Share

Bab 2: Memutuskan Kontrak

Raya mengingat kejadian tragis yang baru saja menimpanya. Seketika rasa sesak menyeruak didadanya. Membuatnya nyaris tidak bisa bernafas.

Diiringi rasa sakit seolah tubuhnya remuk, Raya terduduk dan menangis histeris. Dia menjambak rambutnya, meratap kesakitan.

“Ibu... aku sakit... Ibu... Tolong...” Ratap Raya pilu.

Dia tak ingin mengeluh pada ibunya yang sudah meninggal dan membuat roh ibunya mungkin khawatir, tapi dia tidak tahu lagi bagaimana melampiaskan rasa sakitnya.

“Ibu... Aku takut... Aku sakit.... Ibu... Aku ingin bertemu denganmu...” Ratapan Raya berubah menjadi rintihan yang menyayat hati.

Tak lama kemudian rintihannya kembali berubah menjadi tangisan histeris. Raya menjerit, menjambak rambutnya, memukuli dadanya yang sesak, mencakar dan mengacak-acak hal-hal yang bisa dia jangkau demi melampiaskan rasa frustasinya. Dia merasa akan menjadi gila karena rasa marah, takut, benci dan semua emosi negatif melebur menjadi satu tanpa tempat untuk melampiaskan.

Dia kesal pada kebodohannya sendiri yang terlalu mempercayai ucapan Soni. Dia menyesal kenapa dia tergiur oleh bujuk rayu Soni dan menandatangani kontrak dengan Bintang Murni. Perusahaan sampah yang menjualnya!

Raya merasa sekarat karena berbagai emosi yang bercampur aduk dan terlalu intens.

Lama kemudian, perlahan-lahan tangisan Raya mereda. Hanya tersisa sesenggukan samar sebelum benar-benar menjadi hening.

Setelah terdiam lama, Raya dengan susah payah menyeret tubuhnya yang babak belur ke kamar mandi. Dia dengan jijik menggosok setiap inci kulitnya. Membenci rasa kotor dan rendah diri yang bergelayut dipikirannya.

Selesai mandi, Raya mengumpulkan pakaiannya yang telah tercabik-cabik. Berusaha merapikannya namun gagal. Pakaiannya sudah sobek dimana-mana. Benar-benar tidak bisa digunakan tanpa mengekspos tubuhnya.

“Bajingan! Brengsek! Matilah! Semoga dia mati tertabrak truk! Semoga dia mati masuk jurang! Semoga dia mati terlindas kontainer! Semoga dia mati...” Raya merapalkan rentetan kutukannya sambil terisak-isak.

Gadis itu mencari ponselnya sambil berulang kali menghapus air matanya yang mengalir terus-menerus.

Dia bertanya-tanya, mungkinkah perusahaan ini memang jenis penjahat yang menjual manusia? Jika tidak, kenapa Linda Mei bisa mengatakan hal-hal seperti itu? Jika iya, berapa banyak orang yang sudah dijual oleh Bintang Murni?

“Kenapa aku harus bertemu Soni? Kenapa aku menandatangani kontrak? Kenapa perusahaan jahat semacam bisa berdiri?” Raya mengeluh dalam isakannya. Air matanya yang semula mulai surut kini menjadi deras lagi.

Tepat saat dia menemukan ponselnya, pintu kamarnya terbuka. Raya yang sangat terkejut dan ketakutan segera mencengkeram erat-erat pakaiannya. Tanpa sadar, tubuhnya bergetar samar. Dia menatap orang yang masuk penuh waspada.

“Raya, aku datang untuk membawamu pergi.”

Soni yang muncul dibidang penglihatannya seketika membangkitkan kebencian dan amarah Raya. Namun, sebelum dia berteriak untuk melampiaskan, Soni lebih dulu melemparkan kantong berisi pakaian yang dibelinya.

“Tuan Gin mengatakan pakaianmu rusak parah. Jadi aku datang membawakanmu pakaian. Cepat ganti dan kita akan pergi menandatangani kontrak drama,” ucap Soni tanpa tertarik dengan kondisi Raya.

Pria itu tidak memandang rendah Raya, tidak juga memiliki belas kasihan. Dia hanya menatap Raya seolah tidak ada yang terjadi pada gadis itu. Benar-benar menatap seperti tanpa perasaan berarti.

Raya membuka mulutnya siap membantah, melampiaskan kemarahan dan mencakar Soni. Tapi tiba-tiba sebuah pertanyaan berputar dikepalanya, apakah dia akan terus mengikuti Soni?

Jika Soni bisa menjualnya sekali, bukankah akan ada yang kedua, ketiga dan seterusnya?

Apakah Raya rela? Tidak. Dia sangat tidak rela.

