Elle kembali bekerja.
Jika, biasanya jam tujuh baru sampai, kini jam enam ia harus bergelut di balik dapur.Setahunya, Lucas akan datang tepat jam tujuh pagi. Jadi, Elle harus menyelesaikan masakannya sebentar lagi.Meski tidak semangat, Elle berusaha tetap profesional. Ia ingin meletakkan makanan sebelum Lucas datang di ruangannya.Dan, berhasil!Elle kembali setelah meletakkan troli di ujung ruangan. Ia beristirahat sebentar sebelum menyiapkan makan siang.Seperti tadi, Elle kembali mendorong troli yang berisi makan siang ke ruangan Lucas.Elle menghela napas sebelum akhirnya mengetuk pintu itu.Tok Tok Tok!Namun, tidak ada jawaban.Elle lantas mendorong sedikit pintu itu–berharap Lucas tak di ruangan. Hanya saja, prediksinya salah.Wanita itu terkejut melihat Lucas di sana dan tengah bercumbu dengan seorang wanita berambut blonde.“Emm … Ahhh.”Suara desahan mereka yang menyatu entah mengapa menyayat hati Elle.Tak sengaja, tatapannya beradu dengan Lucas. Spontan, Elle berbalik badan. Ia menyentuh dadanya yang berdegup sangat kencang dan menggeleng–menghilangkan pikiran liarnya.Tak lama, Elle meninggalkan tempat itu.Sementara, di dalam ruangan, Lucas menyeringai puas.Ekspresi terkejut Elle sangat menghiburnya."Kau yang memulainya lebih dulu, sayang. Jadi, ikuti permainanku," batin pria itu.Hanya saja, wanita di depannya tiba-tiba berhenti, membuat Lucas menatapnya bingung. "Ada apa?""Kapan kau akan menikahiku, Lucas? Aku ingin benar-benar lepas dari rumah itu.""Bersabarlah, Sharon. Aku sudah berjanji padamu, bukan? Setelah aku menyelesaikan proyek besar ini, aku akan langsung menikahimu," janji Lucas.Sharon masih saja merajuk. "Kau selalu berkata seperti itu dari tahun lalu. Tapi, buktinya apa? Kau sama sekali tidak menepati janjimu."Namun, bukan Lucas namanya jika tidak mampu meluluhkan hati wanita. Dengan santai, ia berbicara , "Tenang saja, aku bukan orang yang seperti itu. Proyek kali ini sangat mempertaruhkan citra perusahaan, kau tidak ingin aku bangkrut hanya karena tidak fokus, bukan?""Kau bisa meminta bantuan Henry," balas wanita itu.Lucas sontak menggeleng. "Tidak bisa seperti itu. Semua sudah ada tugasnya masing-masing. Daripada seperti ini, lebih baik kau mencari referensi pernikahan mewah yang kau inginkan dan katakan padaku kemana kau ingin berbulan madu."“Bagaimana?”“Baiklah,” jawab Sharon luluh setelah mendengar saran Lucas. Ia tahu bahwa pria itu memang sedang menjalankan proyek besar, sangat besar, sampai ia menunggu ini selama bertahun-tahun.Sementara itu, Ares tengah berkutat dengan banyak album foto yang tersebar di sekelilingnya. Anak itu menggeledah satu per satu dan berharap menemukan sesuatu di sana.Ares memang penasaran sekali dengan rupa ayahnya.Namun, bertanya dengan Elle hanya akan membuang waktu. Ibunya itu selalu mengelak, hingga Ares justru semakin penasaran."Astaga, kenapa tidak ada satu pun clue di sini?" keluh Ares sambil menutup album ke-4 yang ia buka.Hari sudah malam. Ia khawatir jika ibunya pulang.Kriet!Tiba-tiba, suara derit pintu terdengar. Ia yakin itu Elle.Jadi, Ares dengan cepat menata kembali tumpukan album yang ia ambil dari lemari lalu bergegas menghampiri Elle.Hanya saja, Ares sangat terkejut begitu melihat keadaan Elle yang sangat kacau sambil meracau tidak jelas. Perlahan, Ares membantu Elle duduk di sofa."Bagaimana bisa Ibu mabuk seperti ini? Aish!"Setahu Ares, Elle bukanlah orang yang gemar alkohol."Lucas Smith, aku benar-benar membencimu!" racau Elle tiba-tiba dengan mata yang tertutup. "Tidak bisakah kau pergi saja dari hidupku? Aku muak denganmu!""Lucas Smith?" beo Ares terkejut.Nama itu terdengar asing bagi Ares. Sebagai anak satu-satunya, tentu saja ia mengetahui semua kerabat sang ibu. Elle sendiri yang selalu antusias bercerita.Dengan cepat, Ares mencatat nama itu sebelum melupakannya.Ia tersenyum. “Setidaknya, aku mendapatkan sesuatu hari ini.”