Seketika Marsella mendelik tak terima. Ia mendesah kasar, tersenyum kecut karena tak mengerti bagaimana jalan pikiran ayahnya.“Aku nggak melakukan apa-apa! Hah, kayaknya aku bernapas pun masih salah di depan Papi!”“Kamu jangan bohong! Kemarin aku mengawasimu. Apa yang membuat dia pergi?” Ayahnya tak mau kalah. Sementara ibunya tetap melanjutkan makan sembari mencuri pandang ke arah pusat ketegangan tersebut.“Anak ini benar-benar tidak becus melakukan sesuatu dengan baik,” imbuhnya bergumam pelan. Tangan pria itu sekarang bergerak untuk meraih alat makan dan menyuapkannya ke mulut lagi.Marsella dongkol dengan ucapan ayahnya barusan. Ia juga geram atas sikap pria tersebut yang ternyata justru membuntutinya malam itu. Marsella benar-benar tak diberi privasi sedikit pun.“Kalau gitu, jangan jodohkan aku lagi!” ketus Marsella sudah pusing dengan kelakuan ayahnya. Wajah tertekuk dan bibirnya yang mengerucut tak dapat ia sembunyikan lagi.“Diam! Kamu itu bisa tidak nurut saja! Kalau tida
"Hahaha, pelakor! Masih bisa lu muncul di mana-mana?! Nggak malu apa sama tuh muka!" celetuk keras salah satu wanita muda di sana. Kira-kira masih berstatus mahasiswa."Ih, kalau gue jadi lu sih malu, ya! Hahaha!" imbuh yang lainnya.Satu orang lainnya lagi menghampiri Marsella yang berdiri di dekat rak display sepatu, lantas menjambak rambut panjang wanita tersebut."Mati aja lu! Nggak pantes hidup di dunia ini, sumpah!" pekiknya sembari mencengkeram dan menarik rambut Marsella kuat-kuat."Aduh! Stop! Cepet berhenti!" teriak Marsella kesakitan hingga kepalanya terpelanting ke kiri."Hahaha!""Hahaha, lu nggak layak hidup!""Berhenti! Apa yang terjadi di sini?!" Tiba-tiba Nayra menyela dan menyelinap di antara mereka.Tadi Nayra sangat terkejut melihat orang yang ia benci—Marsella—berada di toko sepatu tujuannya. Tetapi, setelah menyaksikan Marsella dirundung di tempat ini, ia jadi tergerak hatinya untuk menolong perempuan itu.Seketika sekelompok wanita muda yang diduga teman kuliah
Marsella buru-buru melangkahkan kaki keluar area mall. Perasaannya campur aduk. Ia sangat malu atas peristiwa yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa seorang Marsella jadi satu meja dengan Nayra dan Arvin. Mimpi apa dia semalam?!Namun, langkah kakinya terhenti ketika ia seperti mendengar suara tak asing yang memanggilnya.“Marsella!”Marsella memutar badan dan mengeryit samar. Tapi, begitu tak melihat siapa-siapa, ia melanjutkan untuk menggiring kaki.“Sel! Tunggu, Sel!” Tiba-tiba seorang pria menyambar lengannya. Seketika Marsella menoleh dan tercekat begitu melihat siapa yang ada di hadapannya.“Mau ngapain lagi kamu, Gun?!” ketusnya sembari mengibaskan pegangan tangan Guna pada lengannya.“Sel, aku nggak maksud buat mutusin kamu. Please, maafin aku, ya,” bujuk Guna nekat meraih kembali kedua tangan Marsella.Karena terlanjur sakit hati, Marsella akhirnya menepis tangan Guna lagi. “Hah, nggak maksud?! Terus maksudmu apa? Siapa cewek itu?!” kejarnya kesal.“Dia itu cuma klien aku, ng
Para peserta rapat terbengong-bengong menyaksikan Aldo tengah terpegun dan melihat ke arah Nayra sekarang. Beberapa dari mereka saling bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Nayra juga termangu. Ia mengernyitkan dahi dan ingin memastikan apa yang barusan ia dengar."A-apa, Pak?" Kedua manik mata cokelatnya membulat.Seketika Aldo terhenyak, lantas segera menegakkan tubuhnya. Ia berdeham pelan dan buru-buru menggelengkan kepala."Oh, tidak. Lupakan." Ia bergerak cepat mencabut flashdisk milik Nayra tadi, lalu menyerahkannya kepada pemiliknya lagi."Ini. Tidak ada dokumen yang aku cari di sini," tegasnya kemudian."Ah, maaf, Pak. Tadi saya tergesa-gesa dan—"Aldo mengangkat sebelah tangannya untuk menghentikan penjelasan Nayra. Aldo bahkan sudah mengalihkan pandangannya ke arah layar laptop dan kembali memunculkan programnya tadi pada proyektor besar yang terpampang di belakang punggungnya."Akan aku lanjutkan." Aldo merapikan jasnya sejenak, kemudian berdiri untuk menjelaskan teknis st
