Entah Melisa mengerti atau tidak dengan kode yang David berikan. Ia buru-buru mengikat rambutnya ke belakang dan mengancingkan kemejanya hingga dekat ke leher. Lalu ia memeluk tasnya. Ia sudah siap dengan pengakuan dadakan kepada Adelia dalam sambungan panggilan video. David meraih gawainya dan mengarahkannya pada Melisa.
“Oh, ini ada pekerja hotel. Nebeng aku sampai bawah. Katanya anaknya sakit, dia harus pulang tapi ojek nggak ada yang mau jemput ke atas,” terang David.
“Halo, Mbak. Maaf saya nebeng sama suaminya. Soalnya saya nggak punya pilihan lain. Anak saya sendirian di rumah,” tutur Melisa dengan wajah memelas.
“Oh, iya, Mbak. Nggak apa, suruh suami saya anterin Mbaknya sekalian. Jauh nggak rumahnya?” tanya Adelia dari seberang. Sandiwara mereka berdua cukup kuat untuk mengelabui Adelia.
“Dekat Universitas Utama, Mbak. Nggak apa saya sampai bawah aja, Mbak. Naik ojek lebih cepat. Biasanya jalan ke arah rum
Adelia menghela napasnya dalam-dalam. Belum genap tiga hari rumah ini ia tinggalkan, tapi rasanya ia pulang bagai anak perantauan. Mobil yang mengantarnya sudah berlalu, namun ia masih saja memandang rumah bercat putih itu dari luar pagar. Halaman dan carport saksi ia tumbuh besar bermain di atasnya tak banyak berubah. Perlahan ia buka pagar dengan mendorongnya.Seorang wanita bertumbuh gempal keluar dari dalam rumah. Ia terlihat ragu untuk menyapa Adelia. Matanya menyipit seolah mencoba mengenali anak bungsu majikannya itu.“Betul, Bik. Saya Adelia, Mama ada, Bik?” seru Adelia sembari tersenyum. Ia langsung saja membuka sepatunya.“Oh, Mbak Adel. Ibu ada, Mbak. Mari masuk, Ibu sudah menunggu,” Wanita itu setengah membungkukkan badannya dan mempersilahkan Adelia masuk.Aroma dalam rumah ini tak pernah Adelia temukan dimanapun. Aroma yang selalu membuat perasaannya tenang, sekaligus membuatnya selalu ingin pulang. Ruang tamu sudah k
Suara salam seorang pria yang begitu dikenal Adelia terdengar dari depan rumah. Suara itu kemudian mendekat sambil memanggil Mama. Pria berkumis itu muncul disambut dengan uluran tangan Bu Ratri yang segera mencium tangannya. Ia melongokkan kepala ke dalam kamar tempat istrinya berdiri di ambang pintu. Matanya berbinar melihat putri kecilnya tersenyum menyambutnya.“Adel? Kapan sampai, Nak? Mana suamimu?” tanya Pak Ruslan. Ia menyambut uluran tangan Adelia dan mengusap-usap kepala putrinya itu. Adelia seolah kembali berganti mode menjadi putri kecil lagi.“Aku baru saja sampai, Pa. David lagi beresin kostnya. Terus mau diangkut ke kontrakan. Papa sehat?” tanya Adelia.“Papa sehat, Nak. Kamu sehat? Kok kamu pucat?”“Biasa, Pa. Namanya juga hamil muda. Masih sering muntah-muntah. Udah Mama kasih rekomendasi obat anti mual kok biar asupannya tetap terjaga,” timpal Bu Ratri.“Astaga, Papa lupa. Ada
David menyeka keringat di dahinya dengan kaus yang ia pakai. Beberapa bahkan sudah menetes di lantai kamar kostnya. Tinggal mengikat kardus-kardus di hadapannya, maka semuanya sudah siap berangkat ke rumah kontrakan. Kamar penuh perjuangan ini akan segera kosong. Penghuni baru akan masuk dan mengisinya dengan perjuangan yang lain.Kipas angin berdiri itu tinggal satu-satunya barang yang belum disederhanakan. Ia masih terus berputar di putaran maksimal mencoba mengaliri kamar dengan angin temperatur seadanya. David melepas kausnya yang basah oleh keringat. Udara hangat yang hanya berputar-putar, di tambah aktivitas David membuat cadangan lemaknya seperti diperas habis..Sepertinya tak perlu sampai menyewa mobil pick up seperti saran Adelia. Barang-barangnya akan cukup untuk diangkut menggunakan mobil LCGCnya. Barang yang dirasa tak diperlukan lagi sudah ia hibahkan pada tetangga sebelah, seorang mahasiswa semester 3. Fase anak kost yang baru saja memulai perjua
