"Mangsa baru kamu, Bro?" tanya Aldi, teman kuliah Dion. Lelaki itu terus memandang ke arah Savira. Tatapan suka terlihat jelas di matanya. Cinta pandangan pertama, bisa dikatakan seperti itu. Jantung Aldi kian berdetak saat memandang Savira. Senyum wanita itu bak magnet yang menarik dirinya mendekat. "Siapa kamu, Dion?" tanya salah satu temannya. Dion diam, bingung harus menjawab apa. Pernikahan ini adalah sebuah musibah. Dia membenci wanita yang kini menjadi istri, itu yang membuat dia bungkam tak menjawab pertanyaan Aldi atau temannya yang lain. Dia gengsi memiliki istri dari kalangan rendahan seperti Savira. "Saya perawat Tuan Dion.""Benar begitu, Dion?" tanya Aldi penasaran. "I--iya, dia perawat pribadiku."Cukup berat Dion mengeluarkan kata. Namun dalam hati ia bersyukur karena Savira menutup rahasia pernikahan. Entah sampai kapan. Dalam wasiat jelas tertulis pernikahan mereka harus dipublikasikan. "Sini bentar, Bro!"Aldi menarik tangan Dion, membawanya menjauh dari Savir
"Kamu tak apa, Ra?" Seketika aku menoleh, menatap lelaki yang berjongkok hendak membantuku berdiri. Aroma tubuh, perhatian dan paniknya masih sama. Meski aku sudah menggoreskan luka berulang kali. "Kamu baik saja, Ra?" tanyanya lagi karena aku mematung. "I-iya, Dok." Aku segera beranjak, sebelum ia membantuku berdiri. Merapikan pakaian yang sempat berantakan karena aku terjatuh tadi. Namun seketika berhenti saat Pak Bram terus menatapku. "Ada yang salah, Dok?" tanyaku seraya menatap dari ujung kepala hingga kaki. Memastikan tak ada yang aneh dengan penampilan ini. "Oh, tidak ... tidak. Sedang apa kamu di sini?"Ah, kembali aku teringat dengan Dion. Dia pasti kebingungan mencariku. Tapi biarlah, dia saja tak peduli dengan hatiku. Setidaknya cari jawaban yang tidak menyakitiku. Bukan justru menggoreskan luka dengan sebuah kata. "Ngemall, Dok. Bukan lagi pasang infus.""Ha ha ha ... Savira... Savira, kamu ada-ada saja."Tawa renyah itu kembali hadir. Syukurlah, dia tak membenciku
"Dion!""Ha ha ha, kamu lucu, Ra!" Dion tertawa sambil mengibarkan sebuah lingerie berwarna pink. Tangan kirinya menutup mulut, menahan tawa, meski nyatanya suara tawa itu masih terdengar begitu jelas. Ah, menyebalkan. Aku berlari ke arahnya, merebut pakaian kurang bahah itu. Sungguh lelaki itu tak memiliki urat malu. Bisa-bisanya memperlihatkan pakaian ini di tempat umum. "Gila kamu, Dion!"Dengan kesal aku berjalan ke arah karyawan yang berdiri tak jauh dari kami. Wanita itu menutup mulut, menahan tawa seraya melirik ke arahku. Namun seketika tegang kala aku semakin mendekat ke arahnya. "Maaf, Mbak. Ini tidak jadi.""Eh, i-iya, Mbak." Dia menerima dengan sedikit gugup. "Kamu seksi jika memakai itu, Ra!" bisiknya di telinga kananku. "Ngawur!" Aku jitak kepala lelaki itu. Namun dia justru semakin tertawa. Dion sangat menyebalkan. "Tunggulah di depan, aku akan membayarnya."Tanpa menjawab aku berlalu dari hadapannya. Sempat kulihat dia berbicara dengan kasir, tapi aku memilih m
Savira terpaku, beberapa kali ia cubit pahanya. Berusaha meyakinkan diri jika telinganya tak salah dengar. Dion mengakui dirinya sebagai istri. "Apa kamu bilang? Istri?"Regina mengepalkan tangan, melangkah mendekati Dion. Dada wanita itu semakin naik turun, emosi telah memenuhi hati dan pikirannya. Tiba-tiba tangan Regina melayang ke udara, dalam hitungan detik mendarat di pipi kiri Dion. Gambar lima jari terlihat jelas di pipi putih Dion. Nyeri dan panas menjalar tapi hati lelaki itu yang kini terluka. Dion diam, sudut bibirnya tertarik ke atas. Perlakuan Regina hanya dia diamkan. Lelaki itu sudah hafal sikap ibunya yang tempramental dan egois. "Kita bicara di sana!"Tangan Dion menarik Regina menjauh dari tangga. Savira memilih diam, ia memunguti pakaian yang berserakan di lantai. Sesekali mengelus dada yang terasa nyeri. "Dia pacar kamu, Mas?""Kampungan!""Wanita mudah*n! Kamu hanya mengincar harta Mas Purnawan. Licik!"Savira beristighfar seraya mengelus dada yang terasa ny
