Tiga minggu sudah aku di sini, sejak kembali dari rumah Om Andi. Dia tidak pernah lagi menghubungiku termasuk juga mengirimkan pesan. Aku tidak punya tempat berbagi cerita sejak ditinggal Bang Angga. Hidupku benar-benar kesepian. Berkali-kali aku memandang ponsel, berharap beliau menghubungiku. Aku tahu ini gila, tapi apa daya, rasa yang datang tanpa bisa dicegah sama sekali. Mungkin ini tabu, tapi bukankah aku dan Bang Angga tidak sempat menikah. Bahkan aku dan Om Andi pernah … ya begitulah. Artinya memang benar yang dikatakan calon mertuaku. Aku seperti pelacur, hanya saja aku mengambil pelanggan tetap dan tak mau berpindah-pindah. “Lucu juga, ya, jalan hidup kita kalau dipikir-pikir.” Aku istirahat siang di kantin bersama Kimmi. Kami makan nasi ramas dengan lauk sampai tiga macam tapi sedikit nasi. “Ya, gitu, deh, namanya hidup ini pilihan, tergantung kita mau ambil yang mana, semua ada pertanggung jawaban.” Kimmi—temanku, kadang-kadang dia bijak, kadang juga kesurupan. Beda ka
“Nora.” Suara yang sudah lama nggak aku denger. Ya, nggak lama juga, sih, menyebut namaku dengan penuh ketegasan. Aku menoleh dan melihatnya ada di luar kos-kosanku. Lekas aku menyambutnya. Iya, dia bukan orang lain. Dia adalah calon mertua yang aku sayangi dan kami sudah melampaui batas serta tidur bersama layaknya suami istri. Gila. Udahlah, nggak usah dibilang berkali-kali. “Om,” jawabku sambil tersenyum lebar. Ingin aku memeluknya, tapi di sini terlalu banyak orang. “Apa kabar kamu?” tanyanya sambil mengembuskan asap rokok. Aslinya aku tidak suka lelaki merokok, tapi apa mau dikata. Sudah telanjur terbuai. Ya sudah terima saja semuanya.“Indah baik, Om. Om sendiri gimana? Kok, bisa sampai di sini?” Aku memainkan tangan saking gugupnya. “Memangnya kenapa? Tidak boleh? Atau ada yang marah kalau Om mengunjungi kamu?”“Nggak, kok, Om. Nggak sama sekali. Cuman, kan, katanya kemarin lebih suka mendekam di kampung. Terus tiba-tiba aja ke sini. Ya, Indah kaget.”“Tapi senang, Om ke
Terlalu jauh kalau harus ke hotel, apalagi mencari rumah sewa. Apa gunanya kos-kosan itu aku bayar mahal setiap bulannya. Selain privasi terjaga, juga nggak ada yang peduli siapa yang dibawa ke dalam kamar. Asal nggak mengusik penghuni sebelah aja deh. “Ke kos-kosan, Indah, aja, Om.” Gantian aku yang memegang tangannya. “Yakin, Nora? Apa tidak terlalu berbahaya. Setahu Om kosan itu ramai, seperti kata Angga dulu.” “Kosan Indah beda, Om. Buktinya Indah sama Bang Angga sudah lima tahun di sana. Nggak pernah ada yang peduli.” “Oh, begitu.” Om Andi mengikuti ke mana aku pergi. Dia melihat ke kiri dan kanan. Memang benar kota di sini sangat ramai daripada Desa Sagu yang sepi. Tapi tak sesepi hatiku yang baru sebentar tak berjumpa dengan Om Andi. Sampai juga kami berdua di depan kamar. Perhatian Om Andi tertuju pada kamar sebelah yang masih ada sisa-sisa garis kuning kepolisian. “Itu, tetangga tewas mengenaskan, Om. Padahal malamnya baru pinjem uang makan sama Indah. Dikasih, eh, bes
Pagi harinya, aku bangun agak lambat. Sebabnya apa lagi kalau bukan gara-gara Om Andi. Ya, aku mengeluarkan semua tenaga hanya untuk meladeni hasrat gilanya. Aku nggak menyangka sama sekali kalau ternyata di umur kepala enam dia sangat gagah. Yang nota benenya kebanyakan lelaki sudah mulai stroke atau mati. Yang satu ini beneran berbeda sampai membuatku kesakitan ketika berjalan. Sialnya cerita cinta kami tadi malam menimbulkan bekas. Tepatnya di bagian leher yang warnanya sampai kemerahan. Sialanya lagi bajuku tinggal blouse berleher pendek. Oh, tidak bisa dibiarkan. Bisa-bisa aku diledekin sama Kimmi. Cepat aku ambil syal dan menutupi tanda merah di leher. Selesai, tinggal berangkat kerja walau nggak sempat sarapan. *** “Cieeeh, yang senyum-senyum sendiri dari tadi. Ada apaan, sih? Dapat gebetan baru, ya?” Kimmi memergokiku yang tengah melamunkan Om Andi. “Mau tahu aja, sih, urusin laporan, tuh, udah selesai belom.” Kemudian aku memberikan berkas kerjaku padanya. “Eits, apaan
