Share

Bab 6

“Aaaah!”

Suara teriakan tertahan memaksa Maya untuk kembali membuka matanya, tampak sebilah pisau menghujam perut Dewi. Kembali cairan merah memercik dan menggenang di lantai kamar,tubuh Maya bergetar hebat melihat kengerian yang terpampang di depan mata.

Gadis yang dipanggil Maya dengan nama Dewi masih berdiri tegak walau tubuhnya berlumuran cairan merah, perlahan Dewi meraba keningnya yang berlubang akibat hantaman palu.

“Lihat Maya, lihat otakku keluar, apa kau mau mencicipi?”

Maya menggeleng, tubuhnya bergetar menahan takut. Dewi melangkah mendekati Maya, dengan langkah tertatih dan sedikit mengangkang. Sebelah tangan meraba perut yang tertusuk pisau, dicabutnya benda itu hingga cairan merah bercampur gumpalan usus melompat keluar.

Dewi merogoh tangannya ke dalam lubang di perut, saat tangan ditarik keluar tampaklah gumpalan sebesar anak kucing berbentuk manusia. Dewi bagai melayang, kini dirinya hanya berjarak setengah langkah di hadapan Maya, di-ulurkannya tangan yang memegang janin ke arah Maya seraya berkata; “Maya lihat ini, anak ... anakku telah lahir, tolong aku Maya, tolong anakku.”

“Tidak ...!” Maya berteriak kencang hingga seisi rumah terjaga, gadis itu terduduk di ranjang dalam kondisi tubuh bersimbah keringat dingin.

“Maya, kamu kenapa?” tanya Juriah.

Ceklek!

Pintu terbuka, tampak Zubaidah dengan wajah panik berdiri di ambang pintu.

“Juriah, ada apa Sayang?” tanya Zubaidah cemas, dia pikir anaknya kumat.

“Maaf Tante, Maya mimpi buruk,” sesal Maya seraya turun dari ranjang.

“Ria, aku pulang ke asrama ya. Tante makasih tumpangannya,” pamit Maya, setelah itu dia melangkah tertatih-tatih keluar dari kamar Juriah.

Akibat mimpi buruk yang dialaminya, seharian Maya merasakan tubuhnya lesu dan kehilangan semangat. Di kampus pun gadis itu lebih banyak diam, sampai sore saat mata kuliah berakhir Maya masih terlihat murung. Dua orang teman menghampirinya.

“May, kamu baik-baik saja bukan?” tanya gadis yang kini duduk di sebelah Maya.

Maya menatap gadis di hadapannya lalu berpindah ke pemuda di sebelah gadis itu.

“Akmal, Sofa, kalian apa tidak pernah didatanginya?” tanya Maya.

Akmal dan Sofa-teman sekelas Maya saling pandang sejenak.

“Apa yang kamu bicarakan, May?” tanya Sofa lembut.

“Dewi ... dia kesakitan, keningnya berlubang, perutnya terbelah, dan janinnya keluar.”

Sofa memegang pundak Maya, “May apa yang kamu lihat itu cuma mimpi,” bisiknya.

Akmal menarik napas panjang, sebelah tangan mengusap wajah yang tiba-tiba kejatuhan air mata.

“Tapi mengapa semuanya terlihat begitu nyata? Aku yakin itu petunjuk, Dewi pasti sesakit itu diakhir hayatnya,” bantah Maya.

Brak!

Akmal menepuk meja, pemuda itu bangkit dan pergi, dia menendang kursi yang dianggap menghalangi jalannya.

Sofa mengejar pemuda itu, “Akmal tunggu!”

Pemuda itu berdiri di balkon depan ruang kelas, kedua tangan menggenggam besi pagar balkon dengan keras, sampai urat-urat di tangan bertonjolan keluar.

Sofa memegang pundak pemuda itu, mengelusnya pelan seolah memberikan penguatan.

“Mengapa setiap kali aku hampir berdamai dengan kenyataan, selalu saja ada yang mengungkit cerita dan membuka luka?” keluh Akmal pelan.

Sofa membelai tangan pemuda itu, masih berusaha mengirimkan sinyal ketenangan ke hati dan pikiran Akmal.

“Lebih sakit lagi, saat yang mengungkit itu adalah orang terdekat.” Tambah Akmal.

“Bukan kamu saja, Mal. Kita semua merasakan sakit yang sama, lebih-lebih Maya yang mengalami mimpi buruk.” Jawab Sofa.

Akmal sebenarnya hendak menyela perkataan Sofa, tapi ditahan saat dia melihat seorang ibu terlihat kebingungan di tengah aula.

“Siapa ibu itu?” tanyanya.

