"Dokteerrrr..Dokterrr...." sang perawat yang melihat tangan Lana menjadi histeris.Ia tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Benarkah Lana kembali hidup?"Astaga!" dokter juga tak kalah histeris.Meski sang dokter bisa sedikit menyembunyikan rasa takjubnya pada Lana yang tiba-tiba bisa tersadar dalam kondisi yang kritis."Benar-benar mukjizat!" seru sang dokter.Tak menunggu lama, dokter segera menghubungi Dipta agar kembali ke ruangan Lana."Apakah pasien dan bayinya sama-sama bisa selamat dok?" tanya sang perawat penasaran.Dokter yang terus memantau kesehatan Lana melalui monitor hanya bisa diam dan memberikan kedipan mata.Selama dua puluh tahun ia berpraktek menjadi dokter, baru kali ini ada wanita hamil yang sudah kritis bisa menunjukkan kehidupannya kembali."Suster, terus pantau pasien ini. Sepertinya kita harus lebih serius dalam mengobservasinya..""Baik dok...""Satu jam lagi, saya akan k
"BAPAAAAKKKKK..."Teriakan Lana mengguncangkan seluruh penjuru kampung. Membuat tetangga-tetangga yang mendengar teriakannya terkejut.Tapi, tak ada yang berani menghampirinya karena tahu siapa yang tengah Lana hadapi--Juragan Sabri."Sudah Lana, biarkan bapakmu pergi dengan damai..."Kepulan asap disembur pria bau tanah itu ke wajah Lana yang sesegukan.Tangan Lana mengepal dan langsung memegang kerah baju juragan yang masih mengisap cerutu mahalnya. "Kamu yang membunuh bapakku!""Heh, diam kau!"Anak buah Juragan Sabri yang berbadan tegap nampak memegang tubuh Lana yang berusaha memberontak. Namun, pria tua itu mengisyaratkan agar mereka melepaskan Lana. "Bapakmu sudah waktunya mati. Umurnya sudah habis..."Nafas Lana masih tersengal. Ia tak kuasa menahan amarah sekaligus kebencian. Jelas-jelas apa yang dikatakan lelaki paruh baya itu salah. Jelas-jelas baru saja Lana melihat bapaknya meneguk racun yang habis tak bersisa. "Bawa dia!" Begitu Juragan Sabri bangkit dar
Namun belum sempat berbicara, tawa Juragan Sabri sudah memenuhi ruangan.Sepertinya, dia begitu bahagia dengan idenya itu. Untungnya, Adzan magrib akhirnya berkumandang, hingga pria itu berhenti tertawa. "Nanti malam, orang-orangku akan mengantarmu ke Villa Dipta. Kamu ikuti Mbok Minah dan berdandanlah yang cantik. Goda Dipta. Buat Dipta mau tidur denganmu!" ancamnya lagi."Apa ada pertanyaan?" Lana menggeleng dan meminta izin untuk keluar ruangan.Dia tak kuasa duduk berlama-lama lagi. Selain muak melihat wajah Juragan Sabri. Kakinya kelu harus duduk rapi di depan pria itu."Bapak macam apa pria ini? Dasar sinting!" gumam Lana lirih.Dia berjalan menuju pintu.Ceklek! Namun begitu pintu terbuka, seorang wanita paruh baya sudah menyambutnya dengan senyuman. "Ayo ikut aku Nduk Lana!" Tangan Lana segera digenggam dan diajak untuk ke belakang. Tak diduga, sudah ada seorang wanita muda yang menyiapkan riasan untuk Lana. "Ini si pengantin baru?" Sang perias tersenyum meliha
Lana sedikit mengeluarkan suara.Ia hanya bisa sedikit melakukan perlawanan.Sialnya, pelukan itu semakin kuat dan tak membiarkan Lana begitu saja.Sosok yang tak bisa dilihatnya itu kini bahkan menyeret Lana ke sebuah tempat yang tak diketahui pasti.Bug!Kaki Lana secara tidak sengaja menabrak sebuah kaki meja."Aduuhhh.." Lana mengaduh. Kakinya terbentur kayu yang begitu keras."DIAMMM..."Tanpa dinyana, sosok yang menyeret Lana dalam kegelapan itu mulai bersuara dengan keras. Sambaran petir di luar menambah rasa takut yang luar biasa."Tolong, jangan lukai aku..." Lana mulai berani bersuara.Rintihan Lana membuat sosok itu kembali bersuara."Diamlah.." Kali ini, suaranya lebih lirih dari sebelumnya.Sorotan kilat yang menyambar membuat wajah sosok itu sedikit terlihat. Sosok itu membuat Lana terkejut. Tak menduga jika sosok itu adalaha Dipta!Kedua mata pria itu menatap Lana dengan tajam. Seperti seekor serigala yang kelaparan mencari mangsa dan akan menerkamnya."Kamu?"Tubuh L
