Guna mengerjapkan kedua matanya tak percaya. Ia tercengang menyaksikan ada sebuah luka di al4t kelaminnya. Dari mana asalnya luka ini? Apa karena punya wanita itu yang melukainya? Guna yang panik menerka-nerka.“Aw!” Sesekali ia meringis kesakitan.“Sialan! Akhir-akhir ini hidupku banyak sial!” keluhnya kemudian. Ia memandang dirinya sendiri di depan cermin dan langsung mengasihani diri karena mukanya masih lebam di sana sini.Sekian detik berikutnya, pintu kamar mandi diketuk. Guna mendesis dan menyahut dengan kesal.“Apa?!”“Sudah belum? P3n1smu kenapa? Ayo ulang, aku belum klimaks, nih!”Guna membuang napasnya kasar, lantas terpaksa membuka pintu itu. Air mukanya memerah, antara menahan sakit, juga emosi. Akhir-akhir ini dirinya terlalu sensitif.“Aku udah nggak mood!” bengis Guna saat dirinya berjalan cepat dan sengaja menabrakkan bahu pada tubuh wanita tersebut. Kedua matanya sempat menyapu seluruh tubuh polos wanita tadi.Guna mula-mula meraup semua pakaian miliknya yang terongg
Arvin membuang napasnya sekali lagi. Siang-siang begini, ia harus mencari masalahnya sendiri dengan menolong perempuan sialan itu. Arvin tak menyesal menolong, tapi rasa bencinya semakin bertambah pada perempuan tersebut.Mau tak mau, Arvin menarik dompet miliknya dari saku celana, lantas mengulurkan sejumlah uang warna merah untuk dua preman tadi. Uluran tangan Arvin langsung disambar begitu saja oleh salah satu pria gondrong paling dekat.“Lah, apa ini?! Cuma segini doang? Tambah dong! Pelit amat!” protesnya kurang ajar.“Abang malak atau apa? Segitu cukuplah buat makan dan rokok.” Arvin menanggapinya dengan malas.“Lah, kan lu orang tajir! Hidup lu pasti udah enak dari kecil!” Sekarang preman lainnya berkacak pinggang. Wajahnya merah padam dengan mata melotot tajam.Namun, Arvin sama sekali tak takut. Kini dirinya justru bersedekap dan menatap langsung ke arah preman yang baru saja bersungut-sungut itu.“Abang tidak tahu bagaimana hidup saya. Jadi, mendingan Abang fokus dengan hidu
"Apa, Pak?" Hati Nayra mencelos tak karuan. Sepertinya Aldo benar-benar membaca bukunya, keluhnya membatin. Ia harus menjawab apa?Aldo mendongak, menghentikan gerakan tangannya, lantas menghela napas panjang."Maafkan aku, Nay. Kalau tahu sejak awal kalau itu kamu, aku tidak akan berbuat sejauh itu. Maaf."Nayra melongo. Kenapa sekarang dirinya yang jadi merasa bersalah? Nayra menekuk bibirnya ke bawah samar, kemudian buru-buru menggeleng sambil melambaikan tangannya."Tidak, tidak! Kamu jangan begitu, Ko. Ini semua bukan salahmu, kok. Tolong jangan meminta maaf begitu," sanggah Nayra tak enak. Ia menyesal situasinya jadi begini gara-gara buku miliknya.Duh, bodoh kamu, Nay! Bisa-bisa ceroboh nggak nyimpen buku itu di laci! Rutuknya menyalahkan diri sendiri."Pokok aku minta maaf, Nay." Tatapan Aldo kosong, sementara ia menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Kamu akan betah kerja di sini, kan?"Nayra kembali menatap Aldo, begitu juga Aldo yang berpaling ke arahnya. Mereka akhirnya
“Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?” Ida segera berhambur dan bersimpuh di dekat posisi Guna yang tengah terbaring. Ia lalu memeriksa suhu badan Guna lewat sentuhan telapak tangannya pada dahi.“Panas begini. Lihat mukamu lebih parah dari yang difoto.” Ida mengomel panjang lebar hingga membuat Guna risih.Guna lalu melenguh dengan suara serak. “Sudah, jangan banyak bicara kayak emak-emak. Aku mau teh hangat.” Guna mengibaskan sebelah tangannya mengusir Ida. Kedua matanya bahkan terasa berat.“Kan emang emak-emak.” Ida menggerutu dan bangkit dari duduknya. Kedua kakinya ia tuntun menuju dapur.Tak sampai enam menit, Ida sudah kembali dengan secangkir teh hangat di tangannya. Wanita itu langsung menyerahkannya kepada Guna. Perlahan, Guna bangkit dan menyesap teh yang diseduh itu pelan.Seketika cairan manis hangat secara relaks mengalir sepanjang kerongkongannya. Sekilas ia melupakan rasa sakit yang berdenyut-denyut dan menggantinya dengan bayangan jika ia memiliki afeksi seorang ibu.
