Share

Bukan Ibu Tiri Negeri Dongeng
Bukan Ibu Tiri Negeri Dongeng
Penulis: Ricny

Bab 1

"Yara tidak mau ada ibu tiri di rumah ini."

Brukk. Seorang anak perempuan berusia enam belas tahun berteriak dan melemparkan plastik bening berisi dessert box yang sengaja aku bawa.

"Astagfirullah." Hatiku mencelos, tapi tak sampai mengusap dada, aku tahu itu akan membuat mereka lebih tidak menyukaiku.

"Ayyara." Mas Nata memekikan suaranya hingga membuat kami semua yang ada di sana terhentak.

"Jangan kurang ajar," imbuhnya lagi dengan mata melebar bahkan nyaris seperti akan keluar dari tempatnya.

Aku menatapi dessert box coklat yang sudah tercecer mengotori lantai rumah. Padahal sudah susah payah aku membuatnya sendiri untuk acara buka puasa bersama Mas Nata dan anak-anaknya, sekarang dessert boxnya harus terbuang sia-sia begitu saja.

"Yara tidak suka ada orang lain di rumah ini," tegas Ayyara, yang tak lain adalah putri pertama dari Mas Nata-calon suamiku.

"Tante Elia ini bukan orang lain, dia akan jadi mama kalian sebentar lagi, tolong kalian pahami maksud, Papa," bentak Mas Nata tak mau kalah, ia memberi banyak tekanan pada setiap ucapannya.

Ayyara meruncing menyorotkan mata serupa intan permatanya pada kedua bola mata Mas Nata yang tengah menatapnya tajam. Gadis cantik dengan rambut sepunggung dan kulit putih itu seolah tidak merasa takut sedikitpun dengan bentakan yang disemburkan papanya. Sementara di sampingnya, Alvin dan Adira tertunduk ciut saat mendengar suara Mas Nata seperti sedang mengaung-ngaung hingga ke udara.

"Sekarang kalian semua duduk," imbuh Mas Nata lagi, memberi perintah.

Alvin dan Adira segera duduk tanpa membantah lagi, mereka terlihat semakin takut dengan kemarahan Mas Nata kali ini. Sementara Ayyara beringsut menarik kursi makan dan membantingkan bobotnya di sana. Suara ujung kaki kursi makan terdengar mendecit beradu dengan marmer rumah karena saking kerasnya hentakan Ayyara saat membanting bobot, jantungku semakin berdetak tak karuan saat itu juga.

Tak lama terdengar suara Adzan maghrib berkumandang, pertanda kita yang menjalakan ibadah puasa harus segera melepas dahaga.

Anak kedua mas Nata berusia 10 tahun, Alvin segera memimpin membacakan do'a sebelum berbuka puasa.

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

"Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah serta pahala telah tetap, insya Allah."

"Aamiin," ucap kami serempak, mengusap wajah.

Aku mengambil segelas air putih yang telah disediakan bibik di meja makan.

Beberapa kudapan takjil sudah berderet di sana, hampir memenuhi setengah dari meja makan. Kulihat Adira si anak bungsu tampak bersemangat mengambil Es kopyor buatan bibik, diikuti Alvin yang usianya 12 tahun di sampingnya, meski dengan gerakan yang lesu perlahan Alvin menyeruput es kopyor di depannya itu, sesekali kami beradu pandang, matanya yang bulat tajam meruncing seolah menolak keberadaanku ada di sini sekarang.

Sementara Ayyara masih belum mau mengambil apa-apa, ia melipatkan kedua tangan di atas meja dan memalingkan pandangannya ke arah kursi yang kosong. Wajahnya tampak dingin penuh dengan ketidaksukaan padaku, sesekali gadis itu juga menatap dan menghujaniku dengan sorot mata yang menyilet hingga ulu hati.

"Batalkan puasamu," titah Mas Nata kesal memberi perintah pada Ayyara.

"Tidak!" semburnya, memukul meja makan dengan kedua telapak tangannya yang lentik dan bersih.

"Ayyara.!" Mas Nata kembali memekikan suaranya, wajahnya dingin dan kaku.

Tanpa bicara lagi akhirnya Ayyara mereguk segelas air putih hingga tandas, kemudian bangkit dan berlari menaiki anak tangga.

Wajar saja Ayyara, Adira dan Alvin bersikap tak suka padaku, Mas Nata dan ibunya anak-anak baru saja resmi bercerai dua bulan lalu, sekarang Mas Nata sudah membawaku ke rumahnya dengan alasan calon mertuaku yang memintanya agar anak-anaknya segera mengenal dan menerimaku sebagai ibu sambung untuk mereka. Sesuatu yang mungkin akan sedikit sulit diterima oleh anak-anak seusia mereka.

"Astagfirullah, sabar sabar." Kali ini aku mengelus dada saat si sulung itu telah pergi dari hadapan kami.

Alvin dan Adira melihat kakaknya marah dan pergi dari meja makan, mereka segera bersiap hendak mengikutinya.

"Duduk," titah Mas Nata cepat membuat gerakan mereka tercekat.

Adira dan Alvin kembali ke posisinya, duduk manis di kursi makan, meski dapat kulihat wajah Alvin sudah menunjukan rasa tidak nyaman dan malas saat itu.

