“Gimana apanya?” tanya Ardhan.“Kok gimana apanya, gimana tentang rencana Ibu tadi kamu setuju atau tidak?”“Terserah ibu saja,” jawab Ardhan. “Aku berangkat dulu ya, Bu.”Motor Ardhan mulai bergerak meninggalkan rumahnya, ia berniat mengambil jalan utama namun si Kakek yang mengerti suasana hati Ardhan menyarankannya untuk lewat jalur alternatif saja. “Bukankah kita perlu mengobrol,” kata Kakek.Karena setuju dengan pendapat Kakek maka ia mengubah laju sepeda motornya menuju jalan alternatif. Selama perjalanan ke kantor, Ardhan dan Kakek mengobrol tentang banyak hal, pria tua itu berusaha membuat suasana hati Ardhan menjadi lebih baik lagi. Karena ia tahu akan ada hal lain yang membuatnya suasana hatinya semakin buruk.“Entah mengapa Kakek terkesan berusaha menghiburku,” selidik Ardhan. Ia merasa si Kakek berusaha untuk membuatnya tertawa, karena tak biasanya pria tua itu bersikap demikian. “Apa akan terjadi sesuatu di kantor?”“Aku hanya mencoba menghiburmu, itu saja. Jangan menuduh
Ardhan ingin menjawab pertanyaan si Kakek tetapi ia tak bisa melakukannya karena ada Moritz di ruangan tersebut. Ia bingung harus melakukan apa, lelaki itu hanya menatap kakek dan moritz secara bergantian.“Tenang saja, dia tidak akan mendengar percakapan kita,” ujar si Kakek sembari menjentikkan jarinya.“Wow, Kakek keren sekali,” ucapnya kagum setelah menyadari jika bekas temannya itu mendadak menjadi patung.“Dia tidak menyakitimu ‘kan?”“Aku baik-baik saja Kek, dia tidak menyakitiku. Memangnya kenapa Kek?” tanya Ardhan antusias.“Dia dan Jonas merencanakan sesuatu padamu tetapi aku sudah menggagalkan semuanya,” kata si Kakek. Ardhan berterima kasih pada Kakek karena lagi-lagi menolongnya.“Yasudah kalau kamu baik-baik saja,” ujar Kakek. Ketika Kakek akan menjentikkan jarinya untuk mengembalikan keadaan seperti semula, Ardhan memintanya untuk mengusir Moritz dari ruang kerjanya. Tentu saja Kakek menolaknya, ia menyuruh Ardhan untuk melakukannya sendiri.“Jahat sekali,” gerutunya.
“Aku bertemu Kinanthi di sini?” tanya Ardhan.“Tentu saja tidak, aku hanya sekadar bertanya saja,” ujar Kakek. Pria tua itu sengaja tidak mengatakan yang sebenarnya setelah mendengar tanggapan dari lelaki itu.“Seandainya aku bertemu Kinanthi di sini, tidak masalah, aku langsung meninggalkannya karena sudah pasti akan muncul si Prama,” kata Ardhan.Kakek tersenyum mendengar itu, pria tua itu tidak menyalahkan pendapat Ardhan karena yang terjadi biasanya memang seperti itu. Tetapi kali ini berbeda, Kinanthi sedang tidak bersama dengan Prama.Apa yang diucapkan Ardhan barusan tidak terjadi, ia tidak meninggalkan perempuan itu. Ia malah langsung membantu perempuan itu saat mobilnya mogok. “Terima kasih Pak Ardhan,” ucap Kinanthi.“Jangan berterima kasih dulu, mobilmu saja belum bisa hidup,” jawab Ardhan, ia masih mengutak-atik mesin mobil Kinanthi. Waktu terus berjalan, terhitug sudah satu jam Ardhan mencoba tetapi ia masih belum bisa memperbaikinya. “Aku menyerah, panggil montir saja.”