***“Astaga!”Elle mengumpat begitu melihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Tanpa mempedulikan pakaiannya, ia segera berlari menuju halte setelah meninggalkan catatan kecil untuk Ares.Sesampainya di kantor, Elle langsung berlari menuju bilik toilet.Benar saja, penampilannya sangat acak-acakan. Bahkan, kancing seragamnya tidak tersusun rapi. Oh, jangan lupakan rambutnya yang seperti singa!Elle lantas segera merapikannya–mengingat salah satu SOP disini adalah berpakaian rapi dan bersih."Ms. Carl?" Suara bariton terdengar–membuat Elle hampir mengumpat karena rasa terkejut yang luar biasa.“Sial, itu Lucas,” lirih Elle, panik. Parahnya, ia dapat melihat pria itu mengenakan kemeja putih dan dua kancing teratas terbuka begitu saja. Sangat seksi!Elle menggelengkan kepala–berusaha fokus. Tak lupa, ia memalingkan wajahnya agar Lucas “tak melihatnya”."Sedang apa kau di sini?""Hm, aku-" Elle salah tingkah dan mengedarkan pandangannya ke segala arah. "Aku sedang membereskan penampilanku.""Kau telat?" tanya pria itu lagi."Ya, aku minta maaf atas kesalahanku hari ini.""Kau–""Aku benar-benar minta maaf tidak membuatkanmu sarapan hari ini,” potong Elle, “aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.""Ini toilet pria, Ms. Carl."Elle tersentak, reflek ia mendongak dan menemukan tulisan 'toilet pria'.Pipinya bersemu merah, tidak berani menatap Lucas karena sudah kepalang malu."Maaf, aku per–"Namun, Lucas justru menggeleng. "Kita bicara sebentar."Elle yang berniat melarikan diri–mau tak mau kembali menghadapi Lucas.“Ba–baik, Mr. Smith.”"Kau sudah mengetahui kesalahanmu hari ini. Jadi, aku tidak ingin berlama-lama. Kau dihukum sebagai konsekuensi keteledoranmu hari ini," ucap pria itu dingin.Elle memejamkan mata. Ia tidak begitu terkejut karena sudah menduganya sejak awal.Dengan pasrah, ia sudah siap mengangguk sembari membayangkan jika pekerjaannya akan menumpuk."Hukumannya, kau harus menemaniku makan siang dan makan malam," lanjut Lucas yang membuat Elle spontan mendongak."Apa?” protesnya lalu sadar akan posisi Lucas saat ini adalah atasannya, “Tidak. Maksudku, itu bukan dari pekerjaanku."Jelas saja! Ia tidak ingin bertemu Lucas dalam waktu yang cukup lama.Hanya saja, pria itu tetap pada pendiriannya. "Itu pekerjaanmu. Sudah tercatat dalam kontrak baru ini."Elle menganga saat menerima kontrak barunya itu. "Tapi, aku rasa ini terlalu mendadak,” tolaknya, “Bahkan, tidak ada yang memberitahuku lebih dulu.""Kami sudah mengirimkan email padamu, tapi tidak ada balasan. Maka, aku menyimpulkan bahwa kau menyetujuinya."Elle refleks membuka ponselnya. Benar, ada riwayat email masuk kemarin."Jadi, bagaimana? Apa kau keberatan?" tanya Lucas, "jika iya, aku bisa mencari pengganti–"Mendengar itu, Elle sontak memotong ucapan Lucas, "Tidak. Ah, maaf. Aku hanya sedang terkejut saja tadi.""Lalu, bagaimana?""Baiklah, aku setuju," jawab Elle menghela napas panjang.Pada akhirnya, ia tidak bisa berbuat apa-apa.Apalagi, Elle sudah berjanji menghadiahkan laptop pada Ares.“Kuharap keputusanku ini benar,” lirihnya dalam hati.Rupanya, memberi sedikit permainan untuk Elle tidak sesusah yang Lucas pikirkan. Namun, ia tidak akan menyia-nyiakan semua ini."Henry, bisakah kau ke ruanganku sebentar? Ada yang harus kau lakukan," perintah Lucas.Pria itu menyeringai. Malam ini ia harus mendapatkan wanita itu. Membayangkan itu, Lucas semakin tidak sabar. Ia bahkan tidak mengerjai wanita itu sama sekali pada makan siang.***"Lucas Smith," balas Lucas ketika penerima tamu menanyakan namanya. Kini, Lucas dan Elle sudah berada di sebuah restoran mewah di tengah kota New York."Meja untuk Anda sudah disiapkan di tepi jendela. Mari saya antar." Pria itu mempersilakan keduanya untuk mengikutinya menuju elevator.Dalam diam, Elle memandang kota New York dan gemerlap lampunya di kala malam. ‘Coba saja ada Ares disini, bocah itu akan takjub,’ batin Elle."Kau ingin pesan apa?"Mendengar pertanyaan Lucas, Elle menggeleng kaku. "Tidak, aku di sini hanya untuk menemanimu."Lucas meliriknya sekilas lalu berdecak. "Maksudku,
