Share

Bab 3 Ruang Hampa

Lana sedikit mengeluarkan suara.

Ia hanya bisa sedikit melakukan perlawanan.

Sialnya, pelukan  itu semakin kuat dan tak membiarkan Lana begitu saja.

Sosok yang tak bisa dilihatnya itu kini bahkan menyeret Lana ke sebuah tempat yang tak diketahui pasti.

Bug!

Kaki Lana secara tidak sengaja menabrak sebuah kaki meja.

"Aduuhhh.." Lana mengaduh. Kakinya terbentur kayu yang begitu keras.

"DIAMMM..."

Tanpa dinyana, sosok yang menyeret Lana dalam kegelapan itu mulai bersuara dengan keras. Sambaran petir di luar menambah rasa takut yang luar biasa.

"Tolong, jangan lukai aku..." Lana mulai berani bersuara.

Rintihan Lana membuat sosok itu kembali bersuara.

"Diamlah.." Kali ini, suaranya lebih lirih dari sebelumnya.

Sorotan kilat yang menyambar membuat wajah sosok itu sedikit terlihat.

 Sosok itu membuat Lana terkejut. Tak menduga jika sosok itu adalaha Dipta!

Kedua mata pria itu menatap Lana dengan tajam. Seperti seekor serigala yang kelaparan mencari mangsa dan akan menerkamnya.

"Kamu?"

Tubuh Lana runtuh. Terkulai tak berdaya di lantai.

"Sebaiknya kamu melakukan tugasmu malam ini.."

Deg!

Suara lirih Dipta tepat memeruhi pikiran Lana.

Air mata Lana tak terbendung lagi. Hingga akhirnya menetes membentuk anak sungai di lantai.

Lana merasa tak ada harganya lagi. Dirinya memang sudah nista dan hina.

"Tuaan.. Tuaan..." mendadak Lana lupa dengan nama suaminya sendiri.

"Kenapa?" Bibir Dipta sangat terasa dekat dengan telinganya.

"Saya ini orang miskin. Jangan lakukan, saya tidak mau..."

Semakin Lana merintih. Hati Dipta semakin merasa jumawa.

Entah mengapa, tiba-tiba kepuasan tumbuh di hatinya. Ya, sebuah rasa puas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Kamu harus menurutiku..." 

Sentuhan pria itu semakin jauh.

Menyerang titik-titik murni di tubuh Lana.

"Tuan.. ingatlah tuan sudah memiliki istri," ucap gadis itu tiba-tiba.

Alis Dipta mengernyit. Ia bahkan sudah hampir lupa jika ia pernah menikah. Bagaimana tidak, Alina istrinya sudah beberapa bulan tidak pulang.

"Diam. Kamu tidak usah mengguruiku!"

Cengkeraman tangan Dipta begitu kuat di pipi Lana.

"Sakit Tuan!" Lana kembali merintih.

Dengan kuat Dipta menggunakan seluruh tenaganya untuk melempar Lana ke ranjang tidurnya.

"Sekarang puaskan aku!"

Tak dinanya sambaran kilat makin menjadi. Gemuruh angin dan hujan bertarung di luar. Suara alam benar-benar menakutkan.

Tangisan Lana tak ada artinya. Alam sedang tidak berpihak kepadanya.

"Kemarilah.." 

Dipta sudah menanggalkan kemejanya dan bersiap untuk memeluk Lana yang ketakutan.

Kedua tangan Lana berkumpul menjadi satu. Menggenggam satu sama lain dan memegang selendang merah yang dibawanya dari rumah Juragan Sabri.

Tangan Lana terasa dingin. Keringat dinginpun bercucuran kemana-mana.

Ingin mendorong tubuh Dipta, kedua tangannya malah diraih dan didekap oleh Dipta. 

"Kenapa dingin sekali?" tanya Dipta sambil berbisik di telinga kanan Lana.

Sejujurnya, Lana sangat ingin malaikan mencabut nyawanya saat ini. Tapi entah, ia masih saja bisa bernafas dengan baik meski jantungnya berdegup tidak karuan.

"Bukalah..."

Perlahan selendang yang menutupi tubuhnya ditarik oleh Dipta dan dibuang ke lantai.