"He--Hendra ... sejak kapan kamu di situ?"Regina menelan ludah dengan susah payah. Keringat dingin membasahi dahi, bahkan sekujur tubuhnya. Ibu kandung Dion ketakutan rencananya diketahui orang kepercayaan Purnawan. Derap langkah Hendra bak sirine kematian yang terdengar begitu jelas. Regina menggeser tubuhnya, mendekat pada lelaki yang masih asyik menyeruput kopinya. Dion seolah tak peduli dengan kedatangan Hendra. "Mau kopi, Hen?" tanyanya seraya melirik lelaki yang baru saja duduk. "Tidak perlu, Mas.""Sejak kapan kamu berdiri di situ, Hen?" tanya Regina lagi. "Sejak Nyonya Regina berniat menyingkirkan Savira."Hendra menatap tajam perempuan yang duduk gelisah itu. Sorot mata bak elang, semakin membuat nyali Regina menciut. Keangkuhan yang ia miliki seketika lenyap. "I--itu tidak seperti yang kamu pikirkan, Hen. Aku tak ingin Dion menikah dengan Savira, itu saja.""Lupakan saja, kedatangan saya kemari ingin berbicara dengan Mas Dion dan Savira. Bisa panggilkan Savira?"Dion m
"Savira!" teriak Dion lantang. Savira segera berlari, menuruni anak tangga menuju keberadaan Dion. Pernah bekerja di rumah sakit membuat langkahnya cepat dan tepat. Meski napasnya sempat tersengal akibat berlari dari lantai atas. Belum lagi dia jarang berolahraga. Dion duduk di sofa ruang tamu, menyeruput kopi yang masih mengepul. Matanya asyik menatap layar smartphone miliknya. Dia abaikan Savira yang berdiri seraya mengatur napas beberapa kali. Lebih tepatnya pura-pura tak melihat. "Aku buru-buru, lari sampai ngos-ngosan. Tapi kamu masih santai ngopi, Dion?" Savira menghembuskan napas kasar, kesal pada lelaki yang masih duduk santai di hadapannya. Dion hanya diam, melirik Savira kemudian kembali menyeruput kopinya. Perempuan yang mengenakan setelan kaos dan celana jeans itu pun ikut menjatuhkan bobot di sofa, tepat di hadapan Dion. Meja dari kaca sebagai pembatas di antara mereka. "Ayo! Ngapain kamu duduk di situ!"Dion berdiri, berjalan keluar rumah. "Benar-benar menyebalkan
Dion masih melotot dengan mulut terbuka lebar. Lelaki itu terkejut melihat perempuan yang berdiri di hadapannya. Tak dipungkiri ia mengakui kecantikan Savira. Gaun putih tulang dengan lengan pendek menempel indah di tubuh putih Savira. Belum lagi desain gaun yang mewah kian menambah kecantikan perempuan itu. Waktu seolah berhenti sesaat kala netra keduanya bertemu. Ada getaran yang tiba-tiba hadir di hati Dion dan Savira. Namun mereka tepis karena kebencian yang sering kali muncul, terutama di hati Dion. "Gimana, Dion?""Gimana apanya? Biasa aja, gak ada cantik-cantiknya.""Yakin? Kenapa mangap dari tadi?""Mangap kek gini?"Dion membuka mulut lebar, mencontohkan ucapan Savira baru saja. Uhuuk... Uhuuk.... "Kenapa?" Savira menautkan dua alis, menatap heran lelaki yang duduk di sofa. Dion batuk beberapa kali, mengeluarkan sesuatu yang tiba-tiba masuk di mulutnya. Seekor nyamuk salah memilih jalur, masuk ke gua yang ternyata mulut Dion. "Nyamuknya pakai masuk ke mulut. Howeek ...
"Ini Dion ke mana?" Savira menoleh ke kanan kiri, mencari mobil mewah berwarna hitam. Namun nihil, kendaraan roda empat itu sudah menghilang dari pandangan. Dion meninggalkan istrinya di pom bensin. "Aku pulang apa ke kantor Pak Ridwan? Mana laper lagi," ucap Savira pelan. Savira diam sesaat di depan minimarket. Perempuan itu kebingungan memilih pergi ke mana, rumah atau kantor pengacara. Dia melangkah meninggalkan pom bensin seraya berpikir ke mana kaki harus berhenti. Istri Dion Adi Purnawan berdiri di pinggir jalan, menunggu sebuah taksi lewat di jalan itu. Sudah sepuluh menit perempuan itu menunggu tapi belum juga mendapatkan taksi atau ojek. Teknologi yang semakin maju menjadikan taksi biasa berkurang, mereka kalah dengan taksi online yang beredar di aplikasi. Sialnya ponsel Savira tertinggal di dalam mobil. Dia tak bisa memesan taksi melalui aplikasi. Menunggu adalah jawaban terbaik dari masalah yang ia alami. "Lama-lama berdiri di sini bisa kering sekujur tubuh. Dion mema