Sekarang di sinilah Marsella berada. Setelah mandi dan bersolek, Marsella menaiki taksi menuju kemari. Ia duduk sembari membawa paper bag di sebelah tangannya. Sementara kedua netranya menjelajahi seluruh area di sekitar, hingga karyawan yang sibuk berlalu-lalang tertarik untuk memandangnya meski sekilas.“Jadi ini tempat mereka bekerja…” gumam Marsella sambil manggut-manggut kagum.Saat Marsella menoleh ke sisi kanan, ia tak sengaja menangkap sosok Nayra yang ia cari. Untuk balas budi, begitu pikir Marsella. Bagaimanapun ia tetap terharu karena diterima baik sewaktu makan siang kapan hari.Marsella langsung berdiri. Tapi begitu melihat Arvin ternyata ada di samping Nayra, sontak ia segera membalikkan badan dan gugup.“Gimana ini?! Kenapa malah ada dia! Gimana kalau aku malah diusir?!” Marsella bergumam. Ia memejamkan kedua mata seakan dengan begitu, dirinya tak akan terlihat. Ia segera melangkahkan kaki pergi sebelum ketahuan.“Loh, Sel? Kenapa kamu di sini?”Suara Nayra berhasil men
"Ini tidak benar, Pak.""Apa maksudmu, Nay?" Aldo masih menatap Nayra dengan serius. Sementara kebingungannya tiba-tiba kian membuncah.Nayra tampak berpikir sejenak. Pandangannya ia taruh di langit, pepohonan, dan apa pun yang bisa ia lihat. "Soal panggilan… sepertinya saya tidak pantas memanggil Pak Aldo di lingkungan kerja aku-kamu, Koko."Kemudian Nayra mencoba melihat ekspresi Aldo di depannya. Pria matang tampan dan bermata sipit itu, Nayra masih tidak menyangka adalah orang yang sama dengan Koko 17 tahun lalu. Ia menghela napas berat, seandainya saja ia lebih cepat dapat mengenalinya."Kenapa? Aku tidak keberatan, Nay." Aldo mengedikkan bahu."Kamu tetap bisa panggil aku Koko, aku-kamu—""Tetap saja tidak sopan, Pak. Maaf. Masa saya memanggil begitu di hadapan Pak Arvin, karyawan lain." Nayra mengerucutkan bibir."Biarkan saja, ini kan tentang kita. Kenapa harus sampai repot memikirkan apa pendapat mereka." Kali in tatapan Aldo meyakinkan.Nayra termenung. Aldo ada benarnya. Ti
“Kamu berani menentangku?!” Kilat api pada kedua mata ayahnya menunjukkan kesabaran pria tersebut semakin menipis sekarang. “Anak kurang ajar!”Wanita di sampingnya mengunyah makanan perlahan─dengan sangat berat hati, kemudian meletakkan alat makannya. Kedua mata itu beralih dari suami di sampingnya dan Marsella di hadapannya. Raut wajahnya tampak lelah.“Sudahlah. Kenapa kita mesti ribut-ribut saat makan begini?” keluh wanita tersebut, lantas menghela napasnya panjang.“Kamu lihat saja itu anakmu! Dia selalu melawan apa yang kita perintahkan!” murka ayahnya. Sementara Marsella melotot.“Papi dan Mami sama aja! Kalian nggak pernah mau mendengarkan keinginanku dulu!”“Apa keinginanmu?! Menikah dengan duda miskin baj1ngan itu?! Nggak! Pilihanku lebih baik dari keputusanmu!” tegas ayahnya. Tampak kumis tebal di dekat mulutnya ikut memberi kesan garang.“Minimal tanya dulu lah gimana pendapatku!” ketus Marsella tak mau kalah. Ibunya memejamkan mata, lalu memijat kening saking frustasi men
Guna mengerjapkan kedua matanya tak percaya. Ia tercengang menyaksikan ada sebuah luka di al4t kelaminnya. Dari mana asalnya luka ini? Apa karena punya wanita itu yang melukainya? Guna yang panik menerka-nerka.“Aw!” Sesekali ia meringis kesakitan.“Sialan! Akhir-akhir ini hidupku banyak sial!” keluhnya kemudian. Ia memandang dirinya sendiri di depan cermin dan langsung mengasihani diri karena mukanya masih lebam di sana sini.Sekian detik berikutnya, pintu kamar mandi diketuk. Guna mendesis dan menyahut dengan kesal.“Apa?!”“Sudah belum? P3n1smu kenapa? Ayo ulang, aku belum klimaks, nih!”Guna membuang napasnya kasar, lantas terpaksa membuka pintu itu. Air mukanya memerah, antara menahan sakit, juga emosi. Akhir-akhir ini dirinya terlalu sensitif.“Aku udah nggak mood!” bengis Guna saat dirinya berjalan cepat dan sengaja menabrakkan bahu pada tubuh wanita tersebut. Kedua matanya sempat menyapu seluruh tubuh polos wanita tadi.Guna mula-mula meraup semua pakaian miliknya yang terongg
