Share

Cari Jodoh di Grup Cenat-Cenut Cinta
Cari Jodoh di Grup Cenat-Cenut Cinta
Penulis: Ana Battosai

pemanasan

šŸŒ·šŸŒ·

Aku menatap pantulan wajah di cermin. Kening yang sudah lebar terasa semakin lebar saat mengingat ucapan Dewi kemarin yang menyarankan agar aku mengambil cuti selama satu bulan, hanya untuk mengikuti ide gilanya. Alibinya adalah demi kebaikanku.

Entah dia bersungguh-sungguh atau tidak, namun yang pasti aku sungguh dan sangat keberatan dengan jalan pikirannya yang super aneh. Kadang aku berpikir, sebenarnya dia itu temanku bukan, sih?

Aku menoleh, menatap buku segede gaban yang tebalnya sampai seribu halaman. 30 Hari Mengejar Jodoh, huruf-huruf itu berjejer rapi di sampul buku. Aish, ingin rasanya melemparkan itu buku ke muka lelaki pakboy yang meninggalkan aku pas lagi sayang-sayangnya. Belum lagi Papa, yang terus saja merengek ingin segera gendong cucu, padahal cucunya dari ketiga abangku sudah berjumlah satu lusin. Apa masih kurang?

Aku bangkit, lalu melemparkan tubuh ke kasur. Empuk. Ingin melemparkan diri ke pelukan lelaki, belum ada yang berkenan untuk segera menghalalkan diri ini, jadi pasrah saja jika sampai usia setua ini masih sendiri. Nasib ....

ā€œThe ... kamu sudah tidur?ā€ Suara Papa terdengar dari balik pintu, aku malas menjawab. Sudah pasti beliau akan bertanya perihal pacar. Ebuset, emang Papa pikir cari pacar semudah mancing ikan di empang gitu. Ah, sudahlah. Lebih baik aku tidur.

ā€œTheresia?ā€ Suara Papa masih terdengar, pun ketukan di pintu menggema. Aku malas beranjak, selimut pun kutarik sampai menutup seluruh badan.

šŸŒ·šŸŒ·

Hari minggu yang seharusnya aku gunakan untuk rebahan seharian sambil berkhayal menjadi istri sultan pun harus sirna kala Dewi-sahabatku, memintaku untuk datang ke sebuah kedai kopi. Ia ingin menunjukkan sesuatu yang entah apa.

Aku memilih meja paling pojok dan tersembunyi. Alasannya sepele, agar mata ini tidak panas menyaksikan adegan mesra kaum muda pengunjung kedai yang saling suap-suapan makanan. Lebih baik di sini, aman!

ā€œTheresia!ā€ Suara cempreng khas klakson angkutan terdengar dari pintu. Aku mendongak melihat Dewi sedang berjalan mendekat.

ā€œApaan sih, Wi. Ganggu waktu berharga aku deh!ā€ seruku ngambek. Dewi yang sudah ada di hadapanku nyengir kuda sambil mengeluarkan ponsel miliknya.

ā€œSorry, The. Aku kan pengen liat kamu.ā€

ā€œKamu nggak ganggu aku aja udah makasih banget, Wi.ā€

ā€œElah, The. Gitu amit.ā€

ā€œGini deh, to the point aja. Ada apose ngajak aku ke sini. Jangan bilang kamu punya rencana jahat. Ngaku!ā€

Dewi diam sejenak, lalu mengembuskan napasnya panjang. ā€œSebelumnya aku minta maaf, The. Aku diem-diem daftarin kamu di grup CCC.ā€

ā€œHah? Apaan, tuh?ā€

ā€œCenat Cenut Cinta. Grup biro jodoh yang lagi nge-hits loh.ā€

ā€œBuset, Wi. Jahat! Sumpah. Kamu mau jodohin aku sama om-om?ā€

Aku tidak habis pikir Dewi bertindak sampai sejauh ini. Memang selama ini hanya dia yang setia ada di sampingku. Meski diri ini sudah beranjak kepala empat, sampai mendapatkan label perawan tua, hanya dia satu-satunya yang masih setia menempel padaku.

