"Van!"
Ervan yang baru turun dari mobil dan hendak masuk ke lobi kantor menoleh ke belakang. Matanya melotot saat melihat siapa yang datang. Ia berjalan mendekati pria itu lalu memukulnya—tepat di area rahangnya. Ervan sudah tidak bisa mengontrol emosinya dan melupakan perkataan Wahyu."Bangsat lo!"Bugh!"Ampun, Van….""Nggak usah lo minta ampun sama gue! Minta ampun lo sama Allah!" teriak Ervan tepat di depan wajah Fahri. "Gara-gara ulah lo sama cewek sialan itu, perusahaan Bokap gue hampir hancur. Tega lo ya sama teman sendiri. Dimana otak lo, hah?!"Fahri yang sudut bibir dan pipinya sudah lebam pun menyatukan kedua tangan di hadapan Ervan. Matanya sembab dan ada lingkar hitam di sekitarnya. Kemungkinan besar Fahri kesulitan tidur—memikirkan nasibnya yang buruk."Gue minta maaf, Van. Gue terpaksa karena diancam sama Intan. Please, percaya sama gue," lirih Fahri."Cih!"Sherly tiba di depan rumah Gea dan Ervan pada pukul 17.30 sore. Kebetulan, hari ini ia tidak begitu banyak mendapat pekerjaan. Jadi, Sherly bisa pulang dengan cepat dan segera meluncur ke alamat yang sudah Ervan berikan. Tak lupa ia membeli buah-buahan segar di supermarket terdekat.Ketika mobil Sherly hendak memasuki pekarangan rumah yang cukup luas itu, tiba-tiba saja dua penjaga yang tak lain adalah Restu dan Abdi menghalangi mobilnya. Sherly menekan klakson beberapa kali agar mereka menyingkir.Abdi segera mendekati bagian pintu kemudi lalu mengetuk jendelanya. Sedangkan Restu masih menghalangi di depan mobil.Dengan sangat kesal, Sherly membuka jendela dan memberi tatapan sinis pada Abdi. "Kenapa lo halangi mobil gue?" tanyanya kesal."Maaf, Bu. Ini sudah menjadi tugas saya. Keamanan rumah ini menjadi tanggung jawab saya dan teman saya," ujar Abdi menjelaskan dengan sopan. "Sebelum masuk, mohon tunjukkan kartu identitas Ibu ya. Demi kenyamanan bersama.""Yaelah. Gue ini temannya
Sudah hampir satu jam, Gea menunggu suaminya di rumah sakit. Ervan masih belum sadarkan diri. Menurut pemeriksaan dokter, Ervan mengalami cedera di kepala bagian belakang akibat benda tumpul. Fredy juga mengatakan semua barang-barang Ervan tidak ada. Hanya tersisa dompet dan kartu identitas. Mobil, kartu atm, jam tangan, ponsel dan lainnya, semua tidak ditemukan di tempat kejadian.Gea sedikit syok mendengar berita tersebut. Bahkan hampir pingsan. Untungnya ada Sherly yang berusaha menenangkan dan menemani Gea sampai sekarang. Sementara Bagus, Nurma dan Lastri masih menunggu di luar ruangan."Ly, suami gue kok belum sadar ya?" tanya Gea dengan nada cemas. "Gue takut dia kenapa-napa.""Sstt! Nggak boleh ngomong gitu. Sabar aja ya. Kita tunggu sama-sama."Gea hanya bisa mengangguk pasrah. Ia menggenggam erat tangan Ervan yang tidak terpasang infus. Gea terus berdoa dalam hati agar Ervan segera sadar. Rasa cemas tak mau hilang sed
[Flashback]Ting!Ervan menghentikan langkah ketika dirinya hendak menuju parkiran mobil. Ia menyempatkan diri untuk membuka sebuah notifikasi pesan dari aplikasi hijau. Nomor tersebut tidak tertera di kontak ponselnya. Ervan lantas mengernyit dan mendadak ragu untuk membuka pesan itu. Jaman sekarang, banyak sekali penipuan berkedok ini dan itu. Ervan tidak ingin terjebak begitu saja.Tapi, rasa penasaran terus mencuat ke permukaan hatinya. Apalagi si pengirim pesan itu mengirimkan pesan secara berulang-ulang. Hal itu pula yang membuat Ervan memutuskan untuk membacanya.[Istrimu sekarang ada di tanganku. Cepat temui aku!]Ervan mengernyit sambil membaca pesan itu setelah dirinya berada di parkiran mobil. "Siapa ini?" gumamnya.[Aku bakal bikin istrimu terluka kalau kamu nggak mau temui aku sekarang.]'Jangan-jangan ini ….?!'Ervan bergegas menghubungi Gea. Tapi sayang, belum sempat Ervan menghubungi, ponselnya sudah mati karena kehabisan daya."Sial!"Ervan langsung masuk ke mobil dan
Tiga jam lebih berlalu, Ervan mulai memberi reaksi. Matanya yang tertutup tampak bergerak. Jemarinya juga demikian. Membuat Gea yang tertidur sambil memegangi tangan Ervan pun menjadi terbangun.Gea mengedipkan mata beberapa kali untuk menajamkan kembali penglihatannya. Setelah semua nyawanya sudah terkumpul dan pandangannya kembali normal, Gea terkejut melihat Ervan sudah membuka mata.Air mata menetes tanpa diminta. Gea berucap syukur berulang kali karena suaminya sudah sadar."Alhamdulillah," ucap Gea sambil menangis haru."Mas," panggilnya.Ervan menoleh pelan ke arah Gea. Ia meringis saat kepalanya berdenyut. "Sshh!""Aku dimana?" tanya Ervan dengan suara serak."Kamu lagi di rumah sakit, Mas," jawab Gea. Sementara Ervan mengernyit tanpa bicara. "Tadi, kamu ditemukan pingsan sama Dokter Fredy. Katanya kamu habis dirampok, Mas. Kasusnya masih diselidiki sama polisi.""Dirampok?"Gea mengangguk. "Iya. Mas nggak ingat?"Ervan hanya diam. Berusaha mengingat kejadian itu, namun ia kes
