Selanjutnya hanya Davian yang bicara meski pertanyaan ditujukan kepada CintaCinta diam saja memakan bubur yang rasanya sudah tidak senikmat sebelum kedatangan Davian.Setelah Dian dan Cinta menghabiskan satu mangkuk bubur, Davian pamit lebih dulu membawa Cinta pergi dari sana.“Kamu kalau mau keluar harus ditemenin, kalau ada yang nyulik gimana?” Davian berjalan di depan membuka jalan untuk Cinta karena padatnya orang-orang yang berlalu lalang di sana.Tidak lupa dia menggenggam tangan Cinta agar mengikutinya.Seperti biasa, Cinta tidak menjawab pertanyaan Davian tapi tidak melepaskan juga genggaman tangannya karena Cinta merasa dimudahkan berjalan di belakang tidak seperti tadi ketika berjalan sendiri banyak yang menyenggol tubuhnya.Davian berhenti di stand penjual minuman segar.Seorang wanita paruh baya memakai celemek yang menjual minuman dari jeruk peras itu.Orangnya tampak bersih, segala perabotannya juga bersih dan mejanya terlihat rapih karena langsung dibersihkan setiap s
Malam itu hujan turun dengan deras, setelah makan malam seperti biasa Biru mengajak Jingga menonton film di Netflix.Tapi baru setengah jalan film diputar, Jingga tiba-tiba bangkit dari sofa.“Mau ke mana?” Biru bertanya sembari mencekal pergelangan tangan istrinya membuat langkah Jingga tertahan.“Mau tidur, ngantuk … kamu nonton di kamar aja yuk, temenin aku.”Dan Biru harus mengikuti keinginan sang istri tercinta sebelum dia merajuk dan memintanya tidur di ruang televisi.“Ayo sayang!” Biru berseru padahal film lagi seru-serunya.Dia bangkit dari sofa, merangkul Jingga dan melangkah beriringan menaiki anak tangga.Perut Jingga sudah sangat besar, dokter memprediksi kalau sebulan lagi anak mereka lahir ke dunia.Biru mengusap-ngusap perut istrinya dengan gerakan memutar dan dia bisa merasakan gerakan di dalam sana.“Dia aktif banget ya, sayang.” Biru selalu takjub dengan respon sang buah hati setiap kali menyentuh perut Cinta.“Kata mami, dulu waktu mami mengandung kamu … kamu juga
Davian mengangkat kedua alisnya terkejut saat melihat Encum ada di dalam kamar tepatnya di atas ranjang sedang mengusap-ngusap punggung Cinta sambil terkantuk-kantuk.Malam memang sudah larut saat dia sampai di rumah karena sore tadi dia harus ke kota untuk menghadiri suatu acara pertemuan dengan petinggi POLRI yang sedang berkunjung ke kota ini.“Cum … pindah sana,” kata Davian dengan suara pelan dan Encum langsung membuka mata lebar bergegas menurunkan kakinya.“Eh … Mas, udah pulang ….” Encum bergegas pergi keluar dari kamar sambil sedikit membungkuk melewati Davian meski pria itu tidak merespon ucapannya.Cinta membalikan badan, menatap kesal pada Davian namun Davian memberikan senyum tampannya.“Kamu tidur di kamar tamu aja, aku pengen dipijit punggungnya sama Encum,” usir Cinta lantas mendelikan matanya.“Nanti aku yang pijitin, aku mandi dulu ya.”Tanpa menunggu respon dari Cinta—Davian masuk ke dalam kamar mandi membersihkan tubuh dengan terburu-buru agar Cinta tidak menunggu
“Eh … si sayang belum tidur,” tegur Davian dengan nada ceria.Pria itu baru pulang ketika jam sudah melewati pukul sembilan malam padahal jarak dari rumah ke kantornya hanya lima langkah.Cinta melirik sinis pada Davian kemudian memalingkan kembali wajahnya ke arah televisi.Dia sedang asyik menonton film di ruang televisi dengan toples keripik di atas pangkuan.Sengaja Cinta menonton tv di living room agar bisa sambil ngemil.Davian terkekeh, dia duduk si samping Cinta setelah membuka sepatunya.Aroma parfum eksclusive bercampur keringat segera saja menusuk indra penciuman Cinta yang anehnya membuat darah Cinta berdesir bukannya mual.Padahal dia mencium aroma pelembut pakaian saja sampai mual dan muntah.Si jabang bayi di dalam perutnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi.Davian memasukan tangannya ke dalam toples lalu mencomot keripik dari dalam toples yang kemudian ia masukan ke dalam mulut.Refleks Cinta menepuk tangan Davian. “Jorok ih, cuci tangan dulu sana,” omel Cinta sep
