Share

Dunia Kerja

Musim hujan baru saja dimulai diawal November. Dibanding dengan daerah lainnya, kota ku memiliki musim kemarau yang lebih panjang. Musim hujan baru dimulai pada awal atau pertengahan bulan November. Hari ini aku sedang dalam perjalanan untuk wawancara kerja ketika hujan turun tanpa aba-aba dan memaksaku untuk berteduh karena tidak membawa jas hujan. 

“Permisi…” aku setengah berbisik saat berjalan di depan beberapa pengendara yang juga sedang berteduh ditempat yang sama. Aku memilih melangkah terus hingga ke pojokan karena tempat berteduh ini sudah mulai ramai.

“akhirnya hujan juga.” Ucap seorang ibu berdaster dengan motif batik,  dan hanya dibalas senyum oleh lawan bicaranya. Sepertinya mereka pun tidak saling kenal,, tapi namanya juga ibu-ibu apa saja pasti ingin dibahas.

“Mau kerja dek?” Ibu berdaster itu berpaling kepadaku. Mungkin karena lawan bicara di sampingnya tidak menanggapi obrolan hujannya beberapa menit yang lalu.

“Baru mau wawancara kerja, Bu.” Aku menjawab cukup pelan sambil melipat tangan kedinginan sembari memegang kunci motorku.

“Nah, terlambat karena hujan.” Sang ibu berusaha bersimpati padaku.

“Belum sih bu, masih sejam lagi. Hanya maunya lebih awal sampai disana.” Aku tersenyum.

“Paling sebentar lagi reda.”  Ibu berdaster meyakinkanku lebih dari seorang pawang hujan.

“Ibu mau ke mana?” tanya ku

“Ke Pasar di dekat sini” Jawabnya sambil menyisir rambutnya yang sedikit basah.

Susana  kembali hening dan masing-masing sibuk dengan pikirannya hingga hujan akhirnya mereda dua puluh menit kemudian. Kami melanjutkan perjalanan kami ke tempat tujuan masing-masing.

Aku telah tiba di sebuah gedung berlantai enam dengan cat biru langit tepat setengah  jam sebelum wawancara dimulai. Beberapa  perempuan yang disinyalir sebagai saingan wawancaraku sedang mengobrol. “Apakah mereka saling mengenal?” Aku membatin.

Pada pukul Sepuluh,  aku dipanggil masuk ke ruangan wawancara.

Aku mengucapkan doa ketika melangkah masuk.  Seorang perempuan cantik dengan setelan kemeja merah muda mempersilahkanku untuk duduk.  Beliau adalah ibu Rita. Sesi wawancara selesai dan aku dinyatakan diterima dan bisa mulai bekerja minggu depan.

Aku pulang ke rumah dengan riang gembira karena diterima bekerja. Aku mempersiapkan pakian, sepatu juga membaca beberapa sumber terkait uraian tugas. Ini akan membantuku di hari pertama bekerja nanti.

Hari yang ditunggu pun tiba, hari pertama bekerja. Karena ada beberapa karyawan baru, kami akan ditraining terlebih dahulu oleh pak Ary. Pak Ary juga akan menjelaskan tugas kami masing-masing.  Posisi yang ku lamar adalah sebagai staff accounting. Sebenarnya aku cukup paham dengan tugas ini, namun perlu mendapat pelatihan tentang aturan-aturan yang berlaku di kantor. Pak Ary memperkenalkan kami dengan beberapa teman yang akan menjadi rekan kerja, menjelaskan apa yang akan menjadi tugas pokok, aturan-aturan dalam bekerja juga besaran gaji yang akan diterima bulan pertama dan bulan-bulan selanjutnya. Aku mengangguk tanda mengerti. Pelatihan berlangsung hingga jam makan siang. Setiap karyawan terlihat mengunjungi cafeteria, ada pula yang pergi untuk makan siang di luar kantor. Aku bersama Rina memutuskan untuk makan siang di Cafetaria.

Suasana di sini cukup ramai. Kami memesan gado-gado untuk makan siang. Setelah selesai akhirnya semua kembali ke meja kerja  masing-masing. Pelatihan sudah selesai, kini aku sendiri dimeja. Hari ini aku menginput data jurnal ke dalam sistem. Tugas yang cukup mudah setelah mendapat penjelasan dari pak Ary.

Tepat pukul 17.00 beberapa karyawan terlihat telah selesai dengan pekerjaannya. Aku telah menyelesaikan tugasku dan sedang bersiap-siap untuk pulang saat Rina, teman baruku bertanya apakah rumahku sejurusan dengannya dengan maksud pulang bersama-sama. Hari pertama bekerja ku tidaklah buruk, bahkan penuh dengan cerita serba baru. Aku akan bekerja sebaik-baiknya.

Aku telah merapikan meja kerja ku ketika layar hand phone ku menyala. Sebuah pesan masuk dari Laila :

“Halo Din, dimana?”. Aku tak ingin membalas namun terlanjur membaca pesan.

“Di Kantor, La. Mau pulang.” Terkirim.

“Aku mampir ya Din.” balas Laila.

“Boleh.” balasku.

Baru saja aku tiba di rumah, aku melihat Laila sedang duduk diteras. Laila Memilih untuk tidak masuk dan menunggu ku tiba di rumah. 

***

Kita harus memaafkan.  Bukan karena kita lemah, tapi karena kita membutuhkan kedamaian hati. Belajarlah memaafkan bukan saja bagi orang yang telah meminta maaf, tapi juga bagi orang yang tidak pernah sadar bahwa mereka salah. Tepatnya, kita memaafkan untuk kedamaian hati, dan membuka pintu berkat di masa depan.

