Share

Bab 2 Sejengkal Asa

Namun belum sempat berbicara, tawa Juragan Sabri sudah memenuhi ruangan.

Sepertinya, dia begitu bahagia dengan idenya itu. 

Untungnya, Adzan magrib akhirnya berkumandang, hingga pria itu berhenti tertawa.

"Nanti malam, orang-orangku akan mengantarmu ke Villa Dipta. Kamu ikuti Mbok Minah dan berdandanlah yang cantik. Goda Dipta. Buat Dipta mau tidur denganmu!" ancamnya lagi.

"Apa ada pertanyaan?"

Lana menggeleng dan meminta izin untuk keluar ruangan.

Dia tak kuasa duduk berlama-lama lagi.

Selain muak melihat wajah Juragan Sabri. Kakinya kelu harus duduk rapi di depan pria itu.

"Bapak macam apa pria ini? Dasar sinting!" gumam Lana lirih.

Dia berjalan menuju pintu.

Ceklek!

Namun begitu pintu terbuka, seorang wanita paruh baya sudah menyambutnya dengan senyuman.

"Ayo ikut aku Nduk Lana!"

Tangan Lana segera digenggam dan diajak untuk ke belakang.

Tak diduga, sudah ada seorang wanita muda yang menyiapkan riasan untuk Lana.

"Ini si pengantin baru?" Sang perias tersenyum melihat Lana yang terlihat polos dan tidak tahu apa-apa.

"Bagaimana Mis? Apa dia cantik?" tanya Mbok Mirah dengan nada menggoda.

"Tentu saja Juragan Sabri tidak salah pilih. Andai saja Ndoro Putri masih hidup, ia tak menyesal melihat menantunya secantik ini..."

Tawanya terkekeh.

Lana sendiri tak mengerti apa yang lucu.

Mungkin, mereka juga hanya berpura-pura karena di depan cermin besar, Lana dapat melihat wajahnya yang kusam dan penuh dengan bekas tangisan.

Dimana kecantikannya yang tertinggal?

Ia tak melihat sama sekali kecantikan yang dilihat oleh sang perias. Selain wajahnya yang acak adul tidak karuan.

**

"Bagaimana Juragan Sabri?" tanya Mbok Mirah dengan semangat begitu selesai merias.

Lana sendiri hanya diam.

Namun, dia merinding begitu mendengar ucapan Juragan selanjutnya.

"Cantik...Luar biasa..Andai Dipta tidak mengawininya, aku pun mau...hahahaha!"

Gelak tawanya disambut yang lain.

Tentu saja, kecuali Lana.

Ia jadi merasa jijik melihat wajahnya yang memang sangat cantik saat setelah dirias.

"Nah Lana..ikutlah dengan Joko. Dia akan membawamu ke Villa Tuan Dipta.."

Lana lagi-lagi hanya mengangguk. Ia berjalan dengan hati-hati di belakang pengawal yang ditunjuk oleh Juragan Sabri.

Berkali-kali Lana menutup bahunya dengan kain jarit. Angin yang kencang membuat kulitnya yang terbuka bisa langsung merasakan hawa dingin.

Beberapa langkah lagi ia akan sampai.

Sebuah bangunan nampak terlihat dengan jelas. Memang tidak sebesar rumah Juragan Sabri, namun jika dibandingkan dengan rumah orang terkaya di kampungnya, memang Villa ini sangatlah besar dan megah.

"Nah..Aku akan mengetuk pintunya.." kata sang pengawal.

Tok..tok..tok!

Rupanya tidak serta merta langsung dibukakan dari dalam. Bahkan ia harus memencet bel berkali-kali.

Lama dan hampir menyerah. Begitu ungkapan hati Lana yang tergambar saat harus berdiri menunggu pintu yang terbuka.

Hanya dalam satu hari, nasib Lana berubah terkatung-katung menjadi budak atau barang tak berharga.

Tak seperti pengawal yang terbiasa berdiri lama, Lana hampir pingsan namun ia masih berusaha untuk menguatkan dirinya.

Krekkk..

Pintu utama akhirnya terbuka.

Tak lain dan tak bukan Dipta sendiri yang membukanya.

Pandangan pria itu mengarah pada pengawal yang nampak tegang. "Siapa yang menyuruhmu?"

Suara Dipta terdengar sedikit ketus saat melirik ke arah sosok wanita di belakang pengawal.

"Apa maumu?" Kali ini Dipta bertanya pada wanita yang tertunduk lesu.

Dengan perlahan, Lana memberanikan diri untuk mengangkat wajah dan melihat ke arah Dipta.

Sebuah sengatan listrik seperti merasuk ke dalam jiwa Dipta. Tepat mengenai ulu hatinya.

"Bagaimana bisa dia terlihat begitu cantik?" batin Dipta dalam hati.

Sungguh, bukan sebuah khayalan atau ilusi.

Dipta sedang tidak bermimpi. Ia juga sedang tidak melihat bidadari.

Di sisi lain, pengawal agak takut membuka mulutnya. 

"Tuan Dipta. Ini saya disuruh Juragan Sabri untuk mengantarkan Mbak Lana," ucapanya ragu. 

"Hmmm..."

Hanya dehaman yang Dipta berikan sebagai respon.

Hal ini, membuat sang pengawal makin takut.

"Kalau begitu saya permisi dulu.." Buru-buru sang pengawal pamit dan segera menjauhi keduanya.

"Mas.." Suara lembut Lana memecah keheningan.

Dia bingung apa yang harus dia lakukan dengan Dipta.

Tapi, berbeda dengan respon dinginya, pria itu malah masuk dan membiarkan pintunya terbuka begitu saja.

"Masuklah.." titah Dipta.

Lana terdiam. Jujur, ia ingin kabur.

Bayangan kematian bapaknya bahkan masih segar di pelupuk mata.

Namun, suara petir menyambar tiba-tiba menggemparkan bumi. Hanya dalam hitungan detik, jutaan air hujan menetes menghujam ke tanah.

Sialnya lagi, listrik yang tadinya baik-baik saja tiba-tiba padam.

Gemerisik angin yang masuk melalui pintu depan membuat hawa dingin menyeruak.

Tak ayal rasa takut merasuki seluruh tubuh Lana. Ia memang takut gelap dan suasana sepi sendu seperti ini.

Jadi, ia pun masuk.

Namun, Dipta tak terlihat.

"Mas.." Lana memanggil-manggil.

Berharap barangkali ada jawaban dari Dipta atau penghuni lain.

Tak dinanya, ia malah mendadak merasakan jari-jemari mulai menjamah lengannya yang tak tertutup oleh selembar kain pun!

Suara Lana menghilang tiba-tiba. Ia tak kuasa menjerit ataupun meminta sebuah pertolongan. Dan kini, sebuah dekapan yang kuat mulai mencengkeram tubuhnya!

Nafas Lana tersengal. Ia masih menerka siapa sosok manusia yang kini begitu erat memeluknya dari belakang. 

"Arggghhhh.."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status