“Ada yang harus aku obrolin sama Papa,” ujar David tetap mencoba mendial nomor Pak Ruslan meski Adelia melarang.“Nggak usah, Vid. Nanti kalian ribut. Aku tadi pergi gitu aja, pasti Papa masih emosi. Kamu malah nanti bisa memperkeruh suasana,” cegah Adelia.David menghentikan usahanya. Jika benar apa yang dikatakan istrinya, sepertinya tak ada pilihan lain selain pura-pura tak paham apa yang terjadi. Boleh lah ia anggap permasalahan ini hanyalah antara seorang ayah dan putrinya. Dia tak perlu muncul, dia hanya anak bawang. Meski sebenarnya inti dari masalah ini adalah dirinya.“Makasih, Vid, udah mau ngerti. Percaya deh, aku nggak apa.”Adelia menatap wajah suaminya dengan penuh harap. Harap untuk pengertian David tak akan pernah habis untuknya. Sekaligus berharap agar David mampu menyerap pancaran cinta yang menggebu dari dirinya. Ia menyadari bahwa pandangan miring Papanya kepada David adalah buah dari sandiwara besar
Adelia masih meringis, tangan kirinya memegangi perut dan tangan kanannya mencengkeram lengan suaminya. David yang tak mengerti berusaha untuk menyandarkan tubuh Adelia padanya. Adelia memang tengah haid, setahu David dia selalu merasakan kram perut. Tapi tidak pernah separah ini. Sekarang ia bahkan tak mampu untuk berkata-kata, merintih pun tidak. David menjadi begitu panik.Perlahan cengkraman Adelia di lengan David mengendur. Ia masih memejamkan mata namun tak lagi meringis. Napasnya juga berangsur-angsur teratur. Ia buka kedua matanya, rasa sakit sepertinya sudah mulai mereda.“Kenapa, Sayang?” tanya David sambil membelai wajah Adelia.“Perutku sakit, Vid.”“Kram haid ya?”“Bukan, rasanya beda. Ini jauh lebih sakit,” jawab Adelia.“Sekarang apa sudah berkurang sakitnya?” Adelia mengangguk. Perlahan ia bangkit dibantu dengan David yang menjadi tumpuan. “Kamu duduk aja deh,
Pukul dua lima puluh pagi, Adelia membuka matanya. Ia mengusap kedua matanya di tengah cahaya redup lampu tidur karakter anak ayam milik David. Suara kipas angin yang menderu terdengar begitu keras di tengah keheningan dini hari. Di sisinya, David masih terlelap dengan mulut terbuka. Suara napas suaminya itu begitu teratur beriring dengan deru kipas angin di bawah stop kontak ruang tengah. David pasti begitu lelah.Setelah makan pecel lele semalam, mereka tak jadi untuk mencari alas tidur karena David sudah lelah, sedang Adelia kadang masih merasakan nyeri di perutnya. Hasilnya mereka tidur beralaskan selimut dan separuh tubuh bagian atas terbaring di bean bag David. Tapi tak ada nestapa, mereka berdua justru tidur nyenyak. Adelia terbangun karena ingin buang air kecil.Adelia bangkit, ia singkirkan perlahan lengan David yang menimpa bahunya. Suaminya itu hanya bergerak sedikit lalu kembali terlelap. Sama seperti di rumah mertuanya, untuk ke kamar kecil Adelia
David menghambur dan buru-buru masuk ke dalam dapur. Cepat-cepat ia kunci pintu dan mematikan lampu. Jantungnya berdetak tak beraturan. Pantas saja tadi Adelia sampai berteriak histeris. Sebenarnya tak ada yang dilihat, tapi perasaan diawasi dan diintimidasi begitu kental di sana. Sekelebat bayangan yang lewat, bisa jadi semacam burung atau kelelawar langsung bisa meruntuhkan tembok keberanian.“Sudah? Kok kayanya tadi mangil aku?” tanya Adelia melihat suaminya sudah kembali.“He’eh. Oh, tadi ada yang mau aku tunjukin. Tapi nanti kamu takut,” kilah David. Ia tentu tak ingin mengakui ia juga baru saja diserang rasa takut yang hebat.“Nunjukin apa?” Adelia penasaran.“Itu ... tadi juga ada yang lewat di belakangku. Tapi kayanya kelelawar deh. Mungkin tadi kamu juga tuh, kelelawar atau burung yang lewat,” terang David. Ia segera merebahkan tubuhnya di samping Adelia.“Kok kamu deg-degan?&rdqu
“Sayang ... dulu kamu ada motor kan?” tanya Adelia tiba-tiba saat David baru saja sampai di rumah.“Oh iya, ada. Masih di bengkel kawannya Andra. Kenapa, Sayang?” tanya David. Ia bersiap untuk mandi, sudah melingkarkan handuk di lehernya.“Ini, aku susah kalo ada perlu apa-apa. Kalo ada motor kan aku bisa pake motornya, jadi nggak nunggu kamu pulang,” terang Adelia sambil meneguk segelas air dingin dari lemari es baru mereka.“Oh, ya sudah nanti aku telpon si Andra. Kemaren dia udah bawain list sparepart motor yang perlu dibeli. Aku simpan di belakang hape kayanya,” sahut David.“Ya sudah, mandi dulu sana!”David bergegas dan segera menghilang di balik pintu kamar mandi. Terlihat dari kaca bening jendela di samping pintu belakang yang cukup besar. Setelah mandi biasanya mereka akan menekuni aktivitas sebagai anak senja amatir di halaman belakang. Menikmati senggurat langi