Brak!Meja digebrak oleh salah satu penyidik di kantor polisi. Pria bernama Derry itu kesal setengah mati karena Fahri hanya diam setiap ditanya. Derry memiliki tingkat kesabaran yang minim. Tak heran jika dirinya mudah tersulut emosi ketika sang tersangka hanya diam saja saat ditanya.Salah satu teman Derry yang bernama Raffi mencoba menenangkan. Ia memahami kemarahan Derry."Sabar, Ry," ucap Raffi."Ck! Aku nggak bisa sabar, Fi." Derry keluar dari ruang interogasi dengan napas masih memburu. Raffi mengikutinya dan meninggalkan Fahri di ruangan tersebut. Derry menatap jam tangannya. "Kita interogasi dari dari setengah jam yang lalu. Tapi, satu pertanyaan pun nggak ada yang dijawab sama dia. Siapa yang kesel coba?" lanjutnya.Raffi menghembuskan napas pelan. Sambil menepuk pelan pundak Derry, Raffi berkata, "Iya, aku tahu. Tapi, kita harus sabar. Nggak boleh marah-marah. Kalau kita marah-marah, dia makin nggak mau jawab.""Fi, aku juga nggak marah-marah dari tadi. Dilembutin malah nge
"Gimana hasilnya, Man?"Herman menggelengkan kepala. "Belum ada hasil, Pak."Ervan menghela napas berat. Sudah seminggu berlalu, namun pencarian Intan dan Irma belum menemukan hasil. Selain itu, Ervan juga mengalami kerugian yang cukup besar. Uang tabungannya sudah tidak ada, walaupun pihak bank sudah memblokir akses kartu atmnya.Pihak kepolisian pun masih terus berusaha untuk mencari Intan. Sampai detik ini, Ervan masih menduga Intan-lah pelakunya. Alasannya karena hanya Intan yang memiliki masalah dengan Ervan. Fahri tidak mungkin melakukannya karena dia sudah di penjara."Pak, jangan terlalu dipikirkan. Semuanya pasti akan terungkap," ujar Herman."Man, aku masih belum tenang kalau pelakunya belum juga tertangkap."Herman tertunduk. Merasa bersalah karena tidak bisa menyelesaikan kasus ini dengan cepat.Saat keheningan timbul di antara Ervan dan Herman, tiba-tiba ponsel Ervan berder
Ervan duduk termenung di balkon kamar. Waktu menunjukkan pukul 19.00 malam. Ada segelas kopi dan cemilan ringan di atas meja kecil, samping kanan Ervan. Ia memandangi langit malam yang tampak cerah dan penuh dengan bintang.Pikirannya saat ini masih tertuju pada seseorang yang ada dalam rekaman cctv tersebut. Dari perawakannya, jelas itu bukan Intan ataupun Irma."Kayaknya itu cowok deh," gumam Ervan pelan. "Tapi, siapa ya? Apa mungkin itu pacar barunya Intan? Atau sepupunya?"Ervan menggaruk kepala. Merasa frustrasi karena tidak bisa menemukan jawaban apapun."Mas."Panggilan dari Gea mampu membuat Ervan sedikit tersentak kaget. Ia menatap istrinya yang sudah duduk di kursi satu lagi."Ngelamunin apa, Mas?" tanya Gea sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Itu loh, soal rekaman cctv tadi." Ervan duduk bersila di atas kursi sambil menghadap ke arah Gea. Ia menopang dagu dengan tangan kanannya. "Aku penasaran sama dia."Gea tampak berpikir sejenak. "Ehm, Mas tahu nggak kira-ki
Keesokan harinya, tepat pukul 12.00 siang, Ervan tiba di kantor polisi—ditemani Herman. Sejak kemarin malam, Ervan terus memikirkan siapa yang dimaksud oleh Intan. Bahkan dirinya sampai kesulitan tidur karena memikirkan hal itu.Dan itulah alasan Ervan kenapa berada di kantor polisi siang ini. Ia harus berbicara dengan Intan untuk menanyakan langsung siapa pria itu."Silahkan tunggu dulu ya, Pak," ucap salah satu petugas polisi."Baik,Pak."Ervan duduk di ruang tunggu untuk beberapa saat. Kemudian, muncullah Intan dengan pakaian orange yang membalut tubuhnya. Intan menatap Ervan dengan raut wajah sedih."Mas Ervan," lirihnya sambil menggenggam tangan Ervan di atas meja. "Tolong, keluarin aku dari sini. Aku nggak mau di penjara, Mas."Ervan menarik tangannya dari genggaman Intan. Lalu berkata, "Kamu emang pantes di sini. Ini balasan atas kesalahan kamu.""Mas, aku nggak sepenuhnya salah. Aku cuma disuruh aja." Intan membela diri."Ya kenapa kamu mau?""Hhh! Mas, aku tuh butuh uang dan