“Indah, Om Andi merokok nggak?” Kimmi sepertinya masih penasaran banget sama sosok teman tidurku yang baru. “Dikit,” aku jawab saja apa adanya. “Kok mau? Dulu sama Bang Angga harus nggak boleh merokok sama sekali?” Alisnya naik sebelah. Kekepoan Kimmi udah sampai tahap akut luar biasa. “Ya, namanya juga cinta. Ada sensasi dikit ternyata kalau bibir lakik pernah merokok. Rasanya, gimana gitu, ya.” Aku bergidik ngeri. Bisa-bisanya aku berbicara mesum seperti ini. “Kalian itu lagi dimabuk cinta, nanti kalau cintanya udah hilang juga baru tahu kalau kalian itu salah. Dua bucin yang seharusnya jad ayah dan anak. Tapi takdir membuat kalian jadi teman satu selimut. Tanpa pernikahan, tanpa ada kepastian, tanpa ada komitmen. Awas bunting loh, Indah.”“Tenang aja, aku udah pakai pengaman, kok.” “Ya, bisa aja, kan tembus, jadi deh tu bayi. Kayak nggak tahu aja udah sering ada kebobolan.” “Aku beli pengaman yang mahal, top cer dengan tinggal kegagalan satu persen aja.” “Dan satu persennya
Aku bisa merasakan tubuhku melayang. Bukan terbang sebenarnya, melainkan ada yang mengangkatku sampai ke atas ranjang. Sudah jelas sekali pelakunya Om Andi. Aku tidak bisa melawan, tubuhku lemas. Asap tipis dari bukhor itu membuatku tak bisa bergerak sama sekali. Bahkan hanya untuk berbicara pun sulit. Tanganku mengarah pada Om Andi ketika dia mulai membuak kaus kaki tipis warna cokelat yang aku gunakan. Aku ingin bilang padanya agar tunggu sebentar. Bisa tidak ditunda dulu karena rasanya aku lemas sekali tanpa tenaga. Nyatanya, Om Andi terus melepas semua penutup tubuhku. Aku tak berdaya untuk mencegah. Jujur saja dari dalam hati aku merasa asap bukhor itu membuatku tunduk sedemikian rupa. Ketika ingin menjerit aku tak bisa mengupayakan apa pun. Jangan. Rasanya aku ingin berterik seperti itu sama Om Andi. Kali ini dia sedikit kasar dan beringas. Seperti drakula yang menghisap darah di leher korbannya. Sakit, benar-benar sakit. Tapi tanganku tak bisa mencegah karena dipegang erat
Aku udah pulang, pagi-pagi buta dari hotel tempat Om Andi menginap. Nggak menunggu waktu lama buatku untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Sebelumnya aku berhenti di tempat dulu aku sama Bang Angga sering sarapan berdua. “Sendiri aja, Neng, pacarnya mana?” tanya tukang nasi uduk yang udah lama aku nggak ke sini. “Udah meninggal, Bu.” Sekarang aku jawabnya biasa aja. Nggak terlalu terbawa perasaan seperti dulu. Ya, karena udah ada penggantinya mungkin. “Hah, kapan?” Kan, ditanyain lagi. Sebenernya aku males, tapi nggak enak kalau nggak dijawab. “Udah sekitar satu bulan lebih yang lalu.” “Karena?” “Sakit, tipes.” Aku jawab asal aja. Males merembet ke sana ke sini. Selesai sarapan aku langsung berhentikan taksi menuju ke kantor. Akhir-akhir ini pengeluaranku bengkak banget. Transportasi salah satu alasannya. Nggak ada yang antar jemput lagi. Uang dari Om Andi aku pakai bayar. Aku belum kepikiran untuk beli mobil, males, kena macet. Motor juga aku nggak pinter bawanya. Dari dulu aku
Aku pulang, tepatnya dipulangkan karena sampai istirahat makan siang keadaanku nggak juga membaik. Inginnya aku ke hotel tempat Om Andi, tapi nanti nggak bisa istirahat atau jadi mengganggu istirahatnya. Aku putuskan pulang ke kosan.Mana perut laper dan kateringan datangnya sore. Aku memutuskan masak mi instan daripada nggak ada yang bisa mengisi perut. Sayangnya, pas mi itu mateng, aku seperti melihat ada cacing-cacing bergerak banyak banget. Huueks! Aku buang mi instan di tong sampah semuanya. Sebenarnya aku ini sakit apa, ya? Apa mungkin hamil? Ah, yang bener aja, sih. Oke, aku harus tetap tenang. Walau kata Kimmy bisa aja 1% nya itu aku, tapi aku nggak boleh mikir yang aneh-aneh. Test pack, benda yang aku cari. Benda yang dulu sering aku pakai waktu masih sama Bang Angga. Nggak peduli mau uji coba pagi, siang, malam, hasilnya akurat karena harga yang mahal. Aku coba, aku tunggu sekian menit dan hasilnya sesuai dugaanku, negatif. Syukur deh, aku lagi belum mau punya anak. Teru