"Ah!"Marsella terpekik lirih. Kini kedua matanya mengikuti bekal buatannya yang meluncur mulus jatuh di tanah. Bahkan ia dapat melihat kotak bekal tersebut keluar dari tas, dan tersingkapBegitu juga Nayra yang terkesiap. Kedua netranya melebar begitu menyaksikan sikap Arvin yang tak seperti biasanya. Padahal selama ini Arvin selalu sopan, perhatian, juga baik.Tapi siang ini? Rasanya Nayra tak memercayai tangkapan matanya sendiri. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tak ikut campur.Marsella lalu mengalihkan pandang ke arah Arvin dengan tak percaya. Ia tak bisa berkata-kata dihadapkan sosok Arvin dengan air muka merah padam."Jangan pernah kamu mendatangiku lagi!" ancam Arvin menuding tepat ke wajah Marsella, kemudian melangkahkan kaki masuk ke mobilnya.Marsella tertegun selama sekian detik. Semakin lama, pelupuknya berat dan air di sana kian tak terbendung. Marsella lalu tergugu sambil menutupi wajahnya. Perasaannya campur aduk. Malu, iya. Kecewa juga pasti. Beberapa karyawan bahk
“Mbak, minta tolong bantu sebentar, ya.” Tiba-tiba salah satu pengurus panti memanggil Nayra.Sontak Nayra menoleh dan langsung ganti haluan menuju meja di mana mereka meletakkan makanan tadi. “Mbak bagikan seperti tadi, ya. Saya mau membuka kresek yang ini dulu.” Wanita tersebut berjongkok. Tangannya gesit menguraikan talian pada kresek besar tersebut. Setelah itu perlahan menyusun beberapa box sekalian di atas meja.Aldo mendes4h lega. Sekarang ia menyaksikan Nayra tengah membagi makanan lagi sambil sesekali melirik anak-anak yang sempat dibimbing tadi. Aldo kemudian melangkah dan bergabung di tengah mereka. Ia memilih di dekat Nayra sembari berdeham lirih.“Kamu kelihatannya ingin punya anak,” tandas Aldo mula-mula. Nayra yang berada di sisinya sedikit terjingkat, lantas tertawa saat menyadari bahwa itu Aldo.“Ya… pengenlah, Ko. Aku dari dulu pengen anak laki-laki,” akunya.Aldo mengerutkan kening. “Kenapa? Bukannya sama saja?”Nayra menghentikan gerakan tangannya. “Hmm, mungkin l
"Oh, sudah pulang, ya?" celetuk Guna santai. Sekilas ia melirik jam yang bertengger di dinding, lantas memandangi Nayra dengan senyum miring.Mata Nayra sudah mendelik tajam. Tapi pria di depannya justru tenang tanpa beban. Sejumlah bekas luka yang mulai tersamarkan masih menghiasi wajahnya. Nayra mungkin hanya salah lihat jika Guna ini semakin kurus, matanya cekung, dan sedikit pucat. Cuma sekilas, dan ia tentu memilih tak peduli.Sebelum Nayra melempar kata-kata kesal lagi, Ida datang sambil membawa segelas kopi hangat. Wanita itu hendak meletakkan di permukaan meja, tapi dicegah oleh Guna."Langsung aku minum aja." Guna meraih gelas tersebut. Sebelumnya ia sempat melirik tatapan tak suka yang dilayangkan Nayra padanya.Senyum tipis kemudian menyembul lagi dari bibir Guna. Bukannya langsung mengambil alih gelas berlengan dari Ida, pria tersebut justru membelai lembut tangan Ida.Nayra terkesiap. Ia tidak sedang berhalusinasi kan? Apa yang barusan dirinya lihat benar-benar di depan m
Aldo masih terpaku pada pesan dari nomor asing itu. Kernyitan halus tercetak jelas pada dahinya menggambarkan ia semakin penasaran dengan siapa yang mengiriminya pesan misterius tersebut. Apalagi, Aldo hanya memberikan nomor ponsel pribadinya kepada orang-orang tertentu selama ini. Jadi, tak sembarang orang dapat mengetahui nomornya.Aldo kemudian memutuskan untuk membuka salah satu aplikasi, lantas mengetikkan kombinasi nomor itu di sana. Kedua netranya lincah membaca nama-nama kontak yang ditulis oleh orang lain bagi nomor tersebut.“Nino Setya, Nino Toko, Nino Langganan, Karyawan Toko Makmur, Nino Lampung.” Aldo bergumam membaca satu per satu penamaan kontak pada nomor asing itu.“Siapa Nino?” Aldo mencoba berpikir. Tapi, semakin ia mencoba mengingat, ia yakin tidak pernah mengenal atau berhubungan dengan orang bernama Nino. Apalagi pria ini sepertinya berdomisili di Lampung. Aldo rasa ini adalah nomor lama yang tidak aktif, namun digunakan kembali.Selain itu, Aldo berpendapat bah