ā€œThe. Dengerin dulu. Ini grup bukan kawe-kawe. Banyak orang yang udah menemukan pasangan dari grup ini dan berhasil sampai merit. Kamu coba deh.ā€

ā€œOgah, Wi. Mending aku jadi perawan tua daripada maen ginian. Aku manusia, Wi. Bukan boneka. Aku bukan boneka, boneka, boneka!ā€ seruku sambil menyerukan kalimat itu dengan sebuah nada. Kan ujungnya nyanyi ....

ā€œGini deh, The. Anggap ini pemanasan. Kalo selanjutnya kamu nggak cocok. Aku akan tarik profil kamu dari grup CCC. Gimana?ā€

Aku memutar bola mata searah jarum jam, mencoba berpikir keras. Haruskah aku menerima tawaran ini, atau menolaknya.

ā€œSaranku, kamu terima aja, The. Nggak ada salahnya 'kan?ā€ ucap Dewi lagi.

Setelah berpikir matang. Akhirnya aku memutuskan berkata 'Ya. Diiringi Dewi yang mengangkat kedua tangannya ke udara seperti orang berdoa.

Perjanjian di meja kedai kopi pun usai. Kami pun memesan makanan untuk mengganjal perut yang lapar.

ā€œOh, iya. Buku yang aku kasih kemarin kamu bawa 'kan?ā€

Aku menghela napas panjang. Yang dimaksud Dewi bukan buku, melainkan batu bata. Beratnya saja hampir satu kilo. Buku hard cover dan kertasnya pun tebal. Dengan kesal aku mengambil buku yang ditaruh di kursi sebelah lalu meletakannya di meja.

ā€œUdah baca?ā€ tanya Dewi. Matanya menatapku lekat. Aku menggeleng. Jangankan membaca isinya, membukanya saja aku malas.

ā€œDibaca dong, The. Gimana kamu tahu apa yang harus dilakukan buat 30 hari ke depan!ā€ seru Dewi dengan nada manja. Aku tersenyum miring, malas membalas argumennya. Ini anak niat bener ngelakuin ini! Mau jadi cenayang rupanya.

Dewi kembali asyik dengan ponselnya, sesekali mengarahkan padaku kemajuan profil diri ini yang dipajang di grup itu. Banyak like dan komentar dari akun berjenis kelamin laki-laki.

ā€œThe, ada yang komen nanyain umur dan mau ngajak ketemuan!ā€ seru Dewi yang sukses membuat aku tersedak kentang goreng.

ā€œOgah, Wi. Terlalu cepet lah. Baru kenal juga.ā€

ā€œKatanya dia ada di dekat sini!ā€ serunya semakin girang, seperti memenangkan hadiah jutaan.

Kemajuan zaman semakin canggih. Bahkan untuk soal jodoh pun bisa dicari melalui ponsel. Untuk mencari keberadaan seseorang pun tidak sesulit dulu, karena sekarang sudah ada GPS. Simpel banget.

ā€œCoba liat potonya, Wi.ā€ Aku merebut ponsel dari tangannya.

Lelaki bertubuh atletis, dengan wajah putih bersih. Namanya Idam Nugraha. Lelaki berusia 29 tahun dan bekerja sebagai asisten manajer di sebuah kantor di Jakarta Utara. Itu yang terpampang di profil grup. Keren, sih. Apa mungkin dia mau kenalan sama aku dengan perbedaan usia 12 tahun. Impossible lah.

ā€œThe, mau ya, please. Anggap ini pemanasan. Oke!ā€ Dewi kembali merengek membuatku semakin gerah. Akhirnya aku menganggukkan kepala tanda setuju. Berdebat dengannya sama saja dengan cari mati!

Dewi membuka halaman pertama buku yang berjudul 30 Hari Mengejar Jodoh, lalu diarahkan padaku agar membacanya. Ia pun mengajarkan padaku cara melafalkan isi buku itu, pun bertutur kata dengan baik saat berkenalan dengan orang baru.

ā€œWi, nggak usah kaya gini juga kali. Aku bukan anak esde yang harus diajarkan cara melafalkan kalimat sapaan. Yang beginian mah udah khatam aku tuh!ā€ seruku kesal.

Aku tahu niat Dewi baik. Ia ingin agar aku bisa bersikap biasa dan tidak terlalu cuek. Dewi paham benar jika aku memang sudah malas berurusan dengan laki-laki, apalagi dalam hal menjalin sebuah komitmen.