Kini dengan jelas Dipta bisa melihat bagian lengan dan leher Lana yang tak tertutup selembar kain pun.

"Aku ingin menikmatimu malam ini..."

Tangan Lana meraba-raba, barangkali ada sebuah benda yang bisa ia gunakan untuk memukul pria yang berubah menjadi binatang keji.

"Jangan lakukan itu!"

Lana ketakutan lagi. Dipta segera meraih sebuah vas bunga yang digenggam oleh tangan Lana dalam kegelapan.

"Tuan.." Lana memelas.

Ia hanya ingin kesuciannya diberikan kepada pria yang benar-benar ia cintai, bukan pada pria yang baru ia kenal yang belum genap satu malam.

"Semakin kamu menurutiku, semakin cepat semuanya diselesaikan.."

"Sudahlah Lana, menyerahlah!" 

Hatinya berkali-kali bersuara.

Dengan mata terpejam, Lana pasrah. Ia hanya bisa diam saat Dipta, sang suami, mulai menjamah semua yang ia miliki. Semuanya!

Tangis Lana pecah dalam badai dan hujan.

Gerakan Dipta semakin liar.

Dia memacu tubuhnya di atas tubuh Lana--mencari kenikmatan-kenikmatan duniawi.

"Aku tidak menyangka, wanita sepertimu memeiliki kenikmatan yang luar biasa!" geramnya.

Dalam hitungan menit, kedua mata Dipta terpejam.

Mengembara dalam dunia mimpi yang panjang.

Dipta seakan terpuaskan hasratnya oleh Lana, wanita lugu yang baru ia kenal hari itu juga.

Di sisi lain, Lana menangis.

Lengkap sudah penderitaannya dalam satu hari.

Harga dirinya telah terinjak-injak dengan atas nama kemiskinan harta dan jabatan. Dia merasa sangat murahan!

"Bapak, ibuk.. Maafkan anakmu!" batinnya pedih.

Hanya saja, suara di kepalanya malah  semakin menjadi-jadi.

"Ingatlah Lana, kamu wanita murahan!" 

"TIDAAAKKKK!" Lana membungkam mulutnya sendiri agar Dipta tidak terbangun.

Untungnya, hujan makin deras dan menyamarkan tangisannya.

Namun, itu juga pertanda bahwa tak ada celah untuk sembunyi dari guyurannya malam ini.

***

"Diptaaa!"

Teriakan yang diiringi derap langkah kaki begitu jelas terdengar.

Membuat Lana yang masih berselimut tebal tak mendengar suaranya dentuman langkah kaki dari luar.

Sementara dalam lelapnya tidur, Dipta sedikit mendapatkan kesadaran. Bunyi langkah kaki itu terasa sangat ia kenal.

"Diptaaa...."

Suara panggilan itu kembali terdengar samar-samar.

Kedua mata Dipta terbuka. Ia baru sadar jika ada seseorang yang lain yang kini berada di pelukannya.

Tetapi, bukan sosok yang biasa bersamanya.

Tangan Dipta segera melepaskan tubuh yang berada di dekatnya itu. Dipta segera bangkit dan tidak memperdulikannya lagi.

"Alinaaa?"

Suara Dipta menyahut dari dalam kamar lantai satu. 

Tak diduga langkah kaki itu secepat elang yang menyambar anak ayam yang sendirian.

BRAAAAKKK!

Pintu kamar terbuka dengan sangat keras. 

Dipta masih berusaha mengancingkan kemejanya dan menatap langsung ke arah pintu kamar yang terbuka.

"Siapa dia?"

Sorot mata itu terkejut hingga ingin menjerit sekeras-kerasnya.

Pandangan Dipta dan Alina mengarah pada Lana yang masih baru membuka mata.

Tanpa pikir panjang, Dipta langsung memeluk Alina yang masih belum bisa mencerna apa yang ia lihat. "Tenang Alina..."

Lana sendiri juga bingung dengan situasi ini.

Hanya saja, kepalanya mendadak sakit.

"Tuan, kepalaku sakit..." Gadis itu memegang kepalanya--berharap pertolongan dari "sang suami".

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status