Bab120"Deslim," desah Jeremy. "Masih banyak meja kosong! Bukankah masih banyak tempat untuk kamu duduki," terang Jeremy."Aku ingin mengenal jauh, anak dari rekan bisnisku." Deslim pun menarik kursi, dan duduk dengan santai."Perkenalkan, aku Deslim, pengusaha muda dari kota Monarki," kata Deslim, sembari menyurung tangan untuk bersalaman.Desca pun berusaha tersenyum, meski dia tak suka dengan kehadiran Deslim diantara mereka.Meskipun merasa kesal, Desca menyambut tangan Deslim dan memperkenalkan diri juga."Nama yang indah, dan wajah yang juga cantik." Deslim memuji."Terimakasih, Nona Deslim.""Emm, kudengar, nyonya Jovanka, menjodohkan kamu dengan lelaki di samping ini."Desca melirik Jeremy."Tentu saja, apakah ada masalah?" sahut Jeremy. "Aku sangat menyukai wanita muda di depanku ini. Cantik, imut dan juga menarik."Pujian Jeremy seakan membuat Desca mengudara."Cih! Kau berlebihan sekali," kekeh Deslim. "Apakah kamu berniat membuat aku terbakar api cemburu?"Jeremy pun ikut
Bab121Jeremy melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, sembari melacak keberadaan Rebecca. Matanya sesaat terus melirik ke ponselnya, melacak titik lokasi keberadaan Rebecca."Tengah hutan?" Jeremy mengernyit, ketika titik merah telah muncul, menunjukkan titik lokasi wanita tersebut.Hati Jeremy seketika di penuhi kekhawatiran. _______Di dalam sebuah gedung tua bertingkat dua, di tengah hutan lebat, Rebecca terikat disebuah kursi kayu.Wanita itu dalam keadaan tidak sadarkan diri, dengan wajah lebam dan kening terkena goresan luka benda tumpul.Keberadaan wanita itu di lantai 1, dengan suasana ruangan yang lembab, di temani beberapa serpihan pelafon yang sudah rusak berjatuhan di lantai semen yang tidak berkeramik itu.Ponsel Rebecca tersimpan di dalam sepatunya. Wanita itu masih tidak sadarkan diri, setelah mendapat penganiayaan keras.Malam itu.Rebecca mendapat panggilan telepon."Kau harus mau!!""Tidak, aku sudah sangat jijik padamu.""Arnold White, tidak pernah suka dengan
Bab122Tubuh Rebecca seketika bergetar hebat, wajahnya memucat dengan tatapan mata ketakutan."Becca, ada apa? Mengapa menatapku seperti itu?" tanya Jeremy melembut. Lelaki itu sadar, tidak seharusnya dia membentak Rebecca seperti tadi.Air mata meluncur seketika, tapi wanita itu tetap diam menatap Jeremy."Rebecca, aku minta maaf." "Mengapa aku tidak mati saja," lirih Rebecca, membuat Jeremy menghentikan laju mobilnya, tepat di halaman parkiran club tersebut."Bukan kamu yang akan mati, tapi aku, atau Arnold mantan kekasihmu itu," tegas Jeremy, sambil melepas sabuk pengamannya.Rebecca memeluk lengan Jeremy dengan cepat. "Kumohon jangan pergi, jangan tinggalkan aku," pinta Rebecca.Jeremy merasakan ketakutan di dalam diri asisten nya itu. Perlahan, Jeremy melepaskan pelukan tangan Rebecca kepada lengannya. Lelaki itu menangkupkan kedua telapak tangannya, ke wajah Rebecca yang penuh luka lebam."Aku tidak akan meninggalkan kamu! Mulai hari ini, aku berjanji, aku akan menjaga kamu."
