Maya izin untuk pulang lebih dulu karena tidak enak badan. Namun bukannya pulang, Maya malah mampir ke sebuah kafe indoor langganannya. Di sana dia dapat merasa tenang sambil mengingat kebahagiaan yang telah menjadi kenangan.
Wanita berusia 31 tahun itu terus berbicara sendiri sambil meminum kopi yang dipesannya. “Kaila, bulan ini Mama berhasil membuat 40 desain baju anak untuk pameran bulan depan. Mama melakukannya dengan tekad agar kamu bahagia dan bangga memiliki orang tua seperti Mama. Apa Mama berhasil, Nak?” ucapnya pada diri sendiri.
“Permisi?”
“Oh, Pak Hans? Ada apa, Pak?”
“Saya hanya kebetulan melihatmu di sini. Apa saya mengganggumu?”
“Tidak, saya sedang santai saja.”
“Boleh saya duduk di sini?”
Maya mengangguk sopan dan Hans duduk disampingnya. Sebenarnya Maya selalu canggung saat bertemu dengan pria itu. Wajar saja, belum lama Hans menyatakan perasaannya pada Maya. Semua karyawan di kantor tahu dan membuat Maya merasa tidak enak karena menolaknya.
“Pak Hans, saya minta maaf soal masalah itu. Saya tidak bicara pada siapa pun dan saya tidak tahu siapa yang menyebarkannya.”
“Tidak masalah. Saya baik-baik saja, kok.”
Mereka saling diam, ragu untuk memulai pemicaraan. Sampai akhirnya Hans yang mengalah. Mencoba bertanya mengenai hal yang sama. “Apa saya masih memiliki kesempatan?”
“Sebenarnya saya sangat penasaran, kenapa Pak Hans bisa jatuh cinta dengan saya?”
“Entahlah. Sejak awal bertemu, saya langsung jatuh cinta padamu.”
Maya spontan tertawa kecil setelah mendengar kalimat itu. “Sungguh?”
“Kenapa?”
“Saya semenarik itu untuk Pak Hans?”
Hans bingung dengan pertanyaan itu dan hanya bisa diam. Obrolan mereka berakhir setelah Maya menerima email dari kuasa hukum yang membantu mengurus perceraiannya. Hari itu, Maya sudah resmi berstatus janda setelah menjalani kehidupan rumah tangga selama 4 tahun.
“Pak Hans, saya harus pergi. Permisi,” ucap Maya yang langsung meninggalkan Hans sendirian di kafe yang masih sepi pengunjung tersebut.
Di Swiss baru saja memasuki awal musim semi. Biasanya Maya suka, namun tidak dengan hari itu. Dengan taxi dia pulang dan mengunci diri di kamar. Menangis sudah menjadi rutinitas yang tidak pernah ada bosannya.
“Kenapa harus aku yang menerima semua penderitaan ini?! Kalau alasannya karena hanya aku yang kuat, itu salah besar! Ini semua terlalu berat untuk aku lalui sendiri. Aku sungguh tidak kuat!”
Semua barang yang ada di kamarnya dilempar ke sembarang sudut. Pecahan kaca bersama beberapa bercak darah mengotori lantai. Suara jeritan Maya mungkin saja terdengar sampai ke luar. Itu semua terbukti karena Hans segera masuk saat mendengarnya, ditambah lagi pintu rumah itu juga tidak tertutup rapat.
“Bu Maya?” panggil Hans yang dengan langkah panjangnya mendekati ruangan di lantai atas. “Bu?”
***
Perban dengan rapi berhasil menutup luka akibat pecahan kaca. Maya masih diam melamun dan Hans beberapa saat menghargai wanita dihadapannya untuk tenang lebih dulu. Segelas teh hangat yang sudah dingin akhirnya diminum Maya.
“Maaf saya masuk tanpa izin.”
“Ada apa Pak Hans datang ke sini?” tanya Maya dengan suaranya yang serak.
“Saya ingin memberikan ini.” Sebuah kotak berisi buku jurnal berwarna coklat kesukaan Maya beserta beberapa pulpen di dalamnya. “Kamu bisa mencatat perasaan dan pemikiranmu di sini. Terkadang, menuliskan apa yang ada di hati dapat membantu meringankan beban."