Arvin membuang napasnya sekali lagi. Siang-siang begini, ia harus mencari masalahnya sendiri dengan menolong perempuan sialan itu. Arvin tak menyesal menolong, tapi rasa bencinya semakin bertambah pada perempuan tersebut.Mau tak mau, Arvin menarik dompet miliknya dari saku celana, lantas mengulurkan sejumlah uang warna merah untuk dua preman tadi. Uluran tangan Arvin langsung disambar begitu saja oleh salah satu pria gondrong paling dekat.“Lah, apa ini?! Cuma segini doang? Tambah dong! Pelit amat!” protesnya kurang ajar.“Abang malak atau apa? Segitu cukuplah buat makan dan rokok.” Arvin menanggapinya dengan malas.“Lah, kan lu orang tajir! Hidup lu pasti udah enak dari kecil!” Sekarang preman lainnya berkacak pinggang. Wajahnya merah padam dengan mata melotot tajam.Namun, Arvin sama sekali tak takut. Kini dirinya justru bersedekap dan menatap langsung ke arah preman yang baru saja bersungut-sungut itu.“Abang tidak tahu bagaimana hidup saya. Jadi, mendingan Abang fokus dengan hidu
"Apa, Pak?" Hati Nayra mencelos tak karuan. Sepertinya Aldo benar-benar membaca bukunya, keluhnya membatin. Ia harus menjawab apa?Aldo mendongak, menghentikan gerakan tangannya, lantas menghela napas panjang."Maafkan aku, Nay. Kalau tahu sejak awal kalau itu kamu, aku tidak akan berbuat sejauh itu. Maaf."Nayra melongo. Kenapa sekarang dirinya yang jadi merasa bersalah? Nayra menekuk bibirnya ke bawah samar, kemudian buru-buru menggeleng sambil melambaikan tangannya."Tidak, tidak! Kamu jangan begitu, Ko. Ini semua bukan salahmu, kok. Tolong jangan meminta maaf begitu," sanggah Nayra tak enak. Ia menyesal situasinya jadi begini gara-gara buku miliknya.Duh, bodoh kamu, Nay! Bisa-bisa ceroboh nggak nyimpen buku itu di laci! Rutuknya menyalahkan diri sendiri."Pokok aku minta maaf, Nay." Tatapan Aldo kosong, sementara ia menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Kamu akan betah kerja di sini, kan?"Nayra kembali menatap Aldo, begitu juga Aldo yang berpaling ke arahnya. Mereka akhirnya
“Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?” Ida segera berhambur dan bersimpuh di dekat posisi Guna yang tengah terbaring. Ia lalu memeriksa suhu badan Guna lewat sentuhan telapak tangannya pada dahi.“Panas begini. Lihat mukamu lebih parah dari yang difoto.” Ida mengomel panjang lebar hingga membuat Guna risih.Guna lalu melenguh dengan suara serak. “Sudah, jangan banyak bicara kayak emak-emak. Aku mau teh hangat.” Guna mengibaskan sebelah tangannya mengusir Ida. Kedua matanya bahkan terasa berat.“Kan emang emak-emak.” Ida menggerutu dan bangkit dari duduknya. Kedua kakinya ia tuntun menuju dapur.Tak sampai enam menit, Ida sudah kembali dengan secangkir teh hangat di tangannya. Wanita itu langsung menyerahkannya kepada Guna. Perlahan, Guna bangkit dan menyesap teh yang diseduh itu pelan.Seketika cairan manis hangat secara relaks mengalir sepanjang kerongkongannya. Sekilas ia melupakan rasa sakit yang berdenyut-denyut dan menggantinya dengan bayangan jika ia memiliki afeksi seorang ibu.
"Ah!"Marsella terpekik lirih. Kini kedua matanya mengikuti bekal buatannya yang meluncur mulus jatuh di tanah. Bahkan ia dapat melihat kotak bekal tersebut keluar dari tas, dan tersingkapBegitu juga Nayra yang terkesiap. Kedua netranya melebar begitu menyaksikan sikap Arvin yang tak seperti biasanya. Padahal selama ini Arvin selalu sopan, perhatian, juga baik.Tapi siang ini? Rasanya Nayra tak memercayai tangkapan matanya sendiri. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tak ikut campur.Marsella lalu mengalihkan pandang ke arah Arvin dengan tak percaya. Ia tak bisa berkata-kata dihadapkan sosok Arvin dengan air muka merah padam."Jangan pernah kamu mendatangiku lagi!" ancam Arvin menuding tepat ke wajah Marsella, kemudian melangkahkan kaki masuk ke mobilnya.Marsella tertegun selama sekian detik. Semakin lama, pelupuknya berat dan air di sana kian tak terbendung. Marsella lalu tergugu sambil menutupi wajahnya. Perasaannya campur aduk. Malu, iya. Kecewa juga pasti. Beberapa karyawan bahk