Kami melanjutkan berbuka puasa meski Ayyara sudah pergi dari sana. Tak lama seorang wanita yang aku perkirakan usianya sudah 65 tahun datang menghampiri, disusul seorang wanita cantik berkerudung di belakangnya.

"Omaaa ...." Adira berlari kecil ke arah wanita tua itu dan segera memeluknya dengan erat. Mas Nata segera bangkit dari kursi makan, aku mengikutinya.

"Bu, ini Elia, wanita yang Ibu tunggu-tunggu," ucapnya datar, aku menghela sabar lalu segera mencium punggung tangan yang sudah tampak di dominasi garis keriput di kulitnya itu, dan untunglah disambut baik oleh beliau dengan elusan halus di rambutku.

"Cantiknya ... ternyata kamu lebih cantik aslinya, tak salah Ibu memilihmu," ucapnya pelan dengan senyuman mengembang.

Wanita muda di belakangnya berjalan sedikit mendekatiku, ia tampak meneliti diriku dari bawah hingga atas. Meski rasanya aku sangat risih dengan apa yang ia lakukan padaku tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain diam.

Puas menelitiku, wanita cantik itu menarik tangan Mas Nata menjauh dari meja makan. Sementara aku, anak-anak dan calon ibu mertua kembali duduk untuk melanjutkan buka puasa.

"Berapa usiamu, Nak?" tanya calon Ibu mertua ramah.

"Dua puluh sembilan, Bu," jawabku menduduk. Aku merasa sedikit gugup sebab ini pertamakalinya aku datang ke rumah seorang lelaki untuk dikenalkan dengan keluarganya.

"Kamu yakin Mas dia pantas jadi ibu sambung buat anak-anakku?" Suara wanita yang tengah berdiri bersama Mas Nata di dekat partisi ruang makan terdengar di telingaku. Agak jauh, tapi obrolan mereka masih dapat kudengar dengan baik.

"Memangnya kenapa? Dia pantas atau tidak bukan lagi jadi urusanmu," jawab Mas Nata, terdengar ketus.

"Aku kurang yakin, Mas. Dia kelihatan tidak selevel denganku, tentu ini akan jadi urusanku Mas, karena dia yang akan menjaga anak-anakku nantinya," lontarnya, sedikit memberi rasa sesak di dadaku.

Wanita yang sekarang kuyakini ia adalah mantan istri Mas Nata tampaknya tidak setuju dengan keputusan Mas Nata memilihku sebagai ibu sambung untuk anak-anaknya. Ia terus mencoba meyakinkan Mas Nata agar pria itu mencari calon istri yang lain saja.

Kemudian aku mendengar banyak sekali perdebatan di antara mereka untuk mempertahankan pemikirannya masing-masing. Sementara aku tak banyak bicara meski rasanya omongan wanita itu berkali-kali menusuk ke ulu hati.

"Apa-apaan mereka itu."

Calon ibu mertua bangkit dari kursinya dan segera menghampiri mereka saat perdebatan di antara Mas Nata dan mantan istrinya itu sudah terdengar tak biasa.

"Nata! Niami! Kapan kalian akan berhenti bertengkar? Ibu pikir setelah kalian bercerai kalian akan menyadari dan banyak mengevaluasi diri masing-masing, tapi nyatanya semua itu sama saja, tak berguna!" sentak beliau, meski usianya sudah tua, calon ibu mertua masih dapat bicara dengan tegas dan lantang hingga membuat Mas Nata dan mantan istrinya itu berhenti berdebat.

Di meja makan, aku melihat anak-anak tertunduk sedih, wajah mereka mendadak lesu dan tidak bersemangat. Segera aku mengajak mereka ke belakang untuk berwudhu dan menunggu Mas Nata di mushola rumah.

"Kita wudhu sekarang aja yuk, tunggu Papa kalian di musholla saja." Pelan aku bicara, berharap mereka mau mengikutiku.

Tapi tanpa bicara, Alvin beringsut pergi dengan wajah dingin. Sementara Adira berjalan pelan bersamaku ke kamar mandi yang letaknya di bawah tangga untuk berwudhu.

Menunggu sekitar 5 menit di musholla rumah, Mas Nata, calon ibu mertua dan mantan istrinya itu datang, kami segera melaksanakan shalat maghrib berjamaah.

"Ya Allah, Adira tak mau Mama sama Papa berpisah, tolong satukan Mama dan Papa lagi ya Allah, jangan buat Papa dan Mama bertengkar lagi," pinta si bungsu dalam do'anya.

Tidak ada yang salah, tapi keinginanya itu cukup membuat nyaliku ciut. Aku menarik napas panjang kemudian memejamkan mata dalam do'aku.

"Ya Allah, jika aku wanita yang baik untuk mereka maka kuatkanlah diri dan bahuku, berikan aku kesabaran yang tiada batas dan keikhlasan hati untuk menerima mereka semua. Tetapi jika ternyata aku bukanlah wanita yang baik bagi mereka, maka bukalah jalan agar aku dan Mas Nata tidak bersatu dalam hubungan yang lebih jauh lagi, amiin."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yenny Eka M
betul, pdhl berdekatan tp lumayan agak bnyk ksalahanx umur n urutan anak ke 1 sd. 3
goodnovel comment avatar
carsun18106
alvin ini usianya 12 atau 10 thn?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status