Maya tersenyum haru, menggenggam buku jurnal itu dengan lembut. "Terima kasih, Pak Hans.”
Hans tersenyum, "Jangan segan jika butuh bantuan. Saya akan selalu ada jika kamu ingin berbicara atau butuh dukungan."
"Terima kasih.”
Hans duduk di dekat Maya, memberikan ruang bagi keheningan sejenak. Kemudian, dia berkata, "Bagaimana kalau kita coba melakukan sesuatu yang bisa mengubah suasana seperti menonton film atau melakukan aktivitas yang bisa membuat kamu tenang?”
“Boleh saja.”
“Kapan kamu punya waktu luang?”
“Bagaimana kalau besok setelah pulang kerja?”
“Baiklah.”
Wajah Maya menampilkan kalau pikirannya sedang sangat kacau. Hans berusaha mengubah suasana dengan menawarkan sesuatu. “Mau saya buatkan makanan? Mungkin saja kamu lapar?"
“Tidak perlu, terima kasih.”
“Bagaimana kalau donat?” Pernyataan itu membuat Maya menatap Hans dengan antusias. “Sangat mudah membuatnya.”
“Donat?”
“Jika ada bahan-bahannya, saya akan buatkan sekarang.”
Maya menunjukkan bahan-bahan makanan yang tersimpan rapi disebuah laci. Dengan cepat Hans membuatnya, terlihat seperti sudah biasa. Pandangan Maya tidak lepas dari pria yang sedang membuat adonan sembari bercerita.
“Tunggu beberapa menit dulu sampai adonannya mengembang.” Hans mencuci tangannya dan kembali duduk dihadapan Maya. “Saya sangat suka donat. Jadi, saya belajar membuatnya sejak SMA.”
“Saya berusaha untuk tidak memakannya walau saya suka.”
“Kenapa?”
“Almarhumah anak saya sangat menyukai donat. Saya tidak sanggup memakannya karena selalu teringat dengannya.”
***
Jas abu-abu yang berpadu dengan kemeja hitam dan celana jeans seperti memperlihatkan suasana hatinya hari itu. Hans memang sudah berusaha menemani dan menghiburnya. Namun Maya bukanlah anak kecil. Dia masih tetap bersedih dan berusaha menutupinya.
Sebagai ketua tim dari 5 desainer mud di perusahaan tersebut mengharuskan Maya untuk tetap fokus bekerja karena menjadi andalan anggotanya. Namun hari itu, Maya datang hanya untuk memberikan surat pengunduran dirinya.
Dia mendatangi ruangan Hans selaku manager di perusahaan tersebut. “Saya ingin menyampaikan ini, Pak.” Surat yang telah disiapkan jauh-jauh hari akhirnya mendarat di meja kerja sang manager. “Saya harap, keputusan saya ini bisa diterima dengan baik.”
Hans membacanya dengan perasaan terkejut. “Saya bisa berikan kamu waktu libur yang panjang kalau kamu mau? Kamu tidak harus mengundurkan diri seperti ini.”
“Ini sudah menjadi keputusan saya, Pak.”
“Saya pikir, kemarin adalah langkah awal untuk bisa lebih dekat denganmu.”
“Untuk kesekian kalinya saya minta maaf karena tidak bisa membalasnya.”
“Jadi, sudah tidak ada kesempatan lagi untuk saya?”
Tidak tahu harus menjawab apa. Maya hanya diam menunduk dengan sopan. “Saya tidak bermaksud menolak. Hanya saja ….”
“Baiklah. Tapi, bisakah kamu tidak membatalkan rencana kita kemarin?”
Setelah berpamitan secara mendadak oleh para karyawan, Maya dan Hans pergi bersama tanpa ragu. Lagi pula, semua karyawan sudah tahu kalau Hans sangat menyukai Maya. Mereka pergi ke sebuah bioskop. Menonton film komedi yang berhasil menampilkan tawa dibibir Maya.
“Cantik,” ucap Hans sambil melihat Maya.