ā€œYa udah, The. Dia bentar lagi datang. Aku ngumpet di meja sana, ya,ā€ ucap Dewi sambil menunjuk ke arah meja kosong tak jauh dariku. Ia berdiri, lalu duduk di sana.

Aku memegang ponsel milik Dewi, sekadar iseng membaca postingan member lain sambil menanti kehadiran orang itu. Debat jantungku tidak bisa dihindari. Meski ini bukan kali pertama aku bertemu dengan seorang lelaki, namun rasanya ada yang aneh.

Aku melirik Dewi yang asyik membaca buku itu, namun pandanganku teralihkan pada sosok lelaki tinggi, gagah, putih bersih, persis oppa Korea. Dia berdiri di hadapanku dan tersenyum.

ā€œHalo, saya Idam. Kamu Theresia, ya?ā€ Lelaki itu memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan. Aku pun membalas jabatannya lalu mempersilakan duduk.

Sumpah demi bulan yang terbit di malam hari, aku lagi kencan buta sama orang yang ganteng maksimal.

Untuk beberapa saat kami hanya diam. Dewi sesekali melirik ke arahku. Pun dengan lelaki yang duduk di hadapanku, terus memandangi wajah ini sambil senyum. Ini orang waras atau gila sih, dari tadi senyum mulu! Bikin salah tingkah deh!

ā€œOh, iya. Kamu mau minum apa. Kopi atau ....ā€

ā€œNggak perlu repot-repot. Aku bawa minum sendiri, kok!ā€ Idam mengeluarkan botol air mineral dari tas selempang miliknya.

ā€œKamu nggak suka kopi?ā€ tanyaku.

ā€œKata mama aku nggak boleh minum kopi. Nanti kulit aku jadi hitam!ā€

Aku hanya bisa melongo mendengar itu semua. Dewi yang sepertinya mendengarkan kalimat barusan pun ikut tertawa, terlihat ia menutupi sebagian wajahnya dengan buku menu.

ā€œOh, gitu, ya!ā€ Aku hanya manggut-manggut. Demi Neptunus yang ada di dasar laut, aku ingin melarikan diri dari kencan buta ini.

ā€œOh, iya. Usia kamu berapa, Theresia?ā€

ā€œ42 tahun,ā€ ucapku.

ā€œAkhirnya aku ketemu sama calon yang diidamkan Mama. Kata Mama cari calon istri yang sudah dewasa. Dan jodohku ada di hadapanku sekarang.ā€ Ucapan polos Idam membuatku merinding disko. Apa jadinya jika aku benar-benar naik pelaminan dengannya.

Lelaki ini sepertinya anak mama banget. Sudah bisa ditebak jika sampai menikah nanti, aku akan bernasib sama seperti wanita di layar kaca karena seatap dengan mertua. Oh, no! Hidupku jangan sampai berakhir tragis, Ferguso!

Aku berdiri dengan tangan memegang perut, ijin ke toilet. Idam pun mengizinkan. Sebelum jam berganti detik, aku harus segera meninggalkan TKP. Jangan sampai dia dan Mamanya menyeret aku ke pelaminan. Tidak!

Dengan napas tersengal-sengal akhirnya aku bisa meninggalkan kedai itu, disusul Dewi dari belakang. Sepertinya ia pun merasakan hal aneh dari dalam diri lelaki itu. Cassingnya lelaki jantan, isinya anak Mama banget.

Aku menyerahkan ponsel pada Dewi, ia berusaha mengatur napasnya yang masih memburu bekas lari-larian tadi. Matanya menatapku tajam.

ā€œSorry, The. Aku kira dia cowok beneran!ā€ seru Dewi.

ā€œNggak apa-apa kali, Wi. Santai aja.ā€

ā€œNggak usah dilanjutkan ya, The. Aku hapus profil kamu di grup CCC. Dan besok kamu bisa masuk kerja lagi,ā€ ucapnya lagi. Kali ini penuh penyesalan.

ā€œNggak usah, Wi. Kayanya seru deh. Aku mau lanjut!ā€ seruku sambil tersenyum. Baru kali ini aku menemukan kembali keseruan dalam menikmati hidup.

Ya, inilah aku. Theresia ... wanita matang yang masih jomlo. Mengalami trauma berat karena terlalu sering ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Akunya sayang, tapi dianya tidak!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status