Share

Berubah

Sebelum hari yang penuh airmata ini tiba, aku adalah orang yang penuh bahagia. Setiap sudut cerita hidupku adalah perjuangan, tapi bersama bahagia. Tidak seperti hari ini ketika semuanya telah berbeda.

***

Airmata ku tak henti-hentinya mengalir setelah berhasil ku tahan beberapa menit yang lalu. Masih terbayang dan terus terulang pemandangan tak biasa yang ada didepanku sore ini. Apalagi yang lebih melukai hati ketika melihat sahabat sendiri bersama orang yang kucintai selama ini.

Aku menghempaskan diri seenaknya ke kasur dan mulai menangis lagi. Rasanya aku tak percaya jika sahabatku sendiri dengan sadar mengkhianatiku. Tapi adakah yang abadi di dunia yang fana ini? Tak terasa bantalku basah oleh airmataku, dan aku masih saja menangis. Ku pandangi langit langit hijau muda kamarku dengan pandangan kosong. Aku baru saja kehilangan sahabat dan seseorang yang kucintai dalam sekejap saja.

Tok..tok..tok..

“Din, ayo makan…” Suara ibu baru saja membuayarkan semua lamunan dan spontan menghentikan tangisku sekejap mata. Aku berusaha tidak mengeluarkan suara apapun agar ibu mengira aku tidur dan akan meneruskan makannya tanpaku. Sejenak aku merasa bersalah pada ibu, bagaimanapun ini telah menjadi trik semua anak masa sekarang ketika merasa ingin tak diganggu. Dan benar saja, setelah beberapa panggilan ibu akhirya menyerah dan melanjutkan makannya. 

Tanpaku. 

Sepahit apapun ceritanya nanti, jangan kehilangan rasa terima kasih pada kebersamaan dan cinta hari ini. 

“Nanti biar ibu yang telepon.” Balas ibu tak mau kalah yang kemudian meneruskan menyapu sambil bernyanyi kecil..

Ibu memang cukup bahagia dengan kerja kerasku menyelesaikan kuliahku tepat empat tahun ini. Sejak ayah meninggalkan kami pada usia ku yang masih sangat muda, ibu telah bekerja keras dan menabung agar aku dan kakak semata wayangku bisa menyelesaikan pendidikan dengan baik. Tak berlebihan rasanya jika dia ingin kakak ku juga hadir pada acara wisuda.

Setelah menyelesaikan serangkaian tugas rumah dan mandi, aku duduk di teras dan menemani ibu menyelesaikan jahitannya. Ibu memang terampil menjahit dan telah terkenal di seluruh kompleks.

            “Laila juga udah beres skripsinya?” Tanya ibu tiba-tiba.

            “Udah bu, wisudanya barengan kog.” Jawabku tenang.

            “Kalian gak mau kembaran aja kebayanya biar ibu yang jahit.” Lanjut ibu.

            “Tadinya sih gitu bu, tapi kayaknya tante Sri udah siapin kebayanya Laila bu.” Aku berusaha meyakinkan ibu

            Ibu memang menyanyangi Laila seperti anaknya sendiri. Tentu saja karena Laila, mantan sahabatku kemarin, sudah sering menginap dirumahku.

Tak ingin memperpanjang pembahasan menyakitkan ini, aku kembali ke kamar. Ku buka kembali lembaran skripsiku yang sudah siap untuk ku kumpulkan besok hari. 

Ucapan Terima Kasih : Untuk Sahabatku, Laila yang telah merelakan siang dan malamnya turut berjuang menyelesaikan tugas ini. Tulis ku dengan begitu tulus, beberapa minggu lalu.

Saat terus membaca, tak terasa air mataku mengalir lagi membasahi pipi.

Aku memandang sekelliling kamarku, kamarku biasanya tak serapih ini di hari minggu, jika Laila ada di sini.

Saat terus membaca, tak terasa air mataku mengalir lagi membasahi pipi.

Aku memandang sekelliling kamarku, kamarku biasanya tak serapih ini di hari minggu, jika Laila ada di sini. Perlahan air mata menetes dari mataku, mengingat semua kenangan, kenangan bersama Rizky, dan juga Laila.

“Laila, aku kehilanganmu.” Batinku berbisik.

Aku takut akan segala macam kehilangan. Aku tak ingin kehilangan apapun. Aku tak kuat kehilangan Rizky ataupun Laila. Tapi, adakah hal yang abadi didunia ini?

Tawa berganti tangis 

Cinta berganti khianat.

Riuh telah berganti sepi

dan

Aku terganti Laila.

***

Sesaat untuk Disini

Mereka berkata, semua akan baik baik saja. Satu hal yang kutau perihal luka hati adalah bahwa yang bisa menyembuhkannya adalah yang memberimu luka. Tapi, pernahkah  ada luka yang sembuh  tanpa sebuah maaf?

Hari yang dinantikan tiba, aku dan ibu saling berpandangan sesaat sebelum masuk ke aula tempat wisuda. Ibu akan masuk terlebih dahulu untuk duduk ditempat yang disediakan untuk orang tua, lalu aku dan teman-teman akan berbaris dan masuk dan duduk dikursi bertuliskan nama kami. Hal ini diatur sedemikian rapih agar tidak ada ijazah yang salah alamat.

Kami berbaris dengan toga berwarna kuning hitam.  Sesaat setelah masuk ke aula berkapasitas 2000 orang tersebut, aku meneteskan air mata bahagiaku. Tentu saja aku tidak bisa mencari ibu di sekelilingku karena beliau ada di tribun tempat duduk orang tua. Namun entah mengapa walaupun aku tidak tau tepat posisi tempat duduk ibu, aku tetap merasa yakin bahwa ibu mengawasiku dan bahkan bisa mengetahui tempat duduk ku diantara lima ratus wisudawan dan wisudawati hari ini.

