demi selangkah tujuannya mulai tercapai, dia akan segera memiliki sang pujaan. Ternyata dia tidak salah jalan, menutup hati karena memang tidak bisa melupakan Cahaya, akhirnya akan bermuara bahagia, mereka akan bersatu untuk selamanya, Raja berharap semoga kali ini tidak ada lagi drama yang akan menguras air mata. Raja menoleh sekeliling, beberapa rekan kerja barunya terlihat saling berbisik, dengan sesekali melihat ke arahnya. Raja tahu dia tengah menjadi pusat perhatian, juga perbincangan di kantor, atau mungkin satu perusahaan sekarang. Bagaimana tidak? Dia yang baru saja dua hari kerja, dan menjadi idola karena ketampanan rupa, ternyata calon suami dari seorang senior di perusahaan itu, calon suami dari Cahaya Kamila. Raja meninggalkan kantor menuju mushola yang terletak di dekat departemen Cahaya dan Alya, sepanj
Yusuf segera berlalu dari tempatnya mencuri dengar pembicaraan telepon Cahaya, begitu gadis itu terlihat berdiri. Hatinya berdesir merasakan sakit dan cemburu, ternyata benar Cahaya sudah benar-benar melupakan semua tentangnya. Berbeda dengannya yang masih terpuruk dengan cinta saat memakai seragam putih abu-abu, bahkan dengan kembali menjadi single pun tak bisa membuatnya menarik perhatian Cahaya lagi. Gadis itu benar-benar sudah tak terjangkau.Cinta mereka yang dulu digadang-gadang akan selamanya, ternyata hanya bertahan sesaat saja. Kepergian Cahaya jauh ke negeri orang karena luka yang sengaja ditoreh sang ibu, membuatnya kehilangan cinta yang begitu dia harapkan akan bersama sepanjang hidupnya. Dan kini, kenyataan kalau sang pujaan bersiap menyongsong hidup baru, akankah dia diam dan menerima kekalahan? Atau justru kembali berjuang dengan harapan cinta bukan sekedar khayalan. Cahaya kembali memasuki ruang rawat Rosita, ibunya kini tengah disuapi oleh Hadi. "Sama Aya saja, Pak?
"Alhamdulillah, bisa tidur di kasur sendiri juga, nyaman." Rosita membaringkan tubuhnya perlahan dibantu Cahaya, wajahnya terlihat begitu bahagia, rasa perih yang kadang terasa di bekas luka yang dideritanya, seakan hilang sudah. "Iya alhamdulillah, sekarang Ambu harus banyak makan, dan istirahat biar cepat pulih, minum obat yang teratur juga. Bilang sama Aya, Ambu mau makan apa sekarang? Biar Aya belikan. Karena di rumah tidak ada makanan."Rosita tersenyum menatap wajah cantik anaknya. "Ambu tidak ingin apa-apa. Ambu hanya ingin cepat hari minggu," kekeh Rosita membuat rona di wajah Cahaya, dan membuat Epon yang mendengar percakapan keduanya langsung bertanya. "Mau apa gitu hari Minggu, Ita?" tanya Epon penasaran, apa yang sudah terlewat olehnya mengenai kabar keluarga iparnya itu. Rosita menoleh pada kakak iparnya itu, lalu tersenyum penuh rasa bahagia. "Aya mau dilamar, Teh."Cahaya langsung menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang semakin merona merah, bukti rasa malu
Mengusap pelan wajahnya, Kim kembali melihat penunjuk waktu yang semakin mendekatkannya pada kemarahan seseorang itu, lima menit lagi. Dan dia masih memerlukan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai, dia juga yakin sebentar lagi ibunya pasti menghubungi membawa kabar. "Ah, mianhe." Dan tepat dugaannya, ponselnya berdering mengantarkan nama sang ibu tertera di layar. "Bersiaplah, Kim." memasang headset pada telinga kirinya, Kim mengisi rongga dadanya sebentar sebelum mendengar lengkingan kemarahan. "Yoboseo, Mah!" sapa Kim setelah merasa siap dengan segala kemungkinan. "Young Jin, kamu di mana? Apa kamu lupa dengan janjimu hari ini?" suara lembut Hana terdengar, namun itu sarat peringatan untuk Kim, karena dia tau ada sepasang telinga yang ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Sepasang telinga dengan wajah dipasang cemberut, menunjukkan kekesalan karena dia kembali tidak tepat waktu. "Sepuluh menit lagi sampai, Mah. Tolong bilang padanya." "Baiklah. Kamu dengarkan, Sa
