“Apa aku harus belajar masak?” gumam Cita sambil menatap telur yang baru dipecahnya di atas wajan anti lengket.Libur bulan madu mereka telah selesai dan sudah waktunya kembali pada kehidupan nyata. Mau tidak mau, kali ini Cita benar-benar menjalankan peran sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga pada umumnya. Tidak ada asisten rumah tangga ataupun sang mami yang menyiapkan sarapan seperti biasanya. Karena itulah, Cita agak terbebani dengan tugas barunya sebagai istri.“Kamu nggak bisa masak sama sekali?” Arya baru ingat, jika Cita selama ini hidup menempel pada Sandra.“Bisa, tuh.” Bibir bawah Cita mencebik ke arah wajan. “Aku bisa goreng telur, masak air, masak mi instan. Terus ... bikin makanan yang dimakan papa.”Arya menghampiri Cita sambil menghela samar. Ia mengambil alih spatula dari tangan sang istri, lalu membalik telurnya. Kalau hanya menggoreng telur, masak air dan mi instan, Arya juga bisa melakukannya.“Ahh ... makanan western ala-ala.” Sempat tinggal bersama keluarga
“Rumahnya nggak banyak berubah,” ujar Cita setelah melihat semua sudut rumah yang pernah ditempatinya dahulu kala.Banyak kenangan manis sekaligus pilu, ketika mengingat kondisinya pasca keluar dari rumah sakit. Lumpuh, terluka, tidak percaya diri, dan masih banyak hal lain yang tersimpan rapi di ingatan. Di antara semua luka itu, Cita juga masih mengingat banyak hal manis yang dilakukannya bersama Arya. Di masa-masa terpuruknya dahulu kala, pria itulah yang selalu berada di samping Cita dan tidak lelah menyemangatinya.Jika dipikir lagi, pada dasarnya Arya adalah pria yang baik. Bahkan terlalu baik. Mungkin karena itulah, Arya bisa berempati pada Almira sehingga sempat melupakan perannya sebagai seorang suami kala itu.“Memang nggak ada yang berubah,” ujar Arya memperjelas. “Cuma diisi perabotan kantor sama yang penting-penting. Sisanya masih sama untuk menghemat pengeluaran. Kalau furniture lama, yang nggak dipake di jual dan yang masih bisa dipake di taruh di atas.”Cita mendekat k
“Nggak selamanya, baik itu juga membawa hasil yang baik.” Cita masih saja mengingat perihal pembicaraan mereka pagi tadi dengan Almira. “Ih! Aku masih aja kesel kalau inget pagi tadi.”Sambil menyantap gimbab yang dipesan Cita, Arya hanya bisa mengangguk-angguk. Tidak berniat membahas kejadian tadi pagi, karena pasti akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Arya juga sudah berkali-kali mengaku salah dan tidak membela diri, karena sadar dengan perbuatannya dahulu kala.“Aak, Sayang,” ujar Arya menyodorkan satu potong gimbab ke mulut Cita dan langsung dilahap oleh gadis itu. “Barusan, aku minta bu Hana, sekretarisnya mas Qai ubah jadwal penerbangan.”“Apa dia ada ngubungin kamu lagi, Mas?” tanya Cita tidak mengacuhkan perkataan Arya. Sembari mengunyah, Cita tetap saja bicara karena hatinya masih tidak merasa tenang. “Almira?”“Tadi siang, aku sudah minta Ardi hubungi Almira untuk mengakhiri kontrak dan proses semuanya sampai selesai.” Meskipun masih ada rasa tidak tega, tetapi Arya h
“Sayang, kenapa kamu mau pindah ke Singapur?” selidik Arya mengikuti saran Gemi. Ia akan bicara baik-baik dengan Cita, agar dapat mengetahui alasan di balik ajakan sang istri kemarin malam. “Kamu tahu, kan, kita sekarang sudah jadi suami istri? Jadi, aku mau kita saling terbuka supaya nggak ada salah paham lagi ke depannya.”Cita tidak langsung merespons pertanyaan dan perkataan Arya. Ada hal yang sebenarnya ingin ia utarakan, tetapi Cita tidak bisa mengolah kata-katanya. Untuk satu hal ini, mungkin hanya Sandra yang bisa mengerti.“Sayang?” tegur Arya karena keterdiaman Cita.Arya bisa melihat segaris beban dari tatapan sang istri. Namun, Cita sepertinya enggan membagi hal tersebut padanya. Atau, mungkin Cita belum siap mengatakan alasan di balik keinginannya pindah ke Surabaya.“Nggak papa kalau kamu nggak bisa bicara sekarang, tapi—”“Aku pengen bebas,” putus Cita yang sejak tadi bersandar pada beanbag di depan televisi. Sementara Arya, masih duduk melantai di meja tamu sambil meman
