Mereka mengintai di area parkiran. Namun, setelah berkeliling beberapa kali, naas tidak menemukan mobil yang di maksud. Mereka berkeliling beberapa kali, sampai dicurigai satpam akan mencuri mobil.
“Saya perhatikan kalian berkeliling. Mau ngapain?” tanya Satpam.
“Tidak ada. Saya hanya mencari seseorang,” jawab Basuki.
“Pak satpam, ada lelaki menggunakan mobil sport mahal baru saja parkir di sini, lihat nggak?” tanya Baron.
“Ah, saya lihat banyak mobil. Tapi tidak ada mobil sport yang kalain maksud,” jawab satpam.
Mereka saling pandang. Berarti, target memang tidak masuk kemari. Mereka kembali lagi memasuki mobil mereka. Setelah itu, tancap gas pergi dari rumah sakit itu. Aditia yang mengintip dari balik tembok tersenyum meremehkan lelaki itu melenggang ke arah lobi untuk menunggu Ilham tururn. Dia sudah menghubungi bosnya itu. Beber
“Oke, terima kasih. Kamu boleh kembali. Kamu juga hati-hati. Aku mengandalkanmu,” ucap Ilham. Mereka berpisah dengan punggung yang bertolak belakang. Ilham kembali ke atas, sedangkan Aditia keluar untuk kembali ke Jakarta mengurus beberapa keperluan perusahaan milik Ilham. Lelaki dengan rambut lurus itu langsung menuju ke ruangan Tias, untuk menemani sang kekasihnya itu. Dia langsung menaiki lift, saat pintu lift terbuka. Lift berjalan dengan cepat, menuju ke lantai lima. Dia berjalan sangat cepat agar sampai di ruangan Tias.“Jangan ... kumohon ... lepaskan dia ....” Tias berteriak sambil matanya masih terpejam. Ilham berlari untuk menyambangi kekasihnya itu.“Tias, Sayang. Bangun. Yas.” Ilham mengguncang tubuh Tias sangat kencang sehingga wanita itu terbangun dan kaget. Lelaki itu memeluk kekasihnya itu. Tias meringis merasakan perih di area punggungnya. Bekas operasi itu masih menganga, bahkan ter
“Aku nggak gila, Mas,” cibik Tias. Wanita itu sedikit kesal pada diri Ilham.“Siapa yang bilang kamu gila? Konsultasi dengan dokter kejiwaan tidak harus kita gila, Sayang. Kamu sering mimpi buruk. Berarti kamu butuh penanganan. Karena aku tidak ingin kamu gila, makanya aku mengundangnya.” Ilham membujuk wanita itu. Akan tetapi, Tias masih merasa kesal. Dia mmebalik wajahnya hingga menghadap ke tembok.“Sayang, menghadap kemari, Dong. Marah, ya?” bujuk Ilham.“Tinggalkan aku, Mas. Aku pingin sendiri,” pinta Tias.“Baiklah. Aku akan meninggalkanmu sepuluh menit saja. Selesaikan ngambekmu,” Ilham mencium belakang kepala Tias. Sejujurnya, dia mulai lelah posisi tengkurap seperti itu. Akan tetapi, sakit pada punggungnya yang mengharuskan dia berbaring dengan tengkurap.“Ah, sakit banget lagi. Kenapa kamu harus men
“Masuk!” Ilham menyuruh sang pengetuk untuk masuk. Terlihat seorang wanita muda yang cantik jelita mengenakan hijap berwarna hijau pucuk daun. Bajunya agak longgar dengan celana kulot panjang. Wanita itu mengenakan sepatu fantofel berhak sepuluh senti kira-kira. “Apa kabar bapak dan ibu,” sapa wanita itu. Wanita cantik berkerudung itu berjalan mendekat ke arah ranjang. “Apa kabar ibu Tias? Lama tidak ketemu, ya?” sapa dokter Dian Carolina. “Dokter? Jadi anda?” tukas Tias. “Ah, kita ‘kan sudah lama kenal? Jangan formal, ya? Panggil nama saja. Saya dengar kamu ketembak? Kok bisa? Boleh cerita?” Dokter Dian Carolina mulai mendekati Tias. Dia akan mendiaknosa lebih dalam penyebabnya. Kalau dulu, dia memang menangani Tias. Waktu itu dokter mengira bahwa Tias terkena trauma karena kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Namun, ternyata lain. Bukan hanya itu. “Kapan, ya terakh
“Aku tidak tahu, Dok. Aku benar-benar bingung. Mimpi itu selalu datang dan sama,” ungkap Tias.“Sama? Maksudnya?” tanya dokter cantik tersebut.“Maksudnya, mimpi itu sama. Ada wanita di aniaya seorang laki-laki, kemudian ... au ....” Tias tidak bisa lagi melanjutkan kalimatnya. Dia memgang kepalanya karena bayangan dari kejadian itu sungguh nyata. Carolina mengernyitkan dahinya. Sepertinya, ada hal yang pernah terjadi sebelumnya, hingga wanita itu mengalami trauma yang sangat dalam.“Tias, tidak perlu terlalu keras. Hus ... jangan dipaksakan kalau kau sakit mengingatnya,” tukas Carolina. Dia memeluk Tias, dengan tangan lembutnya dia mengelus kepala Tias. Carolina mengalami polidaktilae jemarinya berjumlah enam. Meski begitu, keadaannya itu tidak membuat aktifitasnya terganggu.Tias lama-lama tertidur di pelukan Carolina.Wanita itu terlelap dengan damai.
