Ervan memijat pelipisnya—menatap ke arah handycam yang memang sengaja ia bawa. Ervan ingin menunjukkan bukti itu pada Herman agar pria itu bisa membantunya—mencari tahu siapa pelaku sebenarnya.Kedua mata Ervan terpejam sejenak saat mengingat masa SMA-nya dulu.Jelita adalah wanita yang ada dalam rekaman itu. Usianya sama dengan Ervan dan mereka satu sekolah. Jelita tipe orang periang dan gemar melukis.Pertemuan pertama Ervan dengan Jelita saat mereka sama-sama berada di perpustakaan. Kala itu, Jelita tak sengaja mengambil buku yang juga dipegang oleh Ervan. Mereka saling pandang sejenak, lalu Jelita tersenyum ramah."Maaf ya," ucap Jelita saat itu."Oh, nggak pa-pa," balas Ervan. "Nih, lo aja yang baca duluan.""Beneran?""Iya."Ada binar bahagia di mata Jelita saat itu. Ervan rela memberikan buku itu, padahal ia juga sedang butuh. Tapi, prinsip Ervan saat itu memang selalu memprioritaskan wanita terlebih dulu."Makasih banyak ya," ucap Jelita."Sama-sama.""Oh iya, gue Jelita." Jel
Ervan pulang ke rumah tepat pukul 19.00 malam karena ada pekerjaan tambahan dan meeting dadakan pada pukul 17.00 tadi.Pria itu masuk ke dalam rumah sambil membuka dasinya. Rasa lelah terus menjalar di tubuhnya. Sebelum pergi ke kamar, Ervan sempat mencari Gea. Ternyata istrinya sedang mencuci piring."Gea," panggil ErvanGea menghentikan aktifitasnya lalu berbalik menatap Ervan. "Kalau Mas mau mandi, aku udah siapin air hangat. Makan malam juga udah siap.""Gea," lirih Ervan.Namun, semua itu tak dipedulikan oleh Gea. Wanita itu kembali membelakangi Ervan dan buru-buru menata piring yang sudah bersih di rak khusus. Setelah tugasnya selesai, Gea bergegas ke kamar.Tapi Ervan mencekal tangannya."Gea, kita butuh bicara sebentar.""Aku capek, Mas. Mau istirahat," ucap Gea datar sambil melepas tangan Ervan."Gea, tunggu!"Gea tak peduli dan tetap s
Ervan yang baru saja selesai menjemur pakaian di belakang, terkejut melihat Gea berada di taman. Tadi ia berpikir, Gea akan pergi untuk sarapan. Ervan segera menghampiri."Gea, kamu nggak jadi sarapan?" tanya Ervan."Nggak, Mas. Kamu aja yang makan. Aku nggak laper," jawab Gea tanpa menoleh.Ervan menghela napas kasar. "Mau sampai kapan kamu kayak gini sih?""Sampai kita berpisah."Lagi, Ervan dibungkam dengan jawaban Gea. Ia tak tahu lagi harus berkata apa selain diam dan pergi meninggalkan Gea sendirian di taman belakang. Ervan harus bersiap ke kantor untuk mengurus proyek baru yang akan dikerjakan minggu depan.Ervan bersiap-siap di kamar lalu turun kembali ke bawah untuk makan roti. Ia masih belum selera makan nasi.Sebelum berangkat, Ervan menyempatkan diri untuk menemui Gea kembali di taman belakang. Tapi sayang, wanita itu sudah tidak ada di sana."Mungkin di kamar kali ya," gumam Ervan.Saat hendak melangkah ke kamar Gea, ponsel Ervan tiba-tiba berdering di saku celananya. Den
"Wahyu!" teriak Ervan saat masuk ke dalam rumah pria yang sedang dicari olehnya.Tapi sayang, rumah itu kosong. Tidak ada siapapun di sana. Yang tersisa hanya beberapa perabotan saja, termasuk foto Ervan yang tertempel di cermin dan diberi tanda silang menggunakan spidol berwarna merah.Dan di cermin itu juga terdapat sebuah tulisan. [Ervan, lo nggak akan selamat dari gue. Baik lo, keluarga lo, ataupun istri lo. Semuanya bakal gue sakitin.]"Bangsat!" Ervan mengumpat kesal."Sabar, Pak Ervan," ucap Raffi. Kebetulan ia diminta Ervan untuk menemaninya menemui Wahyu. "Dia pasti bisa kita temukan."Ervan menghela napas kasar. "Gimana caranya, Pak Raffi? Dia udah pergi dari sini. Kita harus cari kemana lagi? Saya nggak bisa tenang kalau dia belum ditangkap. Nyawa keluarga saya dalam bahaya.""Iya, Pak. Saya tahu. Tapi, mencari solusi saat pikiran sedang kalut itu tidak bagus, Pak. Sebaiknya Bapak tenang, kita geledah rumah ini untuk mencari barang bukti lain."Ervan hanya mengangguk pasrah
"Pak, saya udah dapat info tentang keluarga Jelita."Ervan menatap Herman yang duduk di depannya. Minggu lalu, Ervan memang meminta Herman untuk mencari tahu latar belakang keluarga Jelita."Jelita itu anak yatim, Pak. Ayahnya udah meninggal dari Jelita masih kecil. Sementara Ibunya sekarang tinggal di Solo, Pak," lanjut Herman."Terus, dimana makam Jelita?"Herman menjawab, "Makam Jelita ada di Solo, Pak. Tepat di samping makam Ayahnya. Saya udah cek langsung kesana. Dan kebetulan, saya bertemu dengan Wahyu. Dia udah diamankan.""Hah? Wahyu udah ditangkap?" tanya Ervan dengan wajah terkejut."Iya, Pak. Maaf, saya baru kasih tahu Bapak. Saya dan anggota sengaja bawa dia pulang ke Jakarta supaya nggak kabur lagi, Pak."Ervan tampak menghela napas lega. Setidaknya, teror yang mengganggu belakangan ini sudah tidak ada lagi. Walaupun sejujurnya ia sedih karena sahabatnya harus ditahan.