Elle perlahan membuka mata dan terkejut kala menemukan dirinya terbangun di tempat yang asing baginya. Terlebih, saat menoleh ke samping dan menemukan Lucas yang sedang tertidur tanpa atasan. Wanita itu tercekat. Mendadak, ia ingat betapa panasnya pergulatan mereka. Apalagi, miliknya kini terasa tidak nyaman dan sakit, sudah pasti ia melakukannya dengan Lucas. "Aku pasti sudah gila!" erang Elle frustasi. Melihat ke arah jam dan menemukan bahwa kini sudah pukul 4 pagi, Elle memilih segera mengemas barang-barangnya dan pergi sebelum Lucas terbangun. "Kau benar-benar bodoh, Emanuelle Carl!" desisnya seraya berjalan keluar untuk menyetopkan taksi yang lewat. Di sisi lain, Lucas terbangun begitu mendengar suara dering ponselnya. Ia berdecak sebelum mengangkatnya. "Halo?" "Kau di mana? Ini sudah jam 9 pagi." "Jam 9?" ulang Lucas terkejut. "Ya, kau lupa jika hari ini ada rapat mengenai peluncuran produk baru? Mereka semua sudah berkumpul." "Atur ulang jadwal saja, aku sedang di h
Esok paginya, Elle sepenuhnya menghindar dari Lucas. Tidak ia pedulikan pria itu yang kerap kali menelpon untuk komplain masakan atau ingin dibawakan sesuatu. Karena itu, hal remeh seperti laporan absensi pegawai–yang seharusnya bukan jobdesc Elle–diprotes pria itu.Jadi, Elle terpaksa menebalkan mukanya kala berhadapan dengan sekretaris yang selalu membuang muka saat dirinya menitipkan makanan. Buk! Setelah menutup pintu, Elle langsung melempar diri ke sofa empuk sambil meluruskan kakinya yang pegal.Wanita itu memijat dahi, berusaha mengurangi rasa sakit kepala yang diderita.Berusaha untuk menghindari atasan sambil tetap mempertahankan performa kerja bukan pekerjaan mudah. Untung saja, di rumah, Ares tidak banyak tanya mengenai kejadian semalam. Meski demikian, Elle tahu jika anaknya itu jelas menaruh curiga padanya. Drrrt!Dering telepon berbunyi memecah lamunan wanita berusia 28 tahun tersebut. Elle langsung berdiri tegak dan berjalan ke arah telepon internal kantor. "Se
Elle goyah. Tatapan tajam Lucas benar-benar menyiutkan nyalinya. Lagi, mau tak mau harus mengangguk."Baiklah."Namun, Elle segera menyesali keputusannya itu setibanya di ruangan miliknya.Wanita itu terus mondar-mandir di depan komputer yang menyala. Ia sedang memikirkan bagaimana meninggalkan Ares tanpa pengawasan. Terlebih lagi, jika asmanya sedang kambuh. "Apa yang harus kulakukan?"Elle yakin, Lucas tidak mungkin menghabiskan satu hari saja di Bangkok. Hal ini membuat Elle bertambah cemas.Seketika, Elle menyesal telah mengiyakan begitu saja. Ingin menolak lagi, sudah tidak ada waktu."Ah, Eric?!" Apapun masalahnya, Elle tetap bergantung pada Eric, sahabatnya. Toh, tidak ada lagi yang bisa membantunya.Jadi, Elle segera mengeluarkan ponselnya dan men-dial nomor Eric. Memberitahu maksud dan tujuannya."Berapa hari?" tanya pria itu langsung."Aku tidak tahu dengan pasti. Maka dari itu, aku sangat membutuhkan bantuanmu menjaga Ares. Aku tidak mungkin membawanya ikut.""Baiklah. A
