Kehamilan Jingga yang kedua ini sungguh merepotkan.Jingga jadi sering ambil ijin potong cuti karena morning sick yang tidak bisa diajak kompromi sampai terkadang Jingga pingsan karena lelah muntah-muntah.Otomatis Biru jadi sering terlambat datang ke tempat praktik.Tapi mau bagaimana lagi, Biru harus menemani Jingga di saat-saat kondisi terburuknya terlebih anak kedua ini adalah keinginannya.Bayangkan saja, bagaimana kesalnya Jingga yang sering mendapat teguran sang atasan.Sekalinya Jingga memaksakan pergi ke kantor, satu lantai gempar karena Jingga muntah-muntah lalu pingsan.Kalau bukan mengingat kinerja Jingga yang selalu bagus di masa lalu, meski sekarang terseok menutupi target karena keseringan cuti—Jingga pasti sudah menerima surat pemecatan.Atasannya percaya kalau Jingga mampu bangkit lagi.“Sayang, masih mual?” Biru berbisik di puncak kepala Jingga.Saat ini mereka berdua tengah berbaring di atas tempat tidur saling berpelukan dengan pakaian kerja lengkap setelah tadi Ji
Sesampainya di rumah sakit, Biru berlarian menuju ruang praktek, dia gelisah karena telah membuat para pasien menunggu.Tapi Biru tetap melakukan pekerjaannya dengan profesional, dia matikan ponselnya sebentar agar bisa fokus.Pasien demi pasien yang datang sebisa mungkin Biru layani dengan baik, berbekal ilmu yang dimilikinya Biru harus bisa menjadi tangan Tuhan menyembuhkan mereka yang banyaknya mengidap penyakit ganas.Hampir sore ketika dia menyelesaikan praktik, Biru menyalakan ponselnya.Sang istri tercinta yang pertama kali dia hubungi.Setelah berpamitan kepada perawat, Biru menderapkan langkah menuju basement dengan ponsel menempel di telinga.Entah panggilan keberapa akhirnya panggilan tersebut dijawab juga.“Hallo?” Suara Jingga terdengar ngegas.“Udah sampe mangga mudanya, sayang?”“Udah, tapi kenapa kamu nyuruh anggota TNI yang anter ke sini? Kamu menyalahgunakan jabatan papi kamu.”Jingga kesal, dia ingin papinya bayi yang membelikan mangga muda.“Itu ajudannya papi saya
Proses kelahiran anak kedua ini, Cinta dan Davian memutuskan untuk melakukan caesar mengingat proses kelahiran Kiana juga menggunakan cara itu.Tanggal sudah ditentukan, Davian sengaja mengambil cuti untuk bisa menemani istrinya.“Waktu lahiran Kiana, aku panik loh sayang … aku sendirian di depan ruang tunggu operasi … mana sebelumnya kamu pecah ketuban terus berdarah … udah gitu leher Kiana kelilit ari-ari … aku stress banget.” Davian duduk di kursi yang diletakan samping ranjang Cinta di kamar rawat inap sebuah rumah sakit terbaik di Jakarta.Mereka sedang menunggu petugas medis siap melakukan operasi caesar.“Aku pikir aku akan mati.” Cinta mengatakan perasaannya saat itu.Davian bangkit dari kursi, dia duduk di sisi ranjang menghadap Cinta yang sedang bersandar pada kepala ranjang yang dibuat tegak.Pria itu lantas memeluk Cinta erat.“Jangan ngomong gitu lagi, kamu enggak boleh mati … nanti aku sama siapa?” Davian bergumam di leher Cinta.“Bucin!” Cinta meledek.“Memang.” Davian
Setelah pintu tertutup, mereka semua balik badan untuk duduk dan menunggu di ruang tunggu.Pundak Davian melorot, raut wajahnya menyendu.“Cinta kuat kok, dia bisa melewati operasi caesar ini.” Papi menepuk pundak Davian pelan sebagai penguat untuk menantunya yang langsung mendapat anggukan pelan dari yang bersangkutan.Mereka duduk di sofa set dengan Davian duduk di single sofa.Dia tampak menundukan kepala padahal sedang berdoa merayu Yang Maha Kuasa agar proses melahirkan Cinta berjalan lancar.Karena seperti katanya tadi kepada Cinta kalau dia tidak ingin Cinta meninggalkannya.Dia benar-benar mencintai ibu dari anak-anaknya itu.Entah apa yang terjadi kalau dia sampai kehilangan Cinta.Davian sedang dilanda khawatir karena trauma dengan proses melahirkan Cinta yang pertama. Detik berganti menit dan menit berganti jam, Davian sudah gelisah merasa operasi caesar yang dilakukan Cinta terlalu lama. Dia bangkit dari sofa mulai melangkah menuju pintu ruang operasi namun sebelum langk