Sofa memperhatikan ibu yang dimaksud Akmal, “Sepertinya ibu yang beberapa hari lalu pindah ke rumah sebelah asrama,” jawab Sofa, di bawah sana si ibu tampak sedang bicara dengan seorang mahasiswa.

Mahasiswa itu menengadah ke atas melihat ke arah Akmal dan Sofa, “Mal, Sof, kalian melihat Maya tidak?” teriak mahasiswa tersebut.

Sofa berpaling ke belakang melihat ke dalam kelas, tampak Maya masih duduk di tempat semula.

“Ada tuh di kelas,” jawabnya ke mahasiswa yang bertanya.

Si ibu yang tadi bicara dengan si mahasiswa bergegas menuju tangga, sebentar saja dia sudah sampai ke dekat Sofa dan Akmal.

“Nak, di mana Nak Maya?” tanya ibu itu yang tidak lain adalah Zubaidah.

“Itu Bu di kelas,” tunjuk Sofa.

Zubaidah berlari kecil masuk ke ruang kelas, Sofa dan Akmal mengikuti dari belakang.

“Maya,” panggil Zubaidah, “Mana Juriah?” tanyanya seraya menghampir Maya.

“Juriah?” gumam Maya, “Tidak ada Tante, Maya kuliah dari pagi, belum bertemu Juriah.” Jawab Maya.

“Tapi tadi sehabis mandi sore, Juriah pamit katanya mau makan bakso sama kamu,” jelas Zubaidah.

Maya menggeleng, “Tidak ada Tante, demi Allah Maya sejak pagi di kampus gak ke mana-mana dan gak ketemu Juriah.” Maya menatap kedua temannya, meminta dukungan dan kesaksian.

“Betul Tante, sejak pagi Maya bersama kami,” sokong Sofa.

Zubaidah terdiam, “Aduh Juriah ke mana ya?” gumamnya bingung. “Tadi katanya mau makan bakso di kantin kampus, kantin di bagian mana Dek?” tanyanya kepada ketiga anak muda itu.

“Kantin Cuma bukan sampai siang aja, Tante. Kalau sore udah gak buka lagi, tapi kalau Tante penasaran, ayo kami antar.” Ajak Sofa.

*****

Juriah berjalan kebingungan menyusuri bangunan yang berada di ujung Selatan gedung kampus, “May ... Maya ....” panggilnya sambil terus melangkah.

Juriah tidak tahu entah kemana perginya Maya yang tadi mengajaknya ke tempat ini, Maya mengajaknya menyantap bakso yang katanya enak sekali. Namun, begitu sampai di bangunan ini tidak ada seorang pedagang pun yang terlihat, bahkan kemudian Maya malah ikut menghilang.

Biasa saja Juriah pulang kembali ke rumah, tapi dia khawatir sesuatu terjadi kepada Maya, apabila dia tinggalkan gadis itu di tempat sepi ini. Juriah terus berjalan menyusuri bangunan yang pada bagian dalamnya terdapat sekat-sekat dan etalase untuk memajang barang dagangan, berikut kursi dan meja panjang yang biasa digunakan para pedagang makanan. Melihat kondisi bangunan ini, Juriah yakin ini memanglah kantin.

“Tapi kenapa sepi dan seperti tidak terpakai?” gumamnya bertanya-tanya.

“Maya ....” kembali Juriah memanggil temannya.

Sementara itu di luar bangunan tampak dua orang pemuda sedang mengendap-endap mendekati bangunan.

“Elu yakin cewek itu masuk ke dalam sana?” tanya pemuda pertama.

“Mata gue gak mungkin salah,” jawab pemuda kedua.

“Apa kita masuk? Tapi gue merinding, inikan tempat ....”

“Hus jangan banyak omong, kalau sampai ada yang dengar kita bisa masuk penjara,” pemuda kedua memotong ucapan temannya.

Pemuda pertama menyadari dirinya nyaris saja keceplosan, mengungkapkan sebuah rahasia besar. Segera dia bekap mulutnya sendiri, seraya melangkah mengikuti temannya yang lebih dulu berjalan memasuki bangunan.

Kedua pemuda itu memeriksa tiap ruangan yang disekat-sekat, mencari sosok Juriah yang tadi mereka lihat memasuki tempat ini sendirian.

“Yon ... Yono, lihat ....” pemuda kedua menjawil temannya.

“Apa sih Seno?” tanya pemuda yang bernama Yono.

“Itu,” Seno menunjuk ke arah gadis yang berdiri di ujung lorong yang gelap.

Yono dan Seno berjalan mendekati gadis itu, “Dek ...!” panggil mereka hampir bersamaan.

Gadis yang dipanggil tidak menjawab tetapi kepalanya berputar sembilan puluh derajat ke belakang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status