Proses kelahiran anak kedua ini, Cinta dan Davian memutuskan untuk melakukan caesar mengingat proses kelahiran Kiana juga menggunakan cara itu.Tanggal sudah ditentukan, Davian sengaja mengambil cuti untuk bisa menemani istrinya.“Waktu lahiran Kiana, aku panik loh sayang … aku sendirian di depan ruang tunggu operasi … mana sebelumnya kamu pecah ketuban terus berdarah … udah gitu leher Kiana kelilit ari-ari … aku stress banget.” Davian duduk di kursi yang diletakan samping ranjang Cinta di kamar rawat inap sebuah rumah sakit terbaik di Jakarta.Mereka sedang menunggu petugas medis siap melakukan operasi caesar.“Aku pikir aku akan mati.” Cinta mengatakan perasaannya saat itu.Davian bangkit dari kursi, dia duduk di sisi ranjang menghadap Cinta yang sedang bersandar pada kepala ranjang yang dibuat tegak.Pria itu lantas memeluk Cinta erat.“Jangan ngomong gitu lagi, kamu enggak boleh mati … nanti aku sama siapa?” Davian bergumam di leher Cinta.“Bucin!” Cinta meledek.“Memang.” Davian
Setelah pintu tertutup, mereka semua balik badan untuk duduk dan menunggu di ruang tunggu.Pundak Davian melorot, raut wajahnya menyendu.“Cinta kuat kok, dia bisa melewati operasi caesar ini.” Papi menepuk pundak Davian pelan sebagai penguat untuk menantunya yang langsung mendapat anggukan pelan dari yang bersangkutan.Mereka duduk di sofa set dengan Davian duduk di single sofa.Dia tampak menundukan kepala padahal sedang berdoa merayu Yang Maha Kuasa agar proses melahirkan Cinta berjalan lancar.Karena seperti katanya tadi kepada Cinta kalau dia tidak ingin Cinta meninggalkannya.Dia benar-benar mencintai ibu dari anak-anaknya itu.Entah apa yang terjadi kalau dia sampai kehilangan Cinta.Davian sedang dilanda khawatir karena trauma dengan proses melahirkan Cinta yang pertama. Detik berganti menit dan menit berganti jam, Davian sudah gelisah merasa operasi caesar yang dilakukan Cinta terlalu lama. Dia bangkit dari sofa mulai melangkah menuju pintu ruang operasi namun sebelum langk
Belum dua tahun, Jingga sudah harus merasakan mulas dan ‘nikmatnya’ melahirkan.Semua rasa yang Jingga dapatkan saat melahirkan Javas saja masih bisa dia ingat dengan jelas.Semua ini gara-gara Biru yang memaksakan kehendak ingin menyusul Davian dan Cinta dalam urusan anak.Sungguh, sampai detik ini Jingga dendam kesumat kepada suami lucknut-nya itu. Jadi ketika sekarang dia merasakan kontraksi yang hebat dalam masa pembukaan sebelum melahirkan, Jingga hanya bisa diam membungkam mulutnya dan enggan menatap wajah Biru.Mata Jingga terpejam semenjak dia memasuki ruangan ini.“Sayang …,” lirih Biru sembari mengusap kepala Jingga.Sengaja Jingga memejamkan matanya sebagai bentuk protes dan tentu saja Biru sebagai suami yang sudah hidup bersama Jingga selama kurang lebih tiga tahun tentunya tahu kalau sang istri tengah memendam kesal.“Sayang, tahan ya … sabar ….” Biru memberi semangat.Kelopak mata Jingga kontan terbuka, melotot pada Biru.“Sabar … sabar … tahan … tahan … coba deh kamu r
“Udaaah … udaaah, jangan cengeng ah … kamu itu laki-laki, udah besar juga!” Mami mengusap-ngusap punggung Biru yang masih belum berhenti meraung di pangkuannya.“Jingganya udah siuman tuh, kamu temui dia sekarang,” ujar papi agar Biru berhenti menangis.Jadi semenjak Jingga tidak sadarkan diri tadi usai melahirkan anak mereka, Biru menangis tersedu seperti anak kecil, dan sekarang ketika Jingga sudah siuman, bukannya segera menemui istrinya malah menangis di pangkuan mami.Semua rasa bercampur menjadi satu tapi penyesalan mendominasi, tubuh Biru sampai lemas sekali.Dia menegakan punggung, mengusap air mata di wajah menggunakan punggung tangan, jangan sampai kedua mertuanya dan Jingga tahu kalau dia barus selesai menangis kejer.Biru pikir akan kehilangan Jingga, bila sampai terjadi maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Badan aja gede, nangis kaya anak kecil … setiap orang yang lewat taman ini pasti noleh ngeliat kamu, disangkanya kamu ditinggal meninggal istri.”“Pii