“Baik, Dok. Saya akan berusaha semampu saya. Saya terima kasih sudah di bantu. Kapan jadwal dia konsultasi lagi?” tanya Ilham sambil jalan dan mengantar dokter cantik itu keluar dari ruangan itu. Dia mengantar dokter cantik itu ke parkiran, karena Tias tertidur. Setidaknya, ada informasi tambahan saat mereka bisa mengobrol sambil jalan. Banyak yang masih akan ditanyakan Ilham kepada dokter wanita cantik itu mengenai keadaan Tias.“Siapa itu? Aku pernah kenal seperti ....” Ilham berlari ke atas setelah menyadari bahwa lelaki itu adalah orang yang dikenalnya. Dia mengingat, bahwa lelaki itu adalah seseorang yang pernah membegalnya. Diantara semua kejadian yang dia alami, berarti ada hubungannya. Penembakan di depan kedinasan saat pertama dia bertugas, penjagalan, penembakan Tias ketiga masalah itu adalah satu dalang. Jika benar, siapa sebenarnya Galih?Ilham tidak sabar menunggu lift terbuka. Dia langsung berlari ke rua
Ilham dan orang tinggi tegap itu bertarung sengit. Bahkan beberapa kali dia terkena tendangan di perutnya. Namun, Ilham sudah terlatih sehingga sekeras apapun terkena tendangan, masih bisa bertahan.Bantuan datang. Anak buah Ilham datang tapi sudah terlambat. Baron sudah membawa Tias, dalam keadaan pingsan, karena rupanya mereka membiusnya. Ilham berteriak untuk mengejar mobil jep warna hijau. Salah satu orang turun dari mobil untuk membantu Ilham bertarung. Sedangkan yang lain mengikuti instruksi untuk mengejar mobil jep warna hijau. Setelah bantuan datang, lelaki yang bertarung dengan Ilham tadi dapat dilumpuhkan. Dia terkapar. Ilham memegang kepala belakangnya untuk menanyainya, kemana Tias akan dibawa, untuk jaga-jaga jika pengejaran tadi tidak menuai hasil.“Kamu sudah terkapar, bahkan teman-temanmu sudah kabur meninggalkanmu sendiri. Baiknya katakan, atau peluru ini akan menembus pelipismu! Kemana Tiasku akan kau bawa, cepa
“Bos, apa tali ini tidak bisa disingkirkan dari tubuhku?” tanya Jabrik.“Diam! Atau kuhabisi kau!” bentak Ilham.“Ya, nasib jadi bawahan. Ngak di sini, nggak di sana selalu dibentak-bentak.”Ilham tidak menggubris perkataan Jabrik dia terus saja menghubungi orang-orangnya yang sedang melakukan pengejaran. Dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu pada wanitanya itu. Mereka tidak menjawab telepon Ilham. Lelaki berparas tampan itu menjadi gusar. Rasanya, dia ingin memakan orang saat ini. Kepalanya ingin meledak.Lelaki itu duduk di depan sambil sesekali menjambak rambutnya untuk meredakan kegusarannya. Sedangkan Aditia duduk di depan para keparat itu, untuk menjaganya. Tidak lama, pihak kepolisian datang untuk menjemput tawanan.“Lapor! Saya Putra, anggota kepolisian di bawah kapolresta AKBP Mario Alviano. Beliau mengutu
“Bos, terima kasih,” teriak Jabrik sambil terus tersenyum. Polisi membawa mereka menuju ke dalam mobil untuk di bawa ke penjara. Meskipun akan menjalani hari-hari penuh dengan kedinginan dan membosankan, Jabrik tidak masalah selama adik-adiknya ada yang memberi makan. Lelaki itu tersenyum puas, kemudian bersandar di dandaran mobil. Ilham melambaikan tangan ketika mobil itu mulai berjalan.Ilham memasuki rumah lagi, disusul Aditia dibelakangnya. Setelah sampai di ruang tamu, mereka duduk di sofa warna biru laut. Ilham menghempaskan nafasnya sangat berat. Satu masalah seleai. Tapi, sampai sekarang belumada kabar dari anak buahnya ataupun Mario. Dia sedikit gusar.“Dit, kamu cari keluarga Jabrik. Beri santunan. Kalau perlu, beri mereka jalan agar bisa mandiri tanpa kakaknya. Dia akan agak lama di penjara,” titah Ilham. Lelaki itu mengangguk kemudian keluar dan melajukan mobilnya. Jalanan malam yang sedikit lengang menjadikan dia dapat menyetir