Sayangnya, Dipta tampak tak peduli.Pria itu masih menatap dalam Alina, sang istri pertama. "Aku bisa jelaskan semuanya!" ucapnya serius."Kamu sudah gila!" Alina menjawab dengan menunjukkan jari telunjuknya. Dia lalu segera melangkah menuju ke ruang tengah. Meninggalkan Dipta yang hanya menggenakan celana panjang dengan kemeja yang berantakan. Saat ini tampilannya nampak sangat acak-acakan. "Tuan..Saya pusing...." Suara Lana kembali terdengar.Kali ini begitu lemah. Tak diduga Lana pingsan."Sialan!" Dipta berteriak ke pengawal atau pembantu agar menolong Lana. Untungnya, tak lama, seorang pembantu datang."Tolong, dia!"Begitu memastikan Lana dirawat, Dipta pun berlari keluar tanpa alas kaki mengejar Alina. "Alina..." Dipta menggedor kaca pintu mobil sedan berwarna putih. "Plisss Alina..Pliss . .Tolong dengarkan penjelasanku.." Berkali-kali Dipta berusaha untuk merayu istrinya yang sedang marah besar. Urung, Alina malah mengunci pintuNamun meski mobilnya dalam
"Jangan kamu dekati dia lagi..." Dipta memperingatkan Bima agar menjauh. "Hei, santai Bang!" Senyum Bima membuat Dipta makin naik pitam. Ia merasa saudara sepupunya itu memang memiliki ketertarikan kepada Lana. "Yang jelas, jauhi dia!" gertak Dipta lagi. Semakin merasa dilarang oleh Dipta, Bima semakin penasaran terhadap Lana. Bagi Bima, Lana adalah wanita kampungan yang sangat menantang untuk ditakhlukkan, Jadi, hampir setiap hari Bima selalu berusaha dekat dengan Lana. Ia menjadi lebih sering mengungi rumah Juragan Sabri dengan berbagai alasan. Entah alasan yang masuk akal atau yang hanya dibuat-buat. Dan betul, kedekatan antara Lana dan Bima segera terjadi seiring berjalannya waktu. Beberapa kali Dipta memergoki Bima yang mengendap-endap ke kamar Lana di saat sepi.Meski Dipta sendiri tidak yakin jika Lana memang sedang berada di sana. Hingga suatu hari Lana secara tidak langsung mencurahkan isi hatinya yang merindukan rumah dan juga kedua orang tuanya yang tel
Cukup lama keduanya mencari. Tak diduga tempat peristirahatan bapaknya berada di samping makam ibunya. Lana memeluk kedua nisan milik orang tuanya. Hanya tangisan yang bisa Lana persembahkan untuk keduanya. "Bapaakkk..." Lana memegang pusara milik sang bapak.Isak tangis Lana pecah. Ia tak kuasa menyeka atau menghentikan air mata yang terus mengalir. Tak ada lagi yang tersisa. Hanya tinggal dirinya yang hidup sebatang kara di dunia. Entah berapa lama dia di sana.Lana sendiri tak tahu, sampai sebuah tangan memegang pundak kiri Lana. "Sudah, ayo kita kembali.." Kepala Lana menengadah ke atas langit. Melihat wajah itu kembali. "Ayo..." Kini tak ada alasan lagi bagi Lana untuk tidak kembali ke rumah yang penuh kemalangan itu. Tak seorangpun bisa melawan takdir! Sejengkal demi sejengkal langkah kaki Lana meninggalkan pemakaman tua di desanya. Matahari memang belum terik. Tetapi mereka takut jika harus pulang kesiangan. Perut Lana berbunyi di sepanjang jalan. Tak ayal, h
"Kenapa kamu melepaskanku??" Lana memicinngkan matanya kepada Dipta.Seolah Dipta memang baru saja kerasukan setan dari antah berantah.Nafasnya tersengal. Kedua tangannya yang tadinya begitu kuat mencengkeram Lana, kini hanya bisa bergetar tanpa sebab."DIAAMMM.." suara lantang Dipta membuat Lana terdiam.Kenapa Dipta tidak menghabisinya saja saat ini. Agar Lana bisa segera bertemu dengan bapak dan ibunya di pusara keabadian?Genggaman tangan Dipta membuat Lana tak percaya. Jika lelaki yang begitu dingin kepadanya kini malah mengajaknya pergi entah kemana,"Aku tidak bisa pergi..." Lana menghentikan langkah dan terdiam.Dipta seolah tak mendengar apapun yang Lana katakan. Ia tetap bersikeras menyeret tangan Lana dengan paksa.Braakkk..Pintu Jeep tertutup dengan kasar. Lana hanya bisa pasrah dan memandangi jalanan yang mulai lengang."Kemana Bima pergi?" Lana berguman lirih."Siapa yang kamu cari?" Dipta m