“Tumben Papa di rumah pagi-pagi?” tanya Cita sembari menuruni tangga. “Nggak jalan-jalan?”“Off dulu,” jawab Harry mengalihkan pandangan dari berita yang ditontonnya di televisi. “Arya masih tidur?”Cita menggeleng dan berhenti di sudut tangga. Ia menoleh ke dapur sebentar dan melihat Sandra tengah berdiri di depan kompor. Ingin rasanya Cita menghampiri Harry, tetapi ia urungkan karena akan terasa canggung jika Sandra tidak ada di antara mereka. Selain itu, Cita juga tidak memiliki bahan yang harus diobrolkan sehingga ia masih terpaku di ujung tangga.“Mas Arya sibuk buat persiapan meeting sama pak Pras.”Harry mengangguk kecil sembari menepuk sisi kosong yang masih luas di sampingnya. “Duduk sini sebentar, temani Papa nonton berita.”“Em, nanti,” ucap Cita masih tidak melangkah ke mana pun. Bukannya tidak mau, tetapi Cita pasti merasa canggung jika harus berada bersama Harry tanpa Sandra. “Aku mau bikinin mas Arya susu sebentar.”“Sekalian buatkan Papa.” Harry tersenyum. Mencoba mengh
“Kita bicara sebentar.” Begitu melihat Arya berada di lobi hotel, Nando segera menghampiri dan menarik pria itu menuju lounge. Ia tahu hari ini Arya ada pertemuan dengan Pras, karena itulah Nando sejak tadi sudah menunggu pria itu di lobi hotel.“Mas, a—”“Meeting-mu sama pak Pras masih setengah jam lagi,” sela Nando tidak ingin mendengar protes dari Arya. Ia menariku kursi di salah satu meja, lalu mendudukkan Arya di sana. Sementar Nando sendiri, memilih duduk pada sofa yang berada di depan Arya. “Sekarang jelaskan, kenapa Leoni mendadak resign?”Arya ternganga karena dugaan yang sempat berputar di kepala ternyata salah. Ia mengira, Nando akan membahas masalah Cita, tetapi tidak. Nando justru mempertanyakan perihal Leoni yang sudah mengajukan surat pengunduran diri minggu lalu.“Kenapa nggak tanya langsung sama Leoni?” Arya mengangkat tangan. Memanggil pelayan untuk memesan minum.“Kalau aku tanya sama kamu, itu berarti dia nggak ngasih jawaban.”“Ya aku nggak tahu, Mas,” jawab Arya
“A-apa ini?” Arya ternganga melihat beberapa paper bag yang tergeletak di lantai kamar hotel. Dilihat dari nama yang tercetak di paper bag tersebut, semua barang yang di dalamnya pastilah mahal. Mungkin, nilainya hampir menghabiskan seluruh simpanan Arya di bank. “Ini semua, bukannya siang tadi kamu pergi sama enda Sinar?”“He’em,” gumam Cita dengan senyuman dan menghambur ke pelukan Arya yang baru pulang dari Sagara Citra. Satu kecupan ia jatuhkan pada bibir sang suami dan tetap mengangkat wajah menatap Arya. “Aku diajak shopping! Kami keliling Orchard Road tadi siang. Coba aja mami ikut, pasti tambah rame.”Arya menggaruk kepala dengan ekspresi bingung, syok, dan mungkin terlihat bodoh di depan Cita. Bukannya ingin perhitungan, tetapi Arya bukanlah seorang Nando yang sudah terlahir dengan sendok emas di tangan. Arya masih merintis perusahaannya setelah jatuh terpuruk karena kesalahan di masa lalu.“Terus, sebelum pulang kami mampir ke spa,” lanjut Cita masih dengan senyum yang teruki
Mendengar suara deritan pagar rumahnya bergeser, Cita bangkit dari tempat tidur dan menyingkap gorden kamarnya. Ketika melihat Arya tengah menarik kembali pagar dan menutupnya, Cita lantas keluar kamar dan membukakan pintu untuk sang suami.“Sorry telat,” ujar Arya sambil meringis ketika melihat Cita berdiri di bibir pintu. “Restoran Padangnya lumayan rame pas jam makan siang gini.”Bukannya meraih kantong kresek yang disodorkan Arya, Cita justru menghabiskan jarak lalu memeluk sang suami.“Itu, sih, ngotot pulang,” ujar Cita sambil memonyongkan bibir. “Padahal tadi aku sudah bilang, mas Arya makan di kantor aja daripada bolak balik.”“Itu karena ada yang mau aku omongin.” Arya mengecùp bibir Cita, lalu mengajak sang istri masuk ke dalam rumah. Mereka langsung menuju meja makan dan bersiap makan siang bersama.“Ada masalah di kantor?” tanya Cita segera mengambil dua buah piring, lalu meletakkannya di meja makan. Sambil mengeluarkan bungkus nasi padang dari kantong kresek, Cita mendeng