Bab123"Kau ...." Arnold mengeram, sembari melotot menatap Jeremy dengan tatapan marah."Pergilah dan cari wanita sialan itu! Aku yakin, dia sedang meratapi nasibnya yang akan terkubur di gedung tua itu.""Jadi kamu tahu keberadaanya?""Tentu saja, aku tidak akan memberitahukanmu, sebelum kamu mau, mencium sepatuku ini," jelas Arnold dengan angkuh.Lelaki itu menjulurkan kakinya, ke arah Jeremy. Jeremy memasang wajah memelas, kemudian dia berdiri, dan mendekati sepatu Arnold.Arnold tersenyum mengejek, dia mengira, bahwa Jeremy akan semudah itu melakukan perintahnya."Dasar lelaki payah," ejek Arnold, ketika Jeremy, memandangi sepatu Arnold tersebut."Aku yakin, kamu pasti baru melihat sepatu semalam ini kan!" lagi- lagi Arnold mengejek Jeremy.Hingga, terdengar suara erangan."Akkkhh, kakiku," pekik Arnold. Lelaki itu berguling- guling kesakitan, diikuti gelak tawa Jeremy Alexander.Jeremy mengeluarkan cincin besi dengan mata berbentuk kepalan tinju. Dia pun mengenakannya di jari man
Bab124Rebecca membuka mata, di sambut pemandangan yang tidak biasa dia lihat.Wanita itu menyisir seluruh ruangan dengan matanya, terlihat sosok Jeremy, tengah tertidur di atas sofa yang berukuran lumanya panjang.Kamar yang sekarang dia gunakan untuk beristirahat lumayan besar dan di lengkapi beberapa peralatan mahal.Rasa haus menghinggapi. Dengan perlahan, Rebecca mencoba bangun, namun tubuhnya tidak kuasa menahan sakit. Wanita itu merintih, menangis dengan pelan."Rebecca," panggil Jeremy. Entah sejak kapan, lelaki itu sudah terbangun dan menghampiri Rebecca."Kamu sudah bangun rupanya, ayo makan dulu, aku sudah menyiapkannya dari tadi." Jeremy meraih nampan, yang terletak di atas nakas. Nampan itu berisi nasi goreng bertabur daging di atasnya, dengan jus buah hangat."Sakkkiittt," rintih Rebecca."Jangan menangis, tahanlah! Kalau tidak, lukamu akan semakin terasa sakit. Setelah makan, dokter pribadiku akan kemari untuk memeriksamu.""Apa yang Tuan lakukan tadi di club?""Kamu t
Bab125"Aku tidak suka dengan lelaki itu, Mom. Entah mengapa, bagiku dia sangat sombong," terang Desca, ketika dia dan Ibunya sedang duduk bersantai di depan tivi."Hhmm, jadi bagaimana dengan sosok Jeremy?""Lumayan, tapi dia bukan pengusaha sukses! Aku ingin berkenalan lebih jauh dulu, apakah bisa?"Nyonya Jovanka hanya menghela napas. "Kita tidak kekurangan hal apapun, mengapa kamu harus mencari yang sukses lagi?""Itu typeku, Mom.""Tapi aib kamu harus segera di tutupi. Momy memilih Jeremy, karena dia bukan kalangan orang kaya raya. Jadi, mudah untuk di kendalikan. Apalagi, dia tidak begitu banyak punya kerabat.""Dari mana Momy tahu?""Itu hal mudah! Informasi mudah di beli. Setidaknya, dia tidak begitu buruk.""Ini baru 1 bulan, Mom. Anak ini tidak akan mudah di ketahui.""Desca!! Jika klien Momy tau, saingan bisnis dan keluarga besar tau, Momy akan malu tujuh turunan."Desca menghela napas berat. "Baiklah, My, atur saja." "Memang seharusnya begitu! Makanya, seharusnya kamu bis
Bab126"Penasaran?" "Ah enggak." Rebecca berusaha menahan malu dan kembali fokus dengan dengan hidangan makan malam mereka."Enak," kata Jeremy, ketika lelaki itu, mulai memasukkan makanannya ke mulut."Cocok banget ini sudah," lanjutnya, kembali membuat Rebecca mati penasaran."Jadi apa sih," tanya wanita itu sedikit kesal."Jadi istri," ucap Jeremy sembari berpikir. "Jadi Asisten rumah tangga kayaknya," lanjut lelaki itu terkekeh.Wajah Rebecca yang semula memerah menahan malu, dengan hati berbunga- bunga, mendadak masam dan malas makan."Ada apa dengan wajah di pasang sedatar begitu?" "Nggak!" ketus Rebecca.Jeremy terkekeh. Keduanya kembali fokus menyantap makan malamnya."Aku ingin kembali bekerja, Tuan," lirih Rebecca, ketika mereka selesai makan malam."Memang sudah sehat betul? Kalau tidak bagaimana? Kamu yakin akan bekerja dengan maksimal, dan memastikan tidak akan ada kesalahan?"Pertanyaan beruntun dari Jeremy, membuat pikiran Rebecca seketika penuh, otaknya nyaris ngelag
Bab127"Tentu saja! Jangan kuatirkan apapun.""Aku duda," kata Jeremy. "Aku pernah menikah, kemudian gagal.""Tidak masalah, itu masa lalu Anda. Saya, tidak berhak untuk terlibat," ucap Desca dengan tulus."Hhmmm, bagaimana aku menjelaskannya? Jujur, aku sudah memiliki seorang kekasih. Kurasa, aku tidak bisa menikah denganmu."Seketika wajah ceria Desca lenyap begitu saja."Siapa dia?" tanya nyonya Jovanka."Hhmm, biarkan itu menjadi privasi saya. Maaf jika saya menolak.""Tuan! Aku tidak pernah di tolak siapapun! Jangan berani- berani kamu menghinaku seperti ini," bentak Desca tak senang dengan jawaban Jeremy."Tenanglah Nona muda! Ini bukan hinaan. Jujur, nona Desca adalah calon istri yang sempurna. Tapi sayangnya, aku sudah jatuh cinta kepada wanita lain, tolong maafkan aku," lirih Jeremy."Bushitt!!!" Desca berdiri dengan emosi. "Mom, aku tidak terima dengan semua ini, aku malu," isak Desca, kemudian wanita itu pergi, meninggalkan ruangan vvip tersebut.Kini, hanya ada Jeremy dan