Sherly tiba di kediaman Gea dan Ervan pukul 18.00 sore. Ia sempat menyapa Restu dan Abdi sebelum masuk ke dalam rumah tersebut. Sherly mengetuk pintu beberapa kali, sampai akhirnya Gea membukakan pintu.Gea langsung memeluk Sherly dengan erat. Mereka sudah jarang sekali bertemu. Gea sangat rindu masa-masa dimana dirinya dan Sherly saling melempar candaan saat bekerja."Gue kangen sama lo, Ly," ucap Gea setelah duduk di sofa."Gue juga," jawab Sherly sedikit ketus. Masih kesal karena Gea tidak jujur padanya.Gea menatap ke arah bungkusan yang diletakkan oleh Sherly di atas meja. "Itu apaan, Ly?""Makanan. Ada bakso, ada buah, ada minuman juga," jawab Sherly."Wah, lo baik banget mau bawain oleh-oleh sebanyak ini."Sherly mendengus. "Itu dari suami lo. Bukan dari gue. Dia tadi ngasih duit ke gue, nyuruh gue beliin makanan kesukaan lo. Buruan dimakan tuh baksonya.""Dari Mas Ervan?""Ya iyalah, Gea. Dari Mas Ervan lo tercinta," ujar Sherly.Gea mengernyit heran. Tidak biasanya Sherly sew
Keesokan paginya, Ervan sudah bangun dan kini sedang duduk di sofa ruang tamu. Keadaannya sudah jauh lebih baik dari semalam. Ia tahu, Gea yang merawatnya. Sedangkan Bagus dan Nurma hanya datang sebentar—untuk memastikan kondisi Ervan. Bagus juga melarang Ervan untuk masuk ke kantor hari ini. Padahal ada banyak tugas yang harus diselesaikan."Dimakan dulu buburnya, Mas."Suara lembut Gea langsung membuyarkan lamunan Ervan. Wanita itu meletakkan semangkuk bubur ayam dan segelas air mineral.Ervan menatap bubur tersebut. Sejujurnya, ia masih belum selera makan. Tapi, sorot mata Gea mengisyaratkan dirinya agar tetap makan karena harus minum obat setelah ini."Iya, aku makan," ucap Ervan pasrah. "Tapi, mau disuapin sama kamu.""Mas, jangan manja deh."Ervan cemberut—manja. "Masa suami minta suapin, responnya kayak gitu sih."Dalam hati, Gea tertawa—gemas dengan tingkah manja Ervan. Apalagi bibirnya masih mengerucut seperti bebek."Hhh! Iya, maaf."Gea langsung mengambil mangkuk berisi bub
Sore ini, Ervan menemani Gea menyiram tanaman di halaman depan. Kondisi tubuhnya juga sudah lebih baik. Ervan sengaja menemani agar mengetahui siapa yang mencibir istrinya waktu itu. Ervan tampak berdiri di tengah-tengah taman—supaya lebih dekat dengan pagar.Ervan tersenyum memandangi wajah Gea yang semakin membulat karena kehamilannya."Nggak usah dilihatin kayak gitu, Mas," tegur Gea."Ya kan nggak pa-pa. Namanya istri sendiri.""Aku risih," celetuk Gea.Ervan tertawa ringan lalu mengambil alih selang air dari tangan Gea. "Sini, biar aku aja yang siram tanamannya. Kamu lihatin ketampanan aku aja.""Hadeh. Nggak usah kepedean, Mas.""Loh, aku kan bicara fakta," ujar Ervan sambil menyirami tanaman setelah berhasil merebut selang air dari tangan istrinya. "Suami kamu ini memang tampan, kan? Akui aja lah."Gea hanya mencebik kesal sambil mengalihkan pandangan ke arah tanaman lain. Sedangkan Ervan terkekeh geli melihat respon istrinya.Tak lama kemudian, muncullah gerombolan ibu-ibu yan