"Aya!" bisik Su Ni lirih, namun Kim masih bisa mendengar jelas apa yang dikatakan Su Ni. "Apa? Apa yang ingin kamu katakan Su Ni?" tanya Kim heran, dia belum paham dengan maksud perkataan Su Ni di ambang batas kesadarannya. Dia terus menderap langkah, membawa tubuh Su Ni keluar dari apartemennya. "Berikan nama Aya pada anak kita, Oppa. Dia perempuan. Anak kita berjenis kelamin perempuan. Berikan nama Aya, seperti gadis yang menjadi impianmu selalu. Aya. Kim A ya." Dan Su Ni pun pingsan setelah mengatakan itu, membiarkan Kim yang tersentak sendiri merenungi semua perkataannya tadi. Kim hanya bisa menunggu dengan rasa khawatir yang begitu besar, sambil menunggu kedatangan orang tuanya juga orang tua Su Ni. Pikirannya melayang pada apa yang diucapkan Su Ni tadi, sebegitu abainya dia pada istri sekaligus sepupunya itu, hingga dia baru mengetahui kalau calon anaknya seorang perempuan. Belum lagi nama yang disebutkan Su Ni untuk dia sematkan pada putri mereka nanti. Aya. Kim A Ya.
Dan untuk menyelamatkan harga dirinya, tentu menutupi kebenaran adalah jalan keluarnya. Lagi pula, Baek tidak mungkin bertemu Cahaya lagi, seperti dirinya yang entah bisa bertemu lagi atau tidak. "Iya, dia anakku. Kim A Ya." Kim menjawab seperlunya, memang benarkan A Ya anaknya? Walau bukan Cahaya ibunya. Tidak ada yang tau juga kalau saat ini dia sedang berbohong. 'Terserah!'"Wah, saking cintanya kamu sampai menamai anakmu dengan nama panggilan ibunya." Baek tertawa, mengingat panggilan Cahaya dulu. Baek ikut duduk di sebelah Kim dengan terus mengawasi A Ya yang terlihat begitu menggemaskan. "Cahaya kemana? Kenapa tidak ikut?" Baek mengalihkan perhatian pada Kim, kembali berbincang dengan Kim. "Tidak." "Kenapa?""Dia … di Indonesia." Kim tak berani menatap mata Baek, dia lebih memilih melihat A Ya agar kebohongannya tidak terbuka. "Ah, sedang pulang ternyata. Sendiri? Kenapa kalian tidak ikut?" Baek semakin penasaran, mencoba menggali tanpa bermaksud mencari informasi, hanya s
Raja terkejut begitu pulang kerja menemukan kedua orang tuanya ada di rumah Khadijah. Apalagi Mukta--sang ibu-- malah memukul punggungnya berkali-kali saat mereka berpelukan, terlihat gemas dengan apa yang sudah dilakukan anak sulungnya. "Aww! Ummi sakit!" rajuk Raja manja, selalu seperti itu. Saat dia berada dalam pelukan Mukta, maka Raja akan berubah menjadi sosok yang sangat jauh berbeda. "Biarin! Biarin! Kenapa tidak bilang-bilang kalau kamu punya rencana seperti itu? Apa Ummi sudah tidak kamu anggap perlu pendapatnya? Hingga berniat melamar gadis itu pun kamu tidak bilang, A?" cecar Mukta berang, walau sebenarnya dia sangat senang mendengar kabar dari Khadijah, kalau Raja berniat untuk melamar Cahaya. Dan Raja tentu saja tau siapa tersangkanya. Khadijah. Dan tatapan tajam pun Raja layangkan, pada wanita hamil yang tengah puas tersenyum tanpa merasa bersalah sama sekali. Raja memang sudah melarang Khadijah untuk memberitahukan hal itu pada ibunya, karena Raja yang akan mengata