“Tapi apa, Pak?” Arvin memperbaiki posisi kacamatanya dan memandang Aldo heran.Sebelum menjawab, Aldo mencondongkan badan ke depan, lantas mengatupkan ujung-ujung jemari hingga meremasnya agar memperoleh ketenangan. Ia membuka mulut, tetapi dering panjang dari ponsel miliknya justru mengalihkan perhatiannya lebih dulu.“Sebentar.” Aldo mengerutkan kening ketika membaca nama orang yang meneleponnya. Ia mendes4h panjang sebelum menerima panggilan itu.“Halo, Ma.” Aldo menjawab dengan jengah. Tangannya menggosok hidungnya malas. Sementara Arvin serius mengamati gurat wajah Aldo agar dapat segera menyimpulkan arah pembicaraan mereka.[Do, gimana? Sudah kamu bereskan nama baikmu?]Ini lagi. Aldo sangat bosan mendengarkan pertanyaan itu keluar dari bibir Rianty lagi, lagi, dan lagi.“Sudah, Ma. Ada apa?”[Ingat ya, Do. Namamu harus segera bersih! Kalau bisa cewek-cewek biar nempel sama kamu lagi! Sudah berapa nama yang reject kamu, nolak untuk dijodohkan gara-gara berita itu!]Bagaimanapun
Ida baru saja keluar dari kamar begitu melihat Nayra menggeser benda persegi panjang tersebut."Nay?!" Ia menyatukan kedua alis. "Kenapa kamu buka-buka hpku?!" Matanya mendelik menghunjam Nayra.Nayra buru-buru menarik tangannya kembali, kemudian berusaha menjelaskan, "Nggak, Bu. Tadi Nayra cuma hilangin kotoran cicak di hp ini. Nggak sengaja kebuka juga."Pembelaan diri yang dilancarkan Nayra tampaknya tak mengubah rasa curiga Ida. Masih dengan tetap menyipitkan mata dan menampilkan ekspresi judesnya, Ida segera menyambar ponsel yang tergeletak di atas meja TV, lantas mencabut charger yang semula teraliri arus listrik.Tanpa berbicara lagi, wanita itu langsung membuka ponselnya untuk memeriksa, kemudian melangkah menuju kamarnya kembali.[Sayang, aku barusan dihajar preman.]Kedua mata Ida melebar membaca pesan tersebut terkirim satu menit yang lalu. Ia cepat mengetikkan balasan saking cemasnya.[Loh, di mana kamu sekarang?]Tak lama kemudian sebuah foto yang menunjukkan wajah Guna l
Sekarang di sinilah Marsella berada. Setelah mandi dan bersolek, Marsella menaiki taksi menuju kemari. Ia duduk sembari membawa paper bag di sebelah tangannya. Sementara kedua netranya menjelajahi seluruh area di sekitar, hingga karyawan yang sibuk berlalu-lalang tertarik untuk memandangnya meski sekilas.“Jadi ini tempat mereka bekerja…” gumam Marsella sambil manggut-manggut kagum.Saat Marsella menoleh ke sisi kanan, ia tak sengaja menangkap sosok Nayra yang ia cari. Untuk balas budi, begitu pikir Marsella. Bagaimanapun ia tetap terharu karena diterima baik sewaktu makan siang kapan hari.Marsella langsung berdiri. Tapi begitu melihat Arvin ternyata ada di samping Nayra, sontak ia segera membalikkan badan dan gugup.“Gimana ini?! Kenapa malah ada dia! Gimana kalau aku malah diusir?!” Marsella bergumam. Ia memejamkan kedua mata seakan dengan begitu, dirinya tak akan terlihat. Ia segera melangkahkan kaki pergi sebelum ketahuan.“Loh, Sel? Kenapa kamu di sini?”Suara Nayra berhasil men
"Ini tidak benar, Pak.""Apa maksudmu, Nay?" Aldo masih menatap Nayra dengan serius. Sementara kebingungannya tiba-tiba kian membuncah.Nayra tampak berpikir sejenak. Pandangannya ia taruh di langit, pepohonan, dan apa pun yang bisa ia lihat. "Soal panggilan… sepertinya saya tidak pantas memanggil Pak Aldo di lingkungan kerja aku-kamu, Koko."Kemudian Nayra mencoba melihat ekspresi Aldo di depannya. Pria matang tampan dan bermata sipit itu, Nayra masih tidak menyangka adalah orang yang sama dengan Koko 17 tahun lalu. Ia menghela napas berat, seandainya saja ia lebih cepat dapat mengenalinya."Kenapa? Aku tidak keberatan, Nay." Aldo mengedikkan bahu."Kamu tetap bisa panggil aku Koko, aku-kamu—""Tetap saja tidak sopan, Pak. Maaf. Masa saya memanggil begitu di hadapan Pak Arvin, karyawan lain." Nayra mengerucutkan bibir."Biarkan saja, ini kan tentang kita. Kenapa harus sampai repot memikirkan apa pendapat mereka." Kali in tatapan Aldo meyakinkan.Nayra termenung. Aldo ada benarnya. Ti