Namaku dipanggil untuk menerima ijazah dan untuk pemindahan tali toga. Tanda sah aku seorang sarjana sekarang. Setelah prosesi panjang dan melelahkan karena aku memang menggunakan sepatu berhak tinggi, mataku mencari ibu. Dan seperti yang telah ku pikirkan sebelumnya,  tentu mata ibu mengawasiku ke mana-mana, karena baru saja aku mencari ibu, ibu telah berada tepat disampingku. Tak sulit menemukan ibuku diantara duaribu orang disini. 

“Selamat yaa anakku.” Ucap ibu sembar memelukku yang kubalas dengan pelukan sebisanya.

“Bu, kita ke tempat foto yang disana.” Ajakku. Ayo berfoto. Kami melangkah ke salah satu stan foto yang memenuhi halaman.

“1, 2 , 3 senyum.” Tukang foto depan kami menghitung agar dan ibu mengeluarkan senyuman terbaik kami.

“Sekali lagi.” dan…

“tunggu, tunggu…“ Sebuah suara yang tak asing ikut meriuhkan suasana. Tiba tiba Laila dan Rizky sudah berdiri disamping ibu.

Aku berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum. Dalam pelukan ibu, aku, Laila dan Rizky berfoto bersama.

****

Waktu akan menyembukan luka dan menceriakan kembali hati yang patah. Benarkah?  Lupakah kau bahwa waktu tak pernah benar benar menyembuhkan? Itu hanya membuatmu terbiasa dengan rasa sakit. 

Aku berusaha menjalani hidup dengan baik. Berusaha tegar dan kuat, tanpa harus memberi tahu ibu tentang cerita percintaanku yang malang. Namun, tak dapat di pungkiri, setiap sudut kota yang aku kunjungi untuk bertenang diri hanya membuatku kembali mengingat tentang Rizky, juga Laila. 

Tak jarang, kami menghabiskan waktu bertiga, layaknya sahabat dan kelihatan tidak terpisahkan. 

Laila dengan pembawaannya yang luwes dan mudah berteman, melengkapiku yang sulit membuka diri pada pertemanan. Menjadi penyelamat dan juru bicaraku saat kami bekerja kelompok dan juga berkumpul bersama teman-teman yang lain. 

Dengan sekuat tenaga, aku berusaha untuk tidak menyesali bagian cerita hidupku yang terdengar malang saat ini. 

Aku menyadari bahwa yang menyedihkan adalah pembawaanku yang membatasi pergaulan dan berteman dengan beberapa orang saja, menjadikan mereka duniaku, sehingga saat aku kehilangan yang beberapa orang, aku kehilangan semuanya. 

****

Kita bisa berpura pura cinta, berpura pura bahagia, berpura pura kaya dan banyak lagi pura-pura lainnya. Tapi, ingat.. kita tak bisa selamanya seperti itu. 

Malam ini ibu memasak makanan lebih banyak dari biasanya. Aku, Laila, dan Rizky menyantap makanan dengan lahap.  Aku memang belum bercerita pada ibu tentang apapun. Cukuplah bagiku melihat ibu sebahagia hari ini. Aku pun ikut bahagia.

Sambil menyantap makanan, ibu tak henti hentinya bertanya banyak hal. Kemana saja Rizky beberapa minggu terakhir, kemana Laila akan mencari kerja, sembari berpesan agar Laila tak pernah melupakannya. Kali ini tak seorang pun dapat memahami perasaanku.

Aku masih belum paham mengapa pasangan yang berkhianat ini masih bisa muncul disini, tersenyum tanpa dosa seperti tak pernah terjadi apa-apa. Meminta maaf pun tidak.

Setelah makan, ibu merapikan meja dan dibantu oleh Laila. Sesekali kudengar Laila cekikan di dapur, entah apa yang dibahasnya bersama ibu. Apakah ibu tak bisa memahami perasaanku walau tanpa kuceritakan kisahku? Sejenak aku berpikir, mengapa ibu tak seperti ibu di sinetron yang bisa memahami anaknya tanpa harus bercerita.

Aku duduk di sofa sambil memijit kaki yang sudah pegal sejak tadi siang karena memakai high heels karena hari ini turut ambil bagian dalam golongan cewek yang menyiksa diri dan kaki dengan heels setinggi tujuh centimeter. Sesuatu yang tak mudah dipahami oleh kaum pria adalah wanita rela kesakitan agar terlihat cantik.

Di sudut ruangan, Rizky sibuk mengutak-atik handphonenya. Hei. Sebenarnya kita ini sedang apa? Batinku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Apakah apa yang kulihat beberapa hari yang lalu hanya mimpi? Apakah Rizky  masih benar-benar milikku? Mengapa semua terlihat baik-baik saja? Apakah aku tak berhak atas sebuah permintaan maaf?

Malam kian larut, Rizky dan Laila berpamitan. Aku masuk ke kamarku setelah hari yang panjang. Merebahkan diri, bukan untuk sejenak. Aku ingin pergi dari segala kepura-puraan ini. Namun ,tak dapat kusangkal, ada sedikit kebahagiaan melihat kembali Rizky dan Laila hari ini. Terlepas dari semua sakit yang ada. Aku tetap bahagia bisa bertemu mereka.

Apakah dengan pura-pura bahagia suatu ketika kita akan bisa bahagia tak peduli apapun keadaannya?  Setelah semua pertanyaan tanpa jawaban berputar di kepalaku, aku tertidur. 

Aku lelah dengan segala kepura-puraan. Entah sampai kapan, aku akan terus berbohong pada ibu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status