Bukan hanya Nayra saja yang terkejut setengah mati. Pupil Aldo kini melebar saat pandangannya tertumbuk ke arah Nayra. Bahkan Aldo dapat merasakan hembusan napas hangat wanita tersebut menyentuh permukaan kulitnya.Cantik. Kedua netra Aldo justru terhanyut dan memandangi wajah Nayra tepat di depannya. Mata cokelat bersinar, bibir tipis ranum, juga kulit sehat yang bening.Tunggu. Semakin ia mengamati paras Nayra, semakin dirinya teringat oleh anak perempuan beberapa tahun silam. Ini aneh, namun Aldo yakin bahwa memang ada kemiripan di antara keduanya.Dipandangi secara detail seperti itu membuat Nayra salah tingkah. Sontak ia segera menarik tubuhnya dan menjauh dari Aldo. Nayra langsung menunduk beberapa kali untuk meminta maaf."Pak Aldo, maafkan saya. Saya tidak sengaja. Saya—""Jangan meminta maaf untuk sesuatu yang tidak kamu lakukan," deham Aldo sembari menegakkan tubuh serta memperbaiki posisi duduknya."Tapi, Pak. Tadi—""Cukup. Kembali ke tempatmu sekarang." potong Aldo cepat.
Wanita dengan rambut panjang bergelombang warna keemasan itu menoleh. Sekilas kedua mata wanita tersebut tampak melebar, lalu bersinar terang."Hei, what are you doing? Ayo, sini, duduklah," cetusnya semangat.Aldo menarik napas sembari memalingkan wajahnya singkat. Ia terpaksa berderap mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan wanita tadi tanpa ingin membuang waktu.Aldo melirik sekilas wanita di depannya. Wanita tersebut kini mengulas senyum manis, bertopang dagu mengamati keharmonisan komposisi paras Aldo. Bahkan kedua mata hitam itu seakan tak mau lepas dari Aldo.Aldo segera mengalihkan perhatian pada arlojinya. Sepertinya siang ini waktu akan berjalan lambat baginya. Aldo mende*sah berat sambil memperbaiki jas yang ia kenakan. Ini hal pertama yang selalu mengganggunya, yaitu para wanita menunjukkan ketertarikannya lebih dulu. Membuat Aldo sangat bosan."Hei, kamu Aldo kan? Alfredo Atmajaya?"Aldo melihat wanita itu masih dalam ekspresi yang sama, terlebih tanpa mengedipkan ma
"Ayah nggak sakit kan?" tanya Nayra cemas.Tangan Nayra segera terulur demi menyentuh dahi Budi. "Kayaknya Ayah perlu minum paracetamol. Aku ambilkan dulu ya."Nayra berdiri, berderap menuju kotak obat yang berada di dekat televisi. Setelah menemukan obat yang ia cari, ia kembali ke tempatnya semula.Suapan berikutnya masih berlanjut. Usai suapan terakhir Nayra menuju dapur dan menggerus obat tadi agar Budi dapat meminumnya dengan baik.Sementara di tempat lain, Aldo baru saja memarkirkan mobilnya di garasi. Pria itu menghela napas panjang tepat sebelum dirinya melepas sabuk pengaman.Kedua kakinya akhirnya menapak dengan enggan. Ia berjalan sembari menguraikan dasi agar kerah kemejanya tak terasa begitu mencekik.Ia lalu melihat Rianty sudah menungguinya di depan televisi. Tapi televisi itu tak menyala seperti biasa. Bahkan Nugroho yang merupakan penggila acara TV di jam-jam segini tak tampak batang hidungnya juga.Rianty mengawasi Aldo lamat-lamat. Ia berdeham dan menepuk dudukan ko
Nayra berdiri canggung. Dengan bahu yang turun dan senyuman simpul penuh rasa bersalah, ia membungkukkan badan berkali-kali."Mohon maaf semuanya. Mohon maaf telah mengganggu jalannya rapat dengan kelatahan saya barusan." Ia lalu menoleh secara hati-hati, memandang Aldo segan. "Mohon maaf, Pak Aldo."Kemudian tiba-tiba suara tawa renyah dari seluruh peserta memenuhi ruangan. Bukannya marah, mereka justru merasa terhibur. Toh, kejadian tadi memang tidak Nayra sengaja. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa sikap Nayra barusan sebagai ice breaker sehingga jalannya rapat tak melulu serius dan membuat kantuk.Aldo terkejut terhadap reaksi orang-orang. Seketika bahu tegangnya mengendur. Ia menghela napas sembari memandang ke sekitarnya. Mendadak seulas senyuman muncul dari bibirnya yang tipis. Aldo mengusap tengkuk lehernya dengan masih mempertahankan senyum. Ia melirik Nayra singkat."Ada-ada saja…"Ditertawakan oleh seluruh peserta rapat pagi ini membuat Nayra bergerak kikuk. Ia segera mend
