“Mas, ini ... “ Tias menoleh kemudian terjadi hal yang membuat keduanya merasa canggung. Entah bahagia atau bahkan harus sedih. Keduanya menunduk, kemudian tergagap karena bel di belakang sudah berbunyi tidak sabar menanti mereka yang tidak juga bergerak.
Entah Tuhan atau Setan yang memepertemukan bibir mereka. Tias ngedumel karena serentetan klakson mengusir mereka dari tempat itu. Jika boleh diulangi, Tias merasa sangat mendamba sentuhan itu yang sudah entah terakhir kapan didapatkan dari suami tercintanya.
Wanita itu menyetir dalam diam. Mereka membeku tanpa ada yang ingin memulai pembicaraan. Hanya deru mesin saja yang menemani mereka. Semua terasa beku, canggung dan dingin. Ciuman tidak sengaja itu membuat batas tembok raksasa antara mereka. Deru mobil berjalan lebih cepat dari batas waktu yang seharusnya. Tias seorang supir yang handal. Jangankan di jalan mulus, di jalan berlumpur dan bergelombang saja dia ahlinya.
&
Ilham berjalan menuju ke arah lift untuk menuju ke kubikel apartemennya. Saat sebuah suara teguran menyapanya, membuat dia tergagap. Lorong itu menjadi jejak-jejak dirinya memenuhi pikirannya dengan sang wanita. Wanita yang dari enam belas tahun lalu menjadi penghuni di dasar hatinya. lelaki berambut undercut itu membuka apartemennya dengan kartu kunci. Setelah menempelkan kartu itu, lelaki itu membuka pintu kamar, kemudian merebahkan diri. Rasa nyeri mulai terasa, karena anastesi mungkin sudah hilang pengaruhnya dari tubuhnya.Lelaki itu melihat ke arah lukanya. Tertembus darah dari dalam perbannya. Dia meringis merasakan perih yang mendera. Dengan sedikit usaha, membuka perbannya untuk melihat lukanya, mengapa bisa mengeluarkan darah lagi. Di ambil gawai dari saku celananya. Setelah ketemu, di dial nomer telepon sahabatnya, untuk melihat dan mengobati lukanya.“Hallo, Vid. Tolongin gue.” Suara Ilham sedikit berat karena menahyan nyeri.“Lo di
Ilham membuka kulkas yang berada di pojokan, kemudian melemparkan minuman kaleng yang selalu tersedia di lemari pendingin itu. Dia mengambil juga beberapa cemilan untuk di makan mereka berdua sambil ngobrol. etelah melempar kaleng itu dan di tangkap oleh David, Ilham duduk di kursi ruangan itu, diikuti oleh dokter muda itu di depannya. Bunyi karbonasi dari soda terdengangar tanda kaleng mulai di buka.“Lo jangan kaget. Gue bertemu dengan Tias,” ucap Ilham.David berhenti meminum minumannya, merasa kaget. Lelaki berperawakan tinggi tegap itu sedikit tidak suka dengan perkataan sahabatnya itu. Pasalnya, karena wanita itu sahabatnya itu tidak mau mengenal wanita lain selain dirinya. Bahkan terkesan antipati pada wanita. Oleh sebab itu, David tidak suka jika sahabatnya itu ketemu lagi dengan wanita itu. Entahlah, bukan bahagia, tapi malah merasa tidak suka. Alasannya, karena belum tentu wanita itu mencintai Ilham seganteng apapun rupanya. Karena kad
“Dari mana kamu?” Tias yang tadi mengendap bangkit dan menegakkan tubuhnya.“Aku sudah bilang kerja. Kenapa, Mas? Tumben kamu peduli. Itu terasa aneh.” Tias mulai tidak respek lagi dengan suaminya itu.“Kerja? Kerja apa? Tidur dengan laki-laki? Sampai nggak pulang sehari semalam.”Dada Tias naik turun mendengar hal itu. Rasanya ingin meledak saja. Bagaimana bisa, lelaki yang sudah di nikahinya sepuluh tahun itu bicara seenak jidadnya seperti itu.“Bisa nggak nggak ngaco ngomongnya. Aku kerja dan kamu tahu, aku hampir mati karena di begal. Kamu seenak jidadnya bilang aku tidur dengan lelaki!” teriak Tias.“Alah, bilang aja lo kesepian. Ini yang buat gue malas pulang. Lo selalu membosankan dan suka menentang gue,” sarkas Galih.Suara nafas Tias kembang kempis menahan amarah dia lemparkan tasnya ke sembarang arah, kemudian menuju kamar mandi. Dihidupkannya shower untuk menimpa tubuhnya
“Siapa yang mulai?” bela diri Galih, padahal jelas dirinya yang mulai mengeluarkan kesarkasan pada tias.“Siapapun yang mulai, tidak penting. Aku capek, dan mau ganti baju kalau tidak masuk angin.” Tias berjalan meninggalkan Galih. Tapi Galih tidak terima dan mengikuti Tias dari belakang. Setelah sampai mengejar wanita berhanduk itu, menghadang wanita itu untuk masuk ke kamar sebelah.“Tunggu! Makin hari, kamu makin kurang ajar. Aku belum selesai bicara!” Galih menghadang langkah Tias dengan merentangkan tangannya.“Mas, aku punya batas kesabaran. Kalau mau bicara, ayok. Tapi aku mau ganti baju dulu, dingin masuk angin.” Tias menyingkirkan tubuh suaminya, kemudian menutup pintunya rapat-rapat. Demi Tuhan! Kemarahannya sudah sampai di tenggorokan. Tapi, dia wanita dewasa. Tidak baik jika harus berantem terus. Lelah rasanya. Tias segera menyelesaikan mengganti baju. Setelah selesai, dia memoles sedikit wajah dengan m
