Share

Bab 04

Di dalam ruang rawat Tere, Kiara sudah mengenakan kebaya putih khas untuk akad. Pagi hari tepatnya jam delapan pagi ini, dia akan menikah dengan Andra yang sudah mempersiapkan semua keperluan pernikahan, termasuk saksi pernikahan mereka.

“Kamu tenang saja, Ra. Aku akan pastikan kalau Bang Andra bersikap adil pada kita,” ucap Tere yang merias Kiara dengan tipis. “Cantik sekali. Kamu terlalu cuek dengan penampilanmu. Nanti aku akan mengajarimu merias seperti saat ini.”

Kiara memperhatikan wajahnya yang dirias oleh Tere dari cermin yang dia pegang. Wajah yang putih pucat biasanya hanya dipoles sedikit bedak padat dan pelembab bibir, itu pun kalau Kiara ingat dan tidak malas menggunakannya. Kini wajahnya dipoles tipis, sehingga lebih cerah dan berwarna.

Tanpa kedua wanita itu sadari, Andra masuk ke dalam ruangan bersama penghulu dan saksi yang dia siapkan. Pandangannya begitu dalam pada kedua wanita itu, terutama pada istrinya yang terlihat berbinar bahagia. Kalau umumnya, tidak ada wanita yang mau dimadu. Berbeda dengan Tere yang begitu senang, mungkin karena keadaan dserta kondisi yang Tere alami.

“Mas Andra,” seru Kiara melihat pada lelaki itu.

Kemudian diikuti oleh Tere yang juga melihat pada sang suami. “Semuanya sudah siap, Bang?”

“Hm. Akad nikahnya sudah bisa dilaksanakan,” sahut Andra mempersilakan orang-orang yang dia bawa untuk bersiap duduk di tempat yang sudah disiapkan. Begitupun dengannya dan Kiara yang duduk bersisian, sedangkan Tere menyaksikan dari ranjang pasien.

Jantung Kiara berdegup kencang dengan keringat dingin yang perlahan membasahi telapak tangannya. Penikahan yang dia lakukan sangat jauh berbeda dengan pernikahan impiannya. Namun, pernikahan itu adalah harapan untuk menyelamatkan kakaknya. Kiara rela melakukan apa pun demi kesembuhan sang kakak. Tidak peduli kalaupun nanti harus terluka dan berdarah sekalipun.

Andra mulai menjabat tangan penghulu. Dengan sekali helaan helaan napas, lelaki itu mengucapkan ijab kabul dengan lancar.

“Bagaimana saksi? Sah?”

“Sah!” jawab serentak para saksi.

Mereka berdo’a sejenak, lalu Andra memasangkan cicin yang begitu pas di jari manis Kiara. Setelahnya Andra mengulurkan tangan, sehingga Kiara mengecup punggung tangan lelaki yang sudah menjadi suaminya.

Kiara berdiri duduknya seraya mendekati Tere yang memeluknya dengan lembut. Ada sedikit rasa bersalah dalam hatinya karena harus menjadi orang ketiga dalam pernikahan wanita itu. Serta rasa bersalah pada Fira yang pasti akan terkejut kalau tahu dirinya menikah secara sembunyi-sembunyi.

“Selamat ya, Ra. Sekarang kita sudah benar-benar menjadi saudara,” kata Tere dengan wajah senang yang tidak luntur. “Ingatkan aku kalau nanti aku terlalu banyak mengambil waktu Bang Andra darimu.”

Gelengan dilakukan oleh Kiara. “Tidak masalah kalau Mas Andra lebih banyak menghabiskan waktu untukmu, Re. Kamu istri pertamanya dan tidak ada istilah istri pertama disia-siakan sedangkan istri kedua diutamakan.”

“Kamu bisa saja, Ra. Tapi aku akan berusaha membuat Bang Andra adil pada kita berdua. Apalagi kalian harus program agar lekas punya anak ‘kan?”

Kiara tersenyum tipis. Setelah ini dia memang akan ke dokter kandungan untuk memulai program kehamilan, karena tujuannya menikah dengan Andra adalah untuk memberikan keturuna pada lelaki itu. Dan untuk memenuhi keinginan Tere.

Lagipula yang dia dapatkan cukup sepadan. Kakaknya akan dioperasi dan Andra akan mencarikan donor sumsum tulang belakang. Jadi, Kiara tidak boleh mengeluh apalagi menyesali yang sudah terjadi.

“Ra,” panggil Tere melihat madunya terdiam. “Kenapa? Apa ada yang salah dengan ucapanku? Atau ada yang memberatkanmu? Kalau ada katakan saja, aku tidak mau kamu

“Tidak ada, Re. Aku cuma bingung bagaimana menjelaskannya pada Kak Fira,” dusta Kiara tidak mau Tere tahu kalau dirinya masih meragu dengan pernikahan yang baru terjadi.

Tere tersenyum mengerti. “Kalau kondisi Kak Fira sudah membaik, kita sama-sama bicara dengannya. Aku yakin Kak Fira akan mengerti dengan keputusanmu.”

