Bagaimana rasanya merantau ke tempat lain? Si kembar titip salam, sampai ketemu pada part-part selanjutnya!
"Arum, besok… bisa kita kontrol ke rumah sakit? Kita cek kondisi kalian. Aku tahu jadwal kontrol kamu beberapa hari lagi, tapi…." Akram terdiam sejenak. "Lusa aku harus ke Jawa. Mungkin sekitar seminggu baru bisa balik karena aku harus urus kerjaan di beberapa kota. Apa kamu keberatan?" "Sepertinya kamu sudah buat janji temu sama dokter?" Bukannya menjawab, Arum justru membalas dengan menebak. Ia tidak perlu bersandiwara karena keluarga kecil tetangga kostnya sudah masuk lebih dulu. "Belum, aku cuma tanya dia, bisa tidak jadwalnya dimajukan? Dokter kandungan kamu bilang dia tidak keberatan, makanya sekarang aku tanya kamu. Biar bisa jemput," jelas Akram. "Kamu ngapain ikut masuk?" tanya Arum lagi dan membuat Akram berusaha menahan diri untuk tidak meluapkan emosinya sekarang. Sungguh ia ingin sekali melihat langsung hasil USG anaknya. Mendengarkan denyut jantungnya yang kata Riswan membuatnya lupa sejenak dengan dunia. "Ada yang tertinggal di dalam. Daripada kamu jalan bolak-balik
Akram tersenyum lega duduk di kursi pesawat. Selain memandang foto USG dari darah dagingnya, telinganya juga terus mendengar detak jantung calon anaknya melalui earphone yang tersembunyi di balik kupluknya. Riswan benar, hal itu membuatnya lupa sejenak dengan dunia. Sungguh kuasa Allah tiada terkira. Perjalanan Akram dini hari ini terasa sekejap saja di pesawat. Tiba di Surabaya, ia langsung menuju ke salah satu warkop milik kenalannya. Salah seorang sahabatnya itu mempertemukannya dengan beberapa orang. Mereka sibuk berbincang dan membuat kesepakatan. "Kenapa buru-buru banget sih Ram?" tanya Lintang. Akram tersenyum lalu menjawab, “Kamu lupa aku sibuk dan tidak boleh ketahuan ada di sini?” Sebelum subuh, Akram dijemput Jef dan mereka bergegas ke kota berikutnya. Selama empat hari, seperti itulah kesibukan Akram. Jika bukan mengurus urusan pribadi, ia akan disibukkan dengan masalah pekerjaannya yang terkait Yayasan HAS. Putra Ardanuansyah itu sudah sesibuk pejabat pemerintahan. Pe
Senyum Ardan dan Novita semakin merekah di depan kamera. Saat ini pasangan suami istri itu sedang berada di TPS. Tepatnya di depan masing-masing kotak suara yang siap menampung kertas pencoblosan. Keduanya diapit oleh putra dan juga putrinya. Di TPS lain, keluarga Latief dan keluarga Haslan sudah lebih dulu menyelesaikan kegiatannya. Mereka turut hadir di TPS tempat keluarga kecil Ardan menyalurkan suara. Setelah menanggapi beberapa pertanyaan wartawan, Ardan memboyong keluarganya ke posko induknya. Di sana keluarga dari istrinya, iparnya beserta tim suksesnya sudah berbondong-bondong datang untuk acara santap siang bersama. Begitu juga dengan keluarga calon pasangannya dalam pilkada kali ini. Akram dan Riswan bercengkrama menanggapi beberapa pria sesama anggota partai yang mengusung pasangan Ardanuansyah dan Syarief. Ardan merasa bangga putra dan keponakannya mampu mengimbangi topik pembicaraan mereka. Bahkan beberapa di antara mereka sepertinya tertarik ketika membicarakan program
Setelah semuanya beranjak untuk beristirahat, lain halnya Akram yang masih termenung menatap layar ponselnya. Tiga kata yang menghiasai wallpaper ponselnya yang selalu mengingatkannya agar tidak goyah dengan keputusannya. Putra sulung Ardanuansyah itu sedang merenungi nasibnya dan nasib adiknya. Notifikasi pesan dari sekretarisnya mengalihkan atensi Akram. Setelah dibalas jika besok dirinya akan mengurus masalah tersebut, Akram kembali membuka percakapan group dengan sahabat-sahabatnya. Tadi dalam perjalanan pulang, Lintang membahas lebih dulu tentang Faiz. Akram tidak menyangka jika gebetan adiknya itu bergerak cepat dan memenuhi tantangan dengan lancar. Boys After Flower Dok_Preman: Assalamualaikum... Ram, beneran Adina pacaran? Atau baru gebetan? Dia datangin aku kemarin. Bi_Antara: Kokbisa? Teruskamudiapaindok? Ranu_Man: Gimana ceritanya? Pacar? Gebetan? Teman aja kalieee Jangan lupa pakai spasi Bi... Susah bacanya! Aku_Ram: Iya, benar gebetannya Adina. Namanya