Pukul 15.25 waktu Bangkok, mereka akhirnya tiba di hotel. Mendapatkan kunci kamar, Elle segera berjalan cepat meninggalkan Lucas yang sedang mengobrol dengan sekretarisnya di belakang sana. Sungguh, berlama-lama dengan Lucas sangat tidak baik bagi kesehatan jantungnya.Sampai di kamar, Elle menjatuhkan tubuhnya diatas kasur. Ia benar-benar lelah, kepalanya juga berdenyut sakit akibat jetlag.Namun, baru sepuluh menit ia memejamkan mata, pintu kamarnya terketuk. Elle mendengus sebelum membukakan pintu dan kembali dongkol saat melihat Lucas sudah ada didepannya."Aku akan melangsungkan meeting pada pukul tujuh malam. Aku ingin kau menyiapkan olahan daging Secreto Iberico. Aku ingin membuat kolega bisnisku kali ini terkesan dengan jamuan makan malam.""Secreto Iberico? Tapi, daging itu-""Apa kau ingin aku memotong uang gajimu? Kau selalu membantah ucapanku. Bersikaplah profesional, Ms. Carl."Elle terdiam. Ia tiidak bohong jika aura Lucas saat ini sangat menyeramkan."Ba-baiklah," gu
Ares melirik ke arah Eric yang sedang tertidur disampingnya. Film How To Train Your Dragon masih terputar di layar laptop, tapi fokus Ares bukan ke sana.Memanfaatkan kesempatan, Ares mengambil alih laptop dengan was-was. Ia ingin melanjutkan hal tadi siang yang sempat tertunda. Tangannya lihai mencari satu persatu artikel yang memuat Lucas Smith hingga menemukan sebuah nomor perusahaan yang ia cari-cari dan langsung mencatatnya. "Akhirnya dapat." Ares kembali meletakkan laptop ke tempat semula dan bertingkah seolah tidak terjadi apapun saat Eric mulai menggeliat dan terbangun dari tidurnya. "Oh, astaga. Paman ketiduran. Sudah jam berapa ini?""Jam 11 malam, Paman.""Baiklah, kita lanjut menontonnya besok saja. Ini sudah larut malam kau harus tidur."Ares mengangguk dan bersiap ke kamarnya."Oh ya, Paman. Aku ingin bertanya sesuatu." Eric menguap, "Ada apa?""Apa Ibu pernah bercerita mengenai Ayahku?"Eric terdiam, menatap Ares yang kini menunggu jawabannya."Tidak, seingat Pama
Lucas keluar dari walk in closet dengan setelan jas hitamnya lalu berjalan menuju ruang tamu. Di sana sudah ada beberapa dokumen yang diberikan asistennya. "Ambilkan aku teh yang Ibuku bawa dari China," perintah Lucas pada Henry. Sembari menunggu teh siap, Lucas mengambil tablet yang memang selalu berada di ruang tamu, gunanya agar ia tidak perlu mencari susah-susah.Di sana ia melihat perkembangan saham yang ia punya. Seperti tidak ada masalah, pria itu menutupnya kembali dan meletakkannya di tempat asal. Ia menghela nafas sebentar dan menatap dokumen di hadapannya."Aku akan mengurusnya nanti." gumam Lucas kecil."Ini teh Anda." Henry meletakkan gelas di hadapan Lucas. Henry itu perlahan pergi dari ruang tamu dan melanjutkan pekerjaan lain. Sebelum Henry pergi semakin jauh, Lucas kembali memanggilnya, ia perlu menanyai sesuatu."Kau masih ingat anak laki-laki yang aku beritahu terakhir kali?"Henry mengangguk. "Ingat. Ada apa?""Aku ingin kau mencari tahu tentangnya.""Tapi, kau
Ares menutup panggilan telepon dengan seulas senyum diwajahnya. Menghubungi pria bernama Lucas Smith membuat rasa penasarannya sedikit terjawab."Kau sudah menghubungi Ibumu? Bagaimana kabarnya?"Ares mengangguk, "Baik."Tentu saja, ia harus berbohong. Mengandalkan alasan merindukan Elle membuatnya leluasa meminjam ponsel Eric."Astaga, kenapa kau selalu senyum seperti itu? Sini, kita makan siang. Paman sudah belikan pasta dan pizza." Eric menyiapkan bingkisan yang ia bawa di atas meja makan, Ares mengikuti."Setelah ini, Paman harus kembali ke bar. Tak lama, hanya sekitar satu sampai dua jam. Kau bisa sendiri dulu dirumah?""Tak apa, Paman. Aku bisa.""Baiklah."Mereka lanjut dengan makan siang diselingi obrolan ringan."Oh ya, Paman. Aku ingin menanyakan sesuatu."Eric hanya berdeham dengan mulut penuh makanan."Sebelum ada di New York, apa Ibu pernah tinggal di suatu tempat?""Setahu Paman, Ibumu pernah tinggal di Chicago bersama nenekmu sebelum wafat.""Chicago?""Ya. Dulu, nene