Belum dua tahun, Jingga sudah harus merasakan mulas dan ‘nikmatnya’ melahirkan.Semua rasa yang Jingga dapatkan saat melahirkan Javas saja masih bisa dia ingat dengan jelas.Semua ini gara-gara Biru yang memaksakan kehendak ingin menyusul Davian dan Cinta dalam urusan anak.Sungguh, sampai detik ini Jingga dendam kesumat kepada suami lucknut-nya itu. Jadi ketika sekarang dia merasakan kontraksi yang hebat dalam masa pembukaan sebelum melahirkan, Jingga hanya bisa diam membungkam mulutnya dan enggan menatap wajah Biru.Mata Jingga terpejam semenjak dia memasuki ruangan ini.“Sayang …,” lirih Biru sembari mengusap kepala Jingga.Sengaja Jingga memejamkan matanya sebagai bentuk protes dan tentu saja Biru sebagai suami yang sudah hidup bersama Jingga selama kurang lebih tiga tahun tentunya tahu kalau sang istri tengah memendam kesal.“Sayang, tahan ya … sabar ….” Biru memberi semangat.Kelopak mata Jingga kontan terbuka, melotot pada Biru.“Sabar … sabar … tahan … tahan … coba deh kamu r
“Udaaah … udaaah, jangan cengeng ah … kamu itu laki-laki, udah besar juga!” Mami mengusap-ngusap punggung Biru yang masih belum berhenti meraung di pangkuannya.“Jingganya udah siuman tuh, kamu temui dia sekarang,” ujar papi agar Biru berhenti menangis.Jadi semenjak Jingga tidak sadarkan diri tadi usai melahirkan anak mereka, Biru menangis tersedu seperti anak kecil, dan sekarang ketika Jingga sudah siuman, bukannya segera menemui istrinya malah menangis di pangkuan mami.Semua rasa bercampur menjadi satu tapi penyesalan mendominasi, tubuh Biru sampai lemas sekali.Dia menegakan punggung, mengusap air mata di wajah menggunakan punggung tangan, jangan sampai kedua mertuanya dan Jingga tahu kalau dia barus selesai menangis kejer.Biru pikir akan kehilangan Jingga, bila sampai terjadi maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Badan aja gede, nangis kaya anak kecil … setiap orang yang lewat taman ini pasti noleh ngeliat kamu, disangkanya kamu ditinggal meninggal istri.”“Pii
“Cintaaaa … ini Bara nangis, kamu susui dulu.” Mami masuk ke dalam kamar Cinta yang sedang tidur siang bersama Kiana.“Aduh Miiii, ‘kan ada susu formula … pake susu formula aja … Cinta ngantuk, nanti malem harus begadang.”Cinta malah balas merengek.“Cinta … susu formula itu dikasih sama Bara kalau ASI kamu lagi enggak ada aja, perjanjiannya Bara minum susu formula karena nyusunya kalau anak laki-laki ‘kan memang banyak, bukan karena kamu males menyusui.” Mami mengomel membuat pening kepala Cinta.“Miiii … Ssttt … Ssttt … berisik Mi, Kiana lagi bobo.” Cinta menempelkan telunjuknya di bibir dengan mata masih terpejam seakan rugi bila membuka mata karena mungkin nanti ngantuknya bisa hilang.“Kamu itu ya, bikin anak aja terus … tapi ngurus enggak mau.” Mami masih ngomel seiring langkahnya keluar kamar membawa Bara yang tengah menangis karena lapar.“Nan … buatkan susu formula untuk Bara lalu bawa ke bawah,” titah Mami yang mendapat anggukan dari Nanny.Secepat kilat Nanny pergi ke kama
Davian menarik langkah menjauh dari ruang televisi, meniti anak tangga untuk tiba di kamar.Sesampainya di kamar, kegelapan menyambutnya.Samar dia melihat Cinta dan Kiana berbaring di atas ranjang.“Sayang, udah lewat maghrib lho … masa belum bangun?” Davian berujar lembut saat Cinta menggeliat karena terusik lampu kamar yang dinyalakan Davian membuat ruangan itu terang benderang.“Kan aku nanti malem begadang, Mas.” Cinta menyahut dengan suara parau.“Pappiii … Papapiiii.” Kiana yang ikut bangun langsung mendudukan tubuhnya sembari memanggil sang papi.“Waaah, Kakak udah bisa manggil Papi?” Cinta begitu takjub.“Coba panggil, Buundaaa … Bun … daaaa.” Cinta menuntun, ingin juga disebut oleh Kiana.Tapi Kiana hanya bisa menggerakan bibirnya tanpa suara.“Yaaaah, kamu pilih kasih …,” kata Cinta sembari menjawil hidung Kiana lalu turun dari tempat tidur.“Mas, panggil Nanny-nya Kiana ya … suruh mandiin sama kasih makan Kiana… aku mau mandi dulu,” titah Cinta kepada suaminya seraya melen