Memikirkan lagi situasi tragisnya, rasa sakit mulai membuat dadanya sesak lagi. Nafasnya tersendat dalam isakan. Tapi kali ini dia tidak ingin terisak, tidak ingin merintih. Raya bahkan berusaha menghapus air matanya lebih kuat. Bertekad tidak akan menunjukkan sisi paling menyedihkannya kepada manajer bajingannya.

Tanpa suara, Raya meraih kantong pakaian dan masuk ke kamar mandi. Tidak butuh waktu lama baginya untuk keluar dalam keadaan rapi. Lebam ditubuhnya sudah tersembunyi, tapi yang diwajahnya tidak bisa dia sembunyikan begitu saja.

Soni mengamati Raya dan berdecak kesal. “Wajahmu terlalu berantakan. Aku akan membawamu untuk merias wajahmu lebih dulu. Cepatlah, kita tak punya banyak waktu.”

“Aku ingin memutuskan kontrak,” ucap Raya menghentikan langkah Soni yang akan keluar dari kamar hotel.

“Apa kau bilang?!” Soni memastikan pendengarannya tidak salah.

“Aku bilang, aku ingin memutuskan kontrak.” Tegas Raya.

“Omong kosong! Apa kau gila?! Kau sudah seperti ini dan kau akan pergi begitu saja?! Kau akan membayar denda yang tinggi!” Kesal Soni.

Biasanya, ketika calon aktris sudah dijual, bagaimanapun frustasinya, mereka hanya bisa menahannya karna tidak ingin semakin banyak kerugian jika memutuskan kontrak.

Tapi apa yang dilakukan Raya? Dia bahkan sudah mengalami hal seperti itu tapi bertekad memutuskan kontrak? Apakah dia bodoh atau gila?

“Aku akan membayarnya. Aku tidak membutuhkan komentar dan pendapatmu. Aku hanya memberitahumu,” ujar Raya tak goyah.

“Lalu apa? Setelah memutuskan kontrak, apa kau akan melapor ke polisi? Kau pikir itu akan berguna?” ejek Soni.

Tanpa Soni mengatakannya, Raya juga tahu bahwa itu tak berguna. Tapi itu adalah hal yang berbeda. Poin utamanya adalah jika dia terus bersama Soni, Raya tidak akan tahu berapa kali lagi dia akan dijual hanya demi peran-peran dalam sebuah drama. Hal itu sama sekali tidak mampu dia tanggung.

“Itu bukan urusanmu.” Raya berucap sambil melewati Soni untuk keluar dari kamar hotel.

“Raya! Kau serius?! Apa kau gila?!”

Raya mengabaikan teriakan Soni dibelakangnya dan pergi tanpa menoleh.

Jelas tubuh dan pikiran Raya sedang tidak sehat, tapi dia sama sekali tidak mau menunda pemutusan kontrak.

Raya mengeluarkan semua tabungan yang dimilikinya, menjual semua properti dan tanah peninggalan orang tuanya. Kemudian bergegas pergi untuk memutuskan kontrak hanya seminggu kemudian.

“Apa kau sudah memikirkannya matang-matang? Kau yakin?” tanya Beni, bos perusahaan saat Raya datang untuk memutuskan kontrak.

“Aku yakin. Bahkan sangat yakin. Perusahaan sampah seperti ini harus ditinggalkan!” Sahut Raya tegas.

Beni tertawa. Dia sama sekali tidak tersinggung oleh ucapan kasar Raya. Dia justru membujuk Raya.

“Bukankah itu merugikan dirimu sendiri? Sejak kau melayani tuan muda Gin, peran wanita ketiga dalam drama adalah milikmu. Apa kau rela membiarkan orang lain mengambilnya setelah kesulitan yang kau alami?” tanya Beni.

“kau tahu itu sulit! Sangat sulit! Aku diperkosa! Aku memiliki trauma dan mimpi buruk setiap malam! Kenapa kau memperlakukan artismu dengan buruk?!” Raung Raya penuh amarah.

“Apa kau orang bar-bar yang hanya bisa berteriak? Tidak bisakah berdiskusi dengan baik?” cibir Soni yang berdiri dibelakangnya.

“Setelah Apa yang aku alami, kau masih berharap aku berdiskusi dengan baik?! Kau gila! Aku ingin memutuskan kontrak!” sembur Raya. Matanya penuh kemarahan dan kebencian yang kuat ketika menatap Soni. Dia seperti binatang buas terluka yang siap menyerang kapan saja.

“Oke, oke. Ruanganku tidak kedap suara. Jangan membuat keributan tidak masuk akal. Kau ingin membatalkan kontrak, maka bayar ganti rugi sepuluh kali lipat.” Beni dengan santai mengeluarkan berkas yang dibutuhkan.

_

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status