Dan Kiara yakin kalau kakaknya akan merasa bersalah. Andai yang dia nikahi adalah laki-laki lain yang belum menikah, pasti kakaknya sedikit lebih tenang. Sayangnya Kiara tidak punya pilihan lain dan terdesak biaya untuk operasi sang kakak.

Di sisi lain, Kiara juga ingin memenuhi keinginan terakhir Tere. Walaupun nanti harus memberikan anaknya.

“Honey,” panggil Andra kembali masuk ke dalam ruangan setelah mengantarkan orang-orang yang berpartisipasi dalam pernikahan keduanya. “Dokter bilang kamu sudah bisa rawat jalan, tapi aku lebih suka kamu di rawat di rumah sakit.”

Kalau Tere di rawat di rumah sakit, sudah pasti dokter akan sigap menangani kalau penyakit wanita itu kambuh. Berbeda dengan Tere yang tidak betah di gedung berbau obat itu.

“Aku mau pulang saja, Bang. Lagian ada Kiara yang bisa jaga aku,” kata Tere melihat pada Kiara untuk meminta bantuan agar mendukungnya.

Andra melihat pada Kiara yang mengangguk pelan, kemudian berkata, “Baiklah, tapi aku tidak mau kamu kelelahan. Dan ... untuk saat ini biarkan Kiara yang mengurus butikmu. Toh, semua karyawanmu sudah tau kalau Kiara kaki tanganmu.”

Memang benar kalau Kiara adalah orang kepercayaan Tere di butik. Sifat Kiara yang ramah dan mudah membaur membuatnya dekat dengan semua karyawan. Tak ayal Kiara juga suka membantu karyawan yang butuh bantuannya, asal kerjaannya sendiri sudah selesai. Akan tetapi, dia merasa belum pantas kalau harus menggantikan posisi Tere.

“Tidak masalah, aku percaya kok kalau Kiara bisa gantiin aku,” sahut Tere penuh kepercayaan.

“Em ... tapi, Re. Aku rasa mending yang lain saja. Aku merasa belum terlalu pantas dan ada karyawan yang lebih baik dariku,” tolak Kiara secara halus.

Helaan napas panjang dilakukan oleh Tere yang sudah tahu kalau Kiara pasti tidak akan mudah menerima keputusannya. “Ra, kamu sudah kerja denganku selama dua tahun. Aku juga tau kalau rancanganmu sangat bagus, kamu cuma kurang percaya diri.”

Tere sudah sering melihat sendiri rancangan baju milik Kiara yang sangat kekinian. Klien dan pengunjung selalu puas dengan hasil kerja wanita itu. Bahkan Kiara mendapat kesempatan untuk menjual brand-nya sendiri, tetapi perempuan itu merasa belum pantas. Dan masih ingin menambah pengalaman dengan berkerja pada Tere.

“Kamu cuma menjadi penghubung saja antara karyawan dan Tere,” ucap Andra mencoba meyakinkan Kiara agar mau menerima usulannya. “Pemimpinnya tetap Tere dan kamu tetap jadi bawahannya.”

“Oh gitu, ya sudah aku mau,” jawab Kiara dengan berat hati sekaligus takut dengan tatapan Andra yang begitu tajam.

Kiara tidak ikut mengantar Tere dan Andra pulang. Sebelum menemui Kakaknya, Kiara sudah berganti pakaian serta menghapus riasan di wajahnya. Dia izin keluar dengan berbohong kalau ada kerjaan, padahal Kiara melaksanakan akad nikah dengan suami temannya sendiri. Rasanya tidak nyaman kalau harus membohongi sang kakak, tetapi Kiara tidak ada pilihan lain.

Sampai di ruangan kakaknya, terlihat wanita yang lebih tua dari Kiara duduk dengan pemandangan kosong. Kiara menghampiri Fira seraya duduk di samping ranjangnya.

“Kak,” seru Kiara sambil tersenyum. “Kakak kenapa? Kayaknya ada yang sedang dipikirkan.”

Fira menatap lekas adik cantiknya, lalu menghembuska napas pelan. “Dokter bilang kalau nanti sore kakak akan dioperasi.”

“Syukurlah, harusnya Kakak senang dong.” Kiara merasa lega karena Andra benar-benar menepati janjinya.

“Memang harusnya begitu, tapi ... .” Fira semakin dalam menatap adiknya. “Kakak masih ragu kalau kamu pinjam sama Tere uang sebanyak itu. Kamu tidak melakukan sesuatu yang merugikan dirimu sendiri ‘kan, Ara?”

Seolah punya ikatan batin, Fira bisa merasakan apa yang sedang terjadi pada Kiara. Tidak heran, mereka sudah saling berbagi susah-senang bersama, tentu Fira sangat tahu sifat serta watak sang adik. Sehingga Kiara dilema untuk menceritakan yang sebenarnya atau tetap menyembunyikan sampai keadaan kakaknya membaik lebih dulu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status