Share

Pak Adrian

Tahukah kau bahwa kini mendengar namamu, tak lagi membuat hatiku merasakan bahagia?

Mendengar namamu, aku tak lagi ingin membuatku bersemangat untuk bercerita kisah kita.

Mendengar namamu tak juga membuatku bersedih.

Mendengar namamu, berulang. Tak lagi membuatku ingin berlari memelukmu. Sungguh, kamu bukan siapa-siapa lagi di hati.

***

Suasana makan siang kami berlangsung dengan cukup khidmat, kaku dan dingin tanpa canda dan tawa seperti biasanya.

Hal ini terjadi karena adanya orang asing yang semeja dengan kami. Aku duduk di samping Rina sedang di depanku pria pemilik sah gunung es duduk dan makan tanpa sedikit pun peduli pada kami. Aku berharap makhluk di depanku ini segera mengakhiri makannya namun harapan ini nampaknya sia-sia karena dia tetap di sana hingga waktu makan siang pun berakhir.

Seusai makan siang yang menegangkan, kami kembali ke kantor untuk meneruskan pekerjaan kami.

"Eh, tau kan kalo Pak Ady di pindahkan ke kantor cabang?" Boby memulai bisikan yang membuat aku dan Rina menghentikan kerja sejenak.

"Masa sih? Trus siapa yang ganti?"

"Kurang tau, ini aku dapat w******p dari anak-anak di lantai dua". Tau kenapa dipindahkan? Ketauan pacaran sama Shinta. Sekretaris genit itu".

"Udah, ah. Gosip mulu." Aku sangat berhati-hati mengeluarkan kalimat gosip karena tak ingin disebut tukang gosip.

"Benar Din, besok pasti perpisahan sama pak Ady". Boby keliatan serius dengan kalimatnya.

Aku terbayang wajah Shinta yang ku temui pagi ini.

Kantor ini terkenal dengan aturan larangan berpacaran sesama Karyawan.

Kali ini Rina yang telah sejak tadi diam, duduk di samping ku menguatkan pernyataan Boby tentang hubungan Pak Ady dan Sinta.

"Pak Ady sering minta ditemani kalo ke luar kota." Bisik Rina.

"Kan kerja". Aku berusaha sebisa mungkin tidak menambahkan atau mengurangi kabar yang sedang dibahas oleh hampir seluruh karyawan.

"Ih, Din. Ga usah pura-pura gak tertarik ya sama gosip". Boby menatapku dengan tatapan sinis.

"Bukan gitu Bob. Ga enak ngomongin orang. Pak Ady kan baik ke kita. Bu Shinta juga. Kalo pacaran, itu urusan pribadi mereka. Kalian masa lupa sih, berapa hari yang lalu pak Ady baru mengusulkan kenaikan gaji dan bonus yang akan kita nikmati. Kog pada gosip terus" Aku berusaha mengingatkan.

Nasihatku dipandang baik oleh Rina dan Boby yang akhirnya kembali bekerja tanpa membahas lebih lanjut tentang berita yang sedang menjadi trending topik seantero kantor.

Hari ini berakhir dengan pertanyaan, siapakah yang akan menggantikan pak Ady?

Waktu menunjukan pukul 17.00, aku bergegas merapikan meja dan bersiap untuk pulang. Ternyata tidak semua hari yang dimulai dengan bersemangat berakhir dengan baik.

****

 "Din, laporan yang kemarin saya minta sudah selesai?" Tanya pak Adrian yang kini berdiri depan meja kerjaku.

"Sudah, Pak. Nih.." Jawabku sambil memberikan Flash Disk putih yang sejak tadi tergeletak di depanku.

"Baik. Thank You". Pak Adrian menerima flashdisk, tanpa senyum berlalu pergi.

Pak Adrian adalah atasan baru yang menggantikan pak Ady beberapa minggu lalu. Suasana perkenalan dengan departmen kami cukup menegangkan bagi aku, Rina dan Boby. Perkenalan itu dilakukan bagian Manajemen sehari setelah berhembus kabar dipindahkannya pak Ady, dan tentu saja sehari setelah makan siang penuh cerita bersama Pak Adrian saat itu.

Pihak Manajemen memang sengaja menunda perkenalan, dilakukan pada hari kedua pak Adrian bekerja karena beberapa hal yang belum diselesaikan.

Selepas perginya pak Adrian, mataku kini tertuju ke luar jendela. Hujan mulai turun dengan derasnya membasahi kendaran yang sedang di Parkir. Musim hujan telah tiba.

Sebentar lagi pergantian tahun, dan satu hal yang lebih menyenangkan adalah liburan panjang, cuti bersama, dan bonus akhir tahun.