"Iya dong, Sayang. Helmnya dipakai, terus kita cabut," jawab Guna sambil menyunggingkan senyum.Menyaksikan senyuman manis yang menghiasi bibir tebal Guna membuat Ida langsung terpesona. Ia terpukau dengan wajah Guna yang memiliki daya tarik tersendiri baginya. Rasanya jiwa muda miliknya yang telah lama padam mulai tersulut dan berkobar lagi.Ida menurut. Memakai helm yang sengaja dibawa Guna untuknya, lantas naik ke motor yang dulu biasanya membonceng tubuh Nayra di sana.Guna mulai tancap gas, melewati beberapa tikungan kecil perkampungan dengan lincah. Ida mengulas senyumnya girang. Akhirnya ia dapat menyenangkan dirinya sendiri. Kembali menikmati angin malam yang sedekat kulit jangat dan sanggup menerobos pori-porinya. Lalu hingga menyejukkan dadanya.Tak lama kemudian, motor Guna memasuki sebuah bangunan mewah. Mereka memarkir motor di tengah-tengah kendaraan yang kebanyakan beroda empat. Keduanya lalu menggiring kaki masuk ke dalam sana.♡♡♡Kelamnya malam kemudian tergantikan o
Nayra langsung menutup mulutnya. Air matanya menguar deras begitu saja dari pelupuk. Ia tergugu, tak sanggup melanjutkan percakapannya di telepon. Tangannya yang sedari tadi meletakkan ponsel di telinga terkulai lemas dan perlahan turun menyusuri pipinya yang telah basah.Empati Aldo langsung tersentuh saat menyaksikannya. Ia segera berdiri lalu menangkap ponsel Nayra sebelum wanita itu menjatuhkannya ke lantai.Aldo dengan sigap meneruskan telepon Nayra. "Halo? Maaf, apa yang terjadi?"Mendengar jawaban di seberang telepon, lantas membuatnya menautkan kedua alis tebalnya. "Di rumah sakit mana? Tunggu. Kami akan segera ke sana."Aldo lekas memutus sambungan telepon itu, kemudian memandang Nayra yang bahunya tengah bergetar hebat. Ia lalu meraih lengan Nayra dan menariknya keluar."Ayo, akan kuantar ke rumah sakit," tegasnya. Nayra menurut, tapi enggan menjawab dan menunjukkan wajahnya yang sembap.Sebelum menghilang dari pintu, Aldo menoleh dan mengatakannya dengan cepat. "Vin, aku ti
Di depan perawat itu, tubuh Nayra langsung melemas. Kedua kakinya bahkan tak kuat menahan berat badannya sendiri. Sehingga Nayra pingsan dan tubuhnya ambruk ke belakang.Beruntung Aldo dengan sigap menangkap tubuh Nayra. Dua tangannya mencekal lengan Nayra agar tidak roboh dan jatuh ke lantai.Aldo sedikit menggoyangkan tubuh wanita tersebut, berusaha untuk menyadarkannya."Nay?"Kemudian Aldo menghela napas. Ia melempar tatapan ke arah perawat di depannya. "Sus, untuk urusan administrasi sama saya saja. Tolong bawa perempuan ini di ruang rawat lain dulu."Perawat itu menganggukkan kepala, lantas bergerak lincah demi menyiapkan brankar sementara untuk Nayra. Setelahnya, Aldo berderap menuju meja resepsionis.Di tempat lain, Marsella baru saja turun dari ojek online yang ia pesan. Saat melangkah menuju rumah kontrakan Guna, ia mengerutkan kening sejenak.Ia membuka pintu seperti biasa. Namun, pintu rumah itu sepertinya dikunci oleh sang pemilik. Marsella kemudian mengetuk pintu beberap
Marsella terenyak. Bahkan ia masih bisa merasakan panasnya tamparan keras tangan ibunya yang menjalar ke seluruh saraf. Marsella membuka mulutnya tak percaya, lantas melempar mimik masam di wajah."Mi, kok—""Diam, Sel. Makanya kalau Papi Mami bicara sama kamu, kamu diam saja. Jangan menjawab sepatah kata pun!" Ibunya lalu menarik napas panjang dan memijat pelipisnya. "Ya Tuhan, kenapa anakku jadi begini."Marsella melengkungkan bibirnya. Bukan hanya ibunya saja yang merasakan kekecewaan. Marsella lebih kecewa terhadap kedua orang tuanya.Kalau saja ia bisa memilih siapa orang tuanya. Batinnya.Marsella menelan ludah secara kasar sekaligus kenyataan pahit yang harus ia sadari. Seorang anak tidak bisa memilih siapa orang tuanya. Tetapi para orang tua dapat memilih dengan siapa ia menikah dan bagaimana cara membesarkan anaknya."Pokoknya kamu nurut saja sama keputusan kami. Kamu akan dijodohkan dengan anak teman Papi. Pertemuan kalian akan segera kami jadwalkan," tegas sang ayah tanpa m