“Slamat malam Bu..” Laila menyapa ibu yang disambut ibu dengan senyuman khasnya.

Setelah kurang lebih tiga bulan tidak bertemu, tidak banyak yang berubah dari Laila, dan juga tidak banyak perubahan dari cara Ibu memperlakukan Laila. Walaupun ibu tahu bahwa Laila telah dengan sadar berkhianat padaku.

Aku masih bertanya-tanya maksud kedatangan Laila. Setelah mandi dan kami makan malam bersama, Laila mengutarakan maksud kedatangannya.

“Ibu dan Diana, Laila ke sini ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan ibu dan Diana, juga Laila meminta maaf karena kelalaian Laila menjaga hati sendiri sehingga jatuh cinta pada Rizky. Jujur saja, Laila sangat malu pada Diana juga Ibu. Laila sadar bukan sahabat yang baik untuk Diana. Besok Laila akan berangkat, karena Laila diterima bekerja di Jakarta dan sudah memutuskan resign dari pekerjaan di sini.  Laila juga sudah mengakhiri hubungan  dengan Rizky. Tadinya ingin ke sini bersama Rizky untuk memohon maaf atas semua salah dan juga sekalian pamitan sama ibu dan Diana.” Suara Laila terdengar bergetar yang diikuti oleh pecahnya tangis kami bertiga.

Walaupun usiaku dua tahun lagi akan memasuki seperempat abad, aku belum bisa ada dalam pilihan untuk lebih memilih Rizky ketimbang Laila. Bagiku, persahabatan masih hal yang aku ingin pertahankan. Rasanya tak adil memusuhi Laila karena satu kekhilafannya dan melupakan kebaikan yang di lakukannya bertahun-tahun.  Benar kata pepatah, kamu belum layak disebut sahabat jika belum pernah jatuh cinta pada orang yang sama.

Aku dan ibu memeluk Laila.

“Din, kamu mau kan maafin aku?” Tanya Laila lagi

“Aku gak punya alasan untuk tidak maafin kamu, Laila.”

“Udah ah nangisnya, kalian kayak gak akan ketemu lagi.” Ibu menambahkan.

“Jangan lupa kasih kabar kalo udah nyampe, kerja yang baik, dapat uang yang banyak, bellin aku daster biar aku bisa maafin kamu.” Pesanku pada Laila.

“Kalo udah nemu penggantinya Rizky, jangan lupa cerita.” Balas Laila

Malam itu, aku dan ibu melepas kepergian Laila untuk bekerja di Jakarta.  Memaafkan Laila membawa kedamaian dalam diriku. 

Terima kasih Tuhan.

****

aku bernyanyi kecil dalam perjalanan ke kantor hari ini. Setengah jam sebelum jam delapan pagi, belum banyak yang datang.

"Selamat pagi bu Diana." Pak Randi, salah seorang Satpam yang bertugas jaga malam menyapaku di Parkiran.

"Pagi Pak, belum gantian dinasnya? Sapa ku, sedikit basa-basi. Lagi pula tidak mungkin Pak Randi masih di sini jika sudah pergantian shift.

"Belum, Bu. Pak Rinto agak terlambat pagi ini." Jawab pak Randi, yang kali ini tidak lagi menatapku tetapi melihat sekeliling seperti menunggu kedatangan rekan kerjanya.

Aku melangkah masuk yang disambut dengan senyum Shinta, sekretaris Pak Adi yang juga sudah datang sepagi ini.

Setelah menyalakan Komputer, mempersiapkan segala sesuatunya, aku tersentak dengan kedatangan Boby, rekan satu department, yang tiba tiba muncul di hadapanku.

"Widih, ibu Diana. Tumben pagi benar, ada apa? Belum sempat ku menjawab, Boby dengan manja menaruh setangkai bunga di depanku.

"Nyonya, ada yang titip bunga buat kamu di depan...Cie cie ciee..Siapa nih yang romantis pagi-pagi." Goda Boby.

"Siapa Bob? siapa yang ngasih?"

"Ya mana ku tau. Jangan pura pura gak tau ya"  Dasar genit kamu. Semua cowok digodain".  Lanjut Boby.

Boby adalah teman baikku. Di kantor ini sering kami sapa dengan panggilan Mami.

 Aku melanjutkan kerja dengan bersemangat. Bagaimana tidak, pak Ady baru saja mengumumkan kenaikan gaji kemarin ditambah dengan bonus akhir tahun, juga tunjangan hari raya yang akan kami terima bulan depan.

Selama tiga tahun bekerja aku telah mengumpulkan cukup uang untuk membayar setengah harga rumah impianku.

Aku sangat bersyukur bisa menemukan tempat kerja yang nyaman dengan gaji yang memuaskan. Walaupun seringkali harus bekerja lembur, tapi aku benar benar menikmati pekerjaanku.

Jam makan siang pun tiba, Aku Rina dan Boby sedang bersiap siap menuju ke rumah makan yang paling dekat dengan kantor.

Tempat ini selalu ramai pada jam istirahat siang, hingga kami nyaris tak dapat menemukan meja kosong.

kami bertiga menuju ke sebuah meja yang berukuran besar dengan empat kursi. Meja tersebut tidak kosong. Seorang pria sedang duduk sendirian di sana dan menikmati makan siangnya. Tampangnya asing dan belum pernah ku lihat sebelumnya.

"Permisi, Pak. Boleh duduk di sini?"

Rina dengan sopan meminta ijin kepada yang telah terlebih dahulu duduk disana.

"Silahkan." Yang disapa menjawab dingin.

"Siapa yang pesan es batu disini? Bisikku pada Rina dan Boby yang disambut dengan tatapan penuh waspada kedua temanku. Mengapa makluk di depanku begitu dingin? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status