Mata Tias mulai memanas. Tapi, dia harus kuat. Jangan meneteskan air mata di depan orang tak tahu diri itu. Lelaki yang selama ini di pujanya, hanya menjadi seseorang yang menghancurkan mentalnya pelan-pelan. Lelaki itu selalu melakukan hal itu, sampai Tias merasa muak jika ada dia di rumah.“Tidak ada lagi yang kita bicarakan. Kamu hanya menghina dan mencaciku saja. Aku permisi!” Tias mengepalkan tangannya, kemudian akan beranjak. Dia sudah berdiri.Bersamaan dengan itu, Galih yang memang tujuan pulang ingin menyalurkan hasratnya, menjadi kalap pada penolakan Tias. Dia menghampiri Tias dan mencekal lengannya. Tias menajamkan matanya. Sorotnya terlihat tidak terima pada perlakuan lelaki bertubuh tinggi itu, dan berkulit putih.“Lepaskan aku, Mas. Jangan paksa aku untuk membela diri!” Tias masih diam dan berupaya agar lelaki itu melepaskan cekalannya dengan suka rela. Tapi, ternyata dia salah. Lelaki itu semakin mengeratkan pegangan tangan
“Tunggu! Makin hari, kamu makin kurang ajar. Aku belum selesai bicara!” Galih menghadang langkah Tias dengan merentangkan tangannya.“Mas, aku punya batas kesabaran. Kalau mau bicara, ayok. Tapi aku mau ganti baju dulu, dingin masuk angin.” Tias menyingkirkan tubuh suaminya, kemudian menutup pintunya rapat-rapat. Demi Tuhan! Kemarahannya sudah sampai di tenggorokan. Tapi, dia wanita dewasa. Tidak baik jika harus berantem terus. Lelah rasanya. Tias segera menyelesaikan mengganti baju. Setelah selesai, dia memoles sedikit wajah dengan make-up yang ada di kamar itu. Kebetulan hanya ada krim malam saja, dan sedikit bedak tabur. Tidak ada lipstik yang bisa dia gunakan untuk memerahi bibirnya.Tias memegang knop pintu, kemudian membuka daun pintu itu. Keluarlah wanita dengan rambut masih setengah basah itu, karena mengenakan hair drayer hanya sebentar Galih sudah menggedor pintu.“Lama amat, sih?&
“Lepaskan aku, Mas. Jangan paksa aku untuk membela diri!” Tias masih diam dan berupaya agar lelaki itu melepaskan cekalannya dengan suka rela. Tapi, ternyata dia salah. Lelaki itu semakin mengeratkan pegangan tangannya.“Apa maksudmu membela diri?” tanya Galih.“Lepaskan sekarang!” Galih makin menarik lengan Tias untuk berada di pelukannya. Dengan rakus dia meraih mulut Tias dan membabatnya habis. Meskipun jago bela diri, kemarahannya kali ini mengalahkan segalanya. Otaknya tidak reflek merespon pada gerakan Galih. Dia seperti orang linglung membiarkan Galih menikmati bibirnya. Setelah satu menit berlalu, Galih melepaskannya.Lelaki berambut agak gondrong itu bermaksud membawa tubuh istrinya untuk menuju ranjang. Tapi, Tias mulai bergerak. Dia sadar yang di lakukan Galih hanya pelampiasan saja, bukan ingin memberikan cinta pada istrinya. Tias memberontak dengan melepaskan diri dari gendongan Galih. Dia akan meloncat dari gendongannya.Lelaki itu lebih era
Semua hancur, dan dia sangat marah. Setelah pulang, bukan senyum manis yang dia dapat. Tapi muka kusut dan juga pembangkangan pada perkataannya yang dia dapatkan. Makin jauh dan jauh dari harapannya untuk berbagi kasih dengan sang istri. Dia memang tidak pandai merayu wanita. Dia juga tidak bisa bicara lemah lembut untuk menundukan hati Tias. Hingga hanya sebuah sarkasme yang terdengar, jika dia kecewa pada apapun.Galih mengambil kotak berwarna biru yang di simpannya di saku celan. Membuka kotak itu membuat hatinya lirih perih. Dilihatnya kembali cincin itu, yang dibeli khusus untuk istrinya. Sampai hari ini, masih ada rasa cinta di sudut hatinya. Hanya saja, entah mengapa dia merasa sangat kecewa dengan wanitanya itu.Diletakkan kotak itu di atas meja, kemudian berlalu dengan mobil kesayangannya. Pergi ke tempat hiburan mungkin lebih baik. Dia menyetir dengan kecepatan tinggi. Tidak perduli lampu merah, terus saja menuju ke sebuah club m