“Cintaaaa … ini Bara nangis, kamu susui dulu.” Mami masuk ke dalam kamar Cinta yang sedang tidur siang bersama Kiana.“Aduh Miiii, ‘kan ada susu formula … pake susu formula aja … Cinta ngantuk, nanti malem harus begadang.”Cinta malah balas merengek.“Cinta … susu formula itu dikasih sama Bara kalau ASI kamu lagi enggak ada aja, perjanjiannya Bara minum susu formula karena nyusunya kalau anak laki-laki ‘kan memang banyak, bukan karena kamu males menyusui.” Mami mengomel membuat pening kepala Cinta.“Miiii … Ssttt … Ssttt … berisik Mi, Kiana lagi bobo.” Cinta menempelkan telunjuknya di bibir dengan mata masih terpejam seakan rugi bila membuka mata karena mungkin nanti ngantuknya bisa hilang.“Kamu itu ya, bikin anak aja terus … tapi ngurus enggak mau.” Mami masih ngomel seiring langkahnya keluar kamar membawa Bara yang tengah menangis karena lapar.“Nan … buatkan susu formula untuk Bara lalu bawa ke bawah,” titah Mami yang mendapat anggukan dari Nanny.Secepat kilat Nanny pergi ke kama
Davian menarik langkah menjauh dari ruang televisi, meniti anak tangga untuk tiba di kamar.Sesampainya di kamar, kegelapan menyambutnya.Samar dia melihat Cinta dan Kiana berbaring di atas ranjang.“Sayang, udah lewat maghrib lho … masa belum bangun?” Davian berujar lembut saat Cinta menggeliat karena terusik lampu kamar yang dinyalakan Davian membuat ruangan itu terang benderang.“Kan aku nanti malem begadang, Mas.” Cinta menyahut dengan suara parau.“Pappiii … Papapiiii.” Kiana yang ikut bangun langsung mendudukan tubuhnya sembari memanggil sang papi.“Waaah, Kakak udah bisa manggil Papi?” Cinta begitu takjub.“Coba panggil, Buundaaa … Bun … daaaa.” Cinta menuntun, ingin juga disebut oleh Kiana.Tapi Kiana hanya bisa menggerakan bibirnya tanpa suara.“Yaaaah, kamu pilih kasih …,” kata Cinta sembari menjawil hidung Kiana lalu turun dari tempat tidur.“Mas, panggil Nanny-nya Kiana ya … suruh mandiin sama kasih makan Kiana… aku mau mandi dulu,” titah Cinta kepada suaminya seraya melen
“Loh Nan, anak-anak kenapa nangis?” Bunda yang baru saja datang langsung menuju lantai dua karena mendengar suara tangis cucu-cucunya.“Ini Bu, tadi Bara bangun karena popoknya penuh … terus nangis karena mungkin masih ngantuk, Kiana jadi kebangun karena berisik mendengar suara tangis Bara, Kiana yang masih ngantuk juga jadi ikutan nangis,” tutur Nanny-nya Bara karena Nanny-nya Kiana sedang membuat susu formula.“Cinta mana?” Bunda bertanya, beliau menggendong Kiana yang menangis dari atas ranjangnya.Nanny-nya Kiana langsung memberikan botol susu kepada Kiana juga Bara yang digendong oleh Nanny-nya begitu dua botol susu formula itu selesai dia buat.“Ibu di kamar,” jawab Nanny-nya Bara.“Lagi ngapain?” Bunda bertanya lagi.Nanny Bara melirik kepada Nanny Kiana, keduanya lantas menggelengkan kepala setelah mengalihkan tatap pada bunda.“Kamu panggil donk, siapa tahu enggak denger.” Bunda jadi gemas.“Enggak berani, Bu … takut ganggu.” Nanny Kiana yang berani bicara seperti itu.“Masa
“Baik Pak, Baik … saya akan coba koordinasi dengan tim ….” Jingga mengangkat tangan lalu mengayunkannya.Gesture tubuh Jingga mengusir Nanny yang sedang menggendong putri mereka yang tengah menangis tertangkap jelas oleh indra penglihatan Biru ketika dia baru saja masuk ke dalam kamar.Biru menatap Jingga tidak suka, sang istri hanya menatapnya sebentar lantas pergi ke balkon melanjutkan percakapan dengan bosnya yang sekilas Biru tangkap dari cara bicara Jingga.“Buat susu formula ya, Nan … sini, Zia saya gendong.” “Iya, Pak ….” Nanny-nya Zia memberikan Zia yang masih menangis kencang kepada Biru.“Sayang … sayang Papi … laper ya sayang?” Biru menggerakan tubuhnya berharap Zia berhenti menangis karena perhatiannya teralihkan oleh guncangan tubuh sang papi.Namun hingga Nanny kembali membawa botol susu, tangis Zia barulah berhenti.Mulut Zia mengisap kencang dot dari botol susu dengan mata terpejam.Jejak buliran kristal di bawa mata tampak mengalir ke sisi wajah.Biru menatap iba pa