Mengakhir lamunanku yang berlangsung dalam sekian detik, aku kembali menatap layar komputer dan menyelesaikan pekerjaanku.

Aku baru bergegas pulang pada pukul 19.00 saking banyaknya data yang harus dientry dan laporan yang harus diselesaikan. Maklumlah, akhir tahun memang terasa lebih berat.

Aku menuju parkiran yang disinari lampu-lampu taman yang telah menyala sejak sejam yang lalu. Baru saja aku mendekati tempat motorku diparkir, tiba-tiba sebuah suara menyapa "Baru mau pulang, Din?" Suara pak Adrian dari balik mobil yang diparkir tak jauh dari tempatku berdiri kini.

"Iya, Pak. Abis banyak laporan." Jawabku singkat.

"Makan yuk?"  Pak Adrian dengan santainya mengajakku makan malam.

Aku belum percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

"Iya pak? Bapak mengajak saya makan malam?" Aku mengkonfirmasi.

"Iya." Jawabnya singkat.

Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan ajakan pak Adrian. Setelah menyetujui tempat makan yang dituju, aku bersama sepeda motorku melaju ke tempat yang dituju, disusul Pak Adrian dengan mobilnya.

Pikiranku tak sempat sedikitpun berpikir tentang Rina, Boby atau pun Shinta yang pernah mendapat sanksi karena melanggar peraturan kantor. Aku hanya sedang makan malam bersama Pak Adrian.

Terlalu banyak hal yang tak perlu diketahui, untuk sebuah kedamaian hati.

Aku duduk manis di depan pak Adrian yang sedang melihat menu makanan.

"Kamu mau makan apa Din?" Tanyanya santai.

"Aku nasi goreng aja." Lapar soalnya.

Aku berusaha sesantai mungkin menjawab dan bersikap. Toh ini di luar kantor.

Tak lama kemudian, pesanan kami pun datang. Aku masih penasaran mengapa pak Adrian mengajakku makan malam.

"Pak, kenapa ngajak saya makan malam? Lagi senang aja ya Pak? " Pertanyaan yang kujawab sendiri.

"Kebetulan, kamu mau pulang. Kalo kamu gak nyaman, pulang aja". Pak Adrian dengan santai mengusirku.

"Bukan begitu Pak" Aku menatapnya dengan tatapan memelas.

"Apa sekarang kamu masih merasa sedang makan dengan sebongkah es batu?" Pak Adrian mengingatkan ku pada kalimatku ketika makan siang bersamanya pada hari pertama bertemu.

"Saya minta maaf, Pak." Aku menyerah. Menyadari bahwa semua ujaran dan tingkah laku kami di Kantor direkam dengan baik oleh Pak Adrian.

Tanpa sadar aku memperhatikan pak Adrian lebih lama. Setelah makan barulah kesadaranku pulih. Ini akan menjadi berita besar untuk Rina dan Boby.

"Liburan akhir tahun mau ke mana Din?" pertanyaan yang membuyarkan kewaspadaanku.

"Belum ada rencana, mau rebahan aja dirumah. Lelah setiap hari kerja".

"Kalo kamu merasa kerjaaanmu berat, kamu boleh berhenti bekerja". Kalimat yang benar-benar membuatku kaget dan spontan memasang wajah cemberut.

"Jadi, Bapak mengajak saya makan malam untuk memata-matai saya, biar saya bisa dipecat ya Pak?"

"Bukan itu maksud saya, Din. Siapa yang mau memecat kamu?" Pak Adrian membantah kesimpulan sepihak dariku.

Setelah membahas tentang beberapa urusan pekerjaan, Pak Adrian menawarkan jasa mengantarkan ku pulang, yang kutolak dengan sopan.

Saat aku menghentikan sepeda motor di depan rumah, aku baru menyadari satu hal. Bahwa Pak Adrian mengikutiku hingga tiba di rumah. Beliau membunyikan klakson mobilnya tanda hendak meneruskan perjalanan, yang kubalas dengan senyuman dibalik helm. Senyuman yang ku lakukan dengan sia-sia setelah menyadari di sini tidak cukup terang, dan pak Adrian tentu tidak melihat senyuman tanda terima kasih yang tulus dariku.

Baru saja masuk ke rumah, ponselku berbunyi. Aku berusaha menemukan ponselku di dalam tas yang cukup besar. Aku membaca sebuah pesan yang masuk, dari Laila yang memberitahu bahwa ia akan pulang minggu depan dan menikmati liburan disini.

Hatiku tak bersorak gembira , namun tidak juga bersedih. Entahlah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status