Semestinya Cinta tidak percaya dengan janji manis Davian.Sudah berbulan-bulan dia bisa bertahan tapi sekarang kenapa kepalanya malah mengangguk pelan?Melihat respon lampu hijau dari Cinta, seketika mata Davian berbinar.Senyumnya merekah menambah ketampanan pria itu.Tapi Davian tidak langsung mengeksekusi dengan membabi buta.Dia lepaskan satu tangan dari pinggang Cinta untuk dipindahkan menangkup sisi wajahnya.Diusapnya lembut bibir Cinta menggunakan ibu jari.Cinta bisa melihat Davian menelan saliva.Pria itu tampak begitu menginginkan bibir Cinta.Perlahan wajah Davian mendekat dengan netra memaku tatap dan ketika bibir pria itu hampir menyentuh bibir Cinta—yang bersangkutan malah melipat bibirnya ke dalam.“Saayaaang.” Davian mengesah mengerutkan wajahnya kesal bercampur kecewa.Dia juga membuat jarak antara wajahnya dengan wajah Cinta.“Beliin dulu aku martabak telur ekstra daging sapi,” pintanya santai.Davian mengembuskan napas panjang ke langit-langit ruangan.Dia menegaka
Biru sedang berusaha mengontrol dirinya agar bisa menangani pasien hari ini padahal bokongnya sudah gelisah tidak bisa duduk tenang di kursi.Pasalnya di gedung lain, masih di rumah sakit yang sama tempat dia berpraktik, istrinya tengah menunggu pembukaan untuk mengantarkan anak mereka lahir ke dunia.“Berapa orang lagi?” Biru bertanya kepada perawat yang menjadi asistennya hari ini.“Sepuluh, Dok.” Sang perawat menjawab.Sepuluh adalah angka yang banyak dan bisa dipastikan cukup lama karena Biru harus memeriksa luka bekas operasi lalu mendengar keluhan atau mendengar gejala yang dirasakan sang pasien bila pasien itu adalah pasien baru.Satu pasien bisa sepuluh sampai lima belas menit dan Biru tidak ingin melewatkan momen kelahiran putranya. “Bilang sama perawat yang jaga untuk kamar istri saya, kalau ada perkembangan apapun kabarin saya,” pinta Biru kepada asisten perawatnya.“Baik, Dok.” Perawat itu menyanggupi karena memang telah terinfo kalau tadi pagi istri dari dokter Biru masu
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Jingga meringis merasakan gejolak di dalam perutnya.“Sakit?” Biru bertanya, mendapat anggukan kepala dari Jingga.Biru menekan tombol untuk memanggil perawat dan sepertinya kepanikan Biru bisa mereka rasakan melalui penekanan berulang pada tombol yang tersambung ke pos perawat itu—dua orang perawat datang sambil berlari.“Saya cek dulu pembukaannya ya.” Salah satu perawat senior meminta ijin.“Ssssh ….” Jingga meringis, kali ini dia merasa ngilu di bagian intinya.“Oh iya, udah nambah pembukaannya … ayo kita ke ruang bersalin.” Instruksi perawat itu untuk semua orang di sana termasuk perawat lain yang tadi bersamanya agar melakukan prosedur sebelum persalinan.Mereka bersiap untuk mengantar Jingga ke ruang bersalin.“Tolong diputuskan siapa yang mau menemani pasien di dalam karena hanya boleh satu orang saja,” kata perawat senior ketika mereka berada di lorong dalam perjalanan menuju ruang bersalin.“Saya yang akan menemani istri saya d
“Ya ampun lucu banget … mirip banget sama abang Biru ini mah.” Cinta menatap layar ponselnya yang tersambung dalam panggilan video dengan Biru.Biru sedang memamerkan putranya yang baru saja lahir.“Iya … Jingganya cinta banget sama Biru jadi anaknya mirip Biru.” Itu suara mama Irma yang ada di sana juga.Cinta tergelak, matanya melirik Davian yang duduk di sampingnya sedang mematuti layar ponsel tanpa ekspresi.Davian dan Cinta sedang berada di kamar, sudah akan tidur tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi menunjukkan nama Biru pada layar.“Kak Jingga, ASI-nya banyak enggak? Sebelum melahirkan katanya harus breast massage gitu ya biar ASI-nya banyak?”Sebagai calon ibu yang sebentar lagi akan melahirkan, Cinta harus banyak bertanya kepada kakak iparnya yang sudah memiliki pengalaman.“Aku enggak, enggak ada waktu … tapi kata dokter cukup di-treatment sama papinya aja ….” Jingga menoleh menatap suaminya sambil tertawa.“Ampuh kok cuma di-treatment sama Biru doank, buktinya banjir ini ASI a