Langkahnya mulai melambat mendengar suara-suara sumbang yang mulai bersahutan. Sekilas telinga Akram mendengar dan mulai mencerna situasi. Seorang wanita yang tampaknya pemilik kost sedang mencaci maki Danu dan dua orang pemuda yang biaya kostnya menunggak. Akram bisa menilai dari penampilan mereka yang menyandang tas ransel dan drafting tube. "Kalau tidak mampu bayar, tidak usah tinggal di sini lagi! Saya juga butuh uang!" cecar wanita itu berkacak pinggang. Kalimatnya yang sama sudah berulang sejak tadi. Bahkan penghuni kontrakan lama sudah hapal betul kalimat selanjutnya. "Kamu juga jangan sok baik! Kamu di sini itu jadi biang gosip!" ucapnya pada Arum yang mengulurkan tiga lembar uang seratus ribuan pada wanitanya itu sebagai tambahan sewa kamar Danu. "Pak Danu, ini masih kurang tiga ratus! Bapak itu menunggak dua bulan! Selama ini selalu saja nunggak. Kalian mahasiswa tukang tipu! Minggu depan kalian keluar saja dari sini. Saya capek dijanji kiriman dari kampung. Paling kalian p
Tiga buah koper dan dua tas besar diturunkan Akram dan Danu dari bagasi mobil. Arum memandangi rumah minimalis tanpa pagar itu. Ada sebuah sepeda motor dan sepeda yang terparkir di sudut carport dekat tong sampah. Arum dan Wina duduk di teras menunggu Akram membuka pintu rumah. "Silakan masuk!" ucap Akram meletakkan koper dan tas milik Arum di depan kamarnya. Langkahnya lalu bergegas ke kamar tamu dan meminta Wina membaringkan putrinya di tempat tidur. Danu turut menarik kedua koper dan tasnya. Setelah itu Akram ke dapur mengambil beberapa botol air mineral. Air galon dispensernya belum diganti karena seminggu lebih ia membiarkan rumahnya kosong. Untung saja pagi tadi ia sempat bersih-bersih. "Bang, besok saja beres-beresnya. Barang-barang sepupu saya di lemari tidak banyak. Biasanya kamar tamu ini dia yang pakai kalau malas ke apartemennya. Besok akan saya keluarkan. Di dalam kamar ada kamar mandinya. Kalau lapar tengah malam, cari saja makanan di kulkas," canda Akram yang membuat
"Bagaimana? Enak tidak?" tanya Akram pada Nara. Gadis kecil itu mengangguk kemudian kembali menyendok bubur ayam ditambah toping abon telur. Mereka sedang menikmati sarapan pagi di meja makan. Sedangkan Nara sudah duduk anteng makan bubur di depan televisi, menonton film kartun. Akram dan Danu membahas pekerjaan. Akram bertanya pada Arum dan Wina apa yang mereka ingin lakukan hari ini karena dia dan Danu sepertinya akan pulang larut malam. Keduanya bingung karena hari ini adalah hari Minggu. Wina tidak berangkat kerja karena semalam ia sudah meminta cuti sehari pada bosnya. Ia sengaja melakukan hal itu karena mengira dirinya tidak akan sanggup keluar kamar kostnya hari ini. Tapi situasi sudah berbeda dan jujur saja, perasaan ibu satu anak itu sudah mulai tenang. "Di rumah saja, istirahat. Mau keluar malas, macet," jawab Arum dan Wina turut mengangguk. "Adina sama Alyana mau ke sini ketemu kamu. Kalau kamu tidak keberatan, aku bolehkan mereka ke sini," ujar Akram menoleh setelah men
"Ardito!" panggil pengacara paruh baya itu sebelum masuk ke dalam mobilnya. Masih dengan senyum ramahnya, pria itu mengulurkan sebuah bungkusan kecil pada pemuda itu. Mereka bertiga berhenti sejenak. Kemudian pengacara itu mempersilahkan pasangan suami istri itu masuk lebih dulu ke dalam taksi online yang mereka pesan. Mereka paham jika pengacara itu ingin bicara berdua dengan Ardito. "Ini titipan dari klien saya. Dia bilang ini untuk kamu, karena dia ingin kamu bisa leluasa menghubungi kakak kamu kapan saja kamu mau. Di dalamnya juga ada kartu ATM dari rekening khusus pelajar yang sudah saya buka untuk kamu. Mulai sekarang kamu itu tanggung jawab klien saya, bukan lagi tanggung jawab paman dan bibi kamu. Mereka sudah memahami itu setelah bicara dengan klien saya. Secepatnya dia akan jemput kamu untuk ke Makassar, tapi dia minta kamu untuk bersabar," jelasnya sembari mengusap punggung Ardito sebelum pamit kembali ke kantor. Dalam perjalanan pulang, mereka bertiga diam saja. Paman da