“Dia menjadi pria temperamen, bertindak anarki, jika ia kalah maka dia akan depresi seperti waktu itu,” jelas Kinanthi.Ardhan menghentikan laju motornya, ia menepi sebentar sembari memikirkan perkataan Kinanthi barusan. Efek dari sifat Prama tak hanya kena ke mereka tetapi juga ke diri Prama sendiri. Dan sudah pasti akan berbuntut panjang nantinya. Ardhan ingat betul saat Prama mengalami guncanagan mental tempo hari.“Jadi kita putar arah? Lalu bagaimana jika dia melihat kita di tempat lain?” tanya Ardhan.“Kalau begitu, turunkan aku di sini. Mas Ardhan silakan pulang tetapi please jangan lewat depan rumahku,” kata Kinanthi. Ardhan menyetujui pendapat perempuan tersebut, ia menurunkan Kinanthi di tempat tersebut kemudian memutar arah motornya.Ardhan kini dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Kakek sudah berada di belakangnya, ia senang dengan sikap kedua anak manusia itu. Mereka tampak dewasa dalam menghandle situasi tersebut.“Mbak Kinanthi ternyata bisa mengimbangimu ya Dhan,” ujar
“Aku tidak tahu pasti artinya, menurutku Ayahmu berpikiran kalau kamu ingin segera menikah,” kata sosok itu.“Aku memang ingin segera menikah, meresmikan hubunganku secepatnya tetapi kekasihku masih sibuk,” sahut Ardhan.“Yasudah kalau begitu, tunggu sampai hari baik itu datang,” kata si Kakek. Percakapan keduanya berganti topik menjadi dunia otomotif, kakek memberitahu lelaki di depannya itu jika ada motor yang lebih keren dari motornya.Ardhan yang penasaran dengan kendaraan tersebut melihat ke arah kendaraan yang ditunjuk oleh pria tua itu, matanya membulat setelah mengetahui kendaraan tersebut. “Itu motor Prama, Kek.”“Motor Prama? Gimana kamu bisa tahu?” tanya si Kakek.“Kendaraan milik Prama selalu memiiki plat nomor yang sama,” ungkap Ardhan. Kakek tua itu mengerti kenapa Ardhan langsung tahu siapa pemilik kendaraan tersebut.“Kenapa dia juga lewat jalan ini? Bukankah rumah jauh dari sini,” cicit si Kakek.“Dia tidak mengejarku ‘kan Kek?” tanya Ardhan, ia mulai khawatir.“Seper
“Benar, ini mobil Prama yang aku lihat di depan rumah Kinanthi,” lanjut Ardhan, setelah ia mengelilingi mobil tersebut.“Memangnya kenapa kalau ini mobil Prama?” tanya Kakek. “Justru lebih baik lelaki itu ada di sini, jadi ia bisa melihat apa yang kamu lakukan dengan Kinanthi. Semua hanya tentang pekerjaan saja,” timpal si Kakek.Ardhan menganggukkan kepalanya tanda ia setuju dengan perkataan si Kakek. Dengan langkah penuh semangat dan percaya diri, Ardhan masuk ke dalam perusahaan besar tersebut. Resepsionis yang sudah tahu maksud kedatangannya, mengarahkannya untuk menunggu di ruang meeting.Sepanjang jalan menuju ruang meeting, Ardhan sibuk melihat ke kanan dan kiri. Ia mencari keberadaan Prama di tempat itu namun sejauh matanya memandang, tak terlihat sosok pria bermata jingga tersebut.“Jangan pikirkan hal lain, fokus saja pada pekerjaanmu,” nasehat si Kakek.Ardhan menuruti perkataan si Kakek, tujuannya ke sana untuk pekerjaan sehingga sebisa mungkin dirinya bersikap profesional
“Sebenarnya berkas tersebut bisa dikirim melalui email tetapi prosesnya lama dibandingkan datang ke sana,” jelas pegawai tersebut.“Seberapa urgent file tersebut?” tanya Ardhan, ia ingin tahu apakah berkas tersebut sangat dibutuhkan atau tidak, karena sejujurnya ia malas jika bertemu dengan Prama.“Dibilang tidak penting ya tidak penting tetapi berkas kerja sama kita tidak lengkap jika tidak ada berkas tersebut,” jawab pegawai perempuan itu. “Dengan kata lain, berkas pendukung yang penting.”“Begini saja, filenya tetap minta dikirim melalui email jika ternyata dalam waktu dekat tidak diproses maka aku akan mengambilnya sendiri.”Sepakat, asisten Pak Bobby setuju dengan usulan lelaki itu dan kini mereka masuk ke ruangan kerja masing-masing. Di dalam ruangan kerja Ardhan, si kakek memberikan perndapatnya tentang kesepakatan yang baru saja dilakukan Adhan dan asisten atasannya.“Kenapa tidak diurus saja ke sana? Bukannya image-mu akan bertambah baik.”“Bukannya tambah baik malah tambah b
“Boleh,” jawabnya. Kakek kaget dengan jawaban Ardhan. Ia pikir lelaki itu tak mau jika diajak kembali ke tempat itu namun yang terjadi justru sebaliknya. Ia tampak menyesal sudah mengajak Ardhan melihat orang tersebut.“Kamu sungguh ingin melihat orang itu?”“Kenapa, kakek terlihat takut?” goda Ardhan.Sosok misterius itu memamerkan senyumannya. “Tidak usah saja ya, Dhan.”“Kakek takut aku bertengkar ya,” kata Ardhan. “Tenang aja Kek, aku hanya bercanda, siapa juga yang ingin kembali ke sana hanya untuk memastikan orang itu Prama atau bukan. Tidak ada manfaatnya untukku.”Usai mengatakan hal tersebut, Ardhan kembali menjalankan kendaraannya. Mereka memulai obrolan yang lain, kakek mengatakan dirinya yakin jika suatu hari nanti Ardhan bisa sehebat Pak Bobby bahkan menduduki jabatan lebih tinggi. “Asal kamu konsisten.”“Benarkah? Tetapi aku lebih suka tugas keluar, bertemu banyak orang, Kek,” timpal Ardhan. Ia tak betah bila harus duduk berlama-lama di kantor, hal itu akan membuatnya me