“Maaf?” tanya Maya yang mendengar ucapan Hans, namun tidak jelas.
“Oh, tidak ada.”
Tempat selanjutnya yang mereka kunjungi adalah Danau Jenewa. Hans membawa Maya menyusuri danau nan indah itu dengan kapal pesiar. Terlihat kalau Maya bahagia dan menikmatinya dengan tenang.
“Bagaimana? Kamu bisa lebih tenang sekarang?”
“Terima kasih, Pak Hans.”
“Ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi lagi?”
“3 jam lagi waktu keberangkatan saya ke Indonesia.”
“Apa?” Hans kembali terkejut. Lebih terkejut dari saat menerima surat pengunduran diri Maya sebelumnya.
“Saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Saya tidak bisa selamanya bersembunyi di sini.” Maya menatap Hans dengan tulus untuk pertama kalinya. “Terima kasih atas semuanya, termasuk waktu, usaha, dan cintanya. Saya sangat menghargainya.”
Dengan berani Hans meraih tangan Maya. Untuk pertama kalinya dia genggam erat tangan mulus tersebut. “Saya benar-benar mencintaimu. Apa yang harus saya lakukan agar kamu bisa mencintai saya?”
“Saya tidak ingin memberikan harapan. Jadi, jangan menunggu saya. Biar waktu yang menjawab semuanya.”
“Kamu benar-benar akan pergi?”
“Iya, saya harus pergi sekarang. Terima kasih atas semuanya, Pak Hans.” Maya sedikit membungkuk dengan sopan. “Sampai jumpa di lain waktu.”
Sama sekali tidak ada niat untuk menjual rumah tersebut. Rumah yang baru ditempati selama 4 tahun itu menyimpan banyak sekali kenangan yang selalu mengingatkannya pada kesedihan mendalam. Kamar sang anak yang sudah dirancang dengan baik, hanya ditempati beberapa tahun saja. Meninggalkan banyak mainan, baju, dan foto yang kembali membuat air matanya mengalir deras.“Nak, Mama pulang. Maaf sudah membuatmu menunggu lama.” Maya membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan seprai bermotif bunga sakura tersebut. “Tidak perlu cemas. Mama tidak akan melupakanmu. Tidak akan pernah bisa.”Seorang ibu yang selama 2 tahun hidup penuh kekhawatiran karena anaknya tinggal jauh di Swiss dengan membawa luka yang teramat, akhirnya bisa merasakan lega dihatinya. Namun, tidak menyangka kalau anak semata wayangnya itu pulang dengan masih larut dalam kesedihan. Tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya dia selama di Swiss, hidup sendiri dan menyimpan lukanya sendiri."Maya, makan dulu, yuk?""Maaf sudah mem
“Jadi, Pak Hans mengambil semua sisa cuti untuk pulang ke Indonesia?”“Iya. Saya masih mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu,” jawab Hans sambil merapikan pakaiannya dari dalam koper.“Mengundurkan diri? Kenapa?”“Kamu ingin tahu?”“Oh, tidak juga.” Cuek sebenarnya bukan sifat aslinya. Dulu, Maya adalah wanita yang periang dan murah senyum. Semenjak anaknya meninggal, dia merasa sangat terpukul dan mulai menutup diri.“Ingin makan sesuatu? Kita belum sarapan, ‘kan?”Mata Maya melihat kearah dapur yang kosong melompong. “Sepertinya tidak ada apa-apa di dapur?”Hans mencoba memahami maksud Maya. “Maksudku apakah kamu mau saya pesankan makanan?”Maya sedikit tersentak dengan tawaran tersebut, menyadari kalau dia kurang fokus. “B-boleh.”“Apa yang kamu inginkan?”“Hmm, saya ingin sarapan yang sederhana saja. Mungkin seperti croissant dengan secangkir kopi? Bagaimana?”Hans tersenyum ramah, "Baiklah, saya akan memesannya."Dia segera mengambil ponsel dan mulai memesa
"Reza?""Apa aku membuatmu terkejut?""O-oh, t-tidak.""Ada apa? Apa terjadi sesuatu?""T-tidak." Maya membuka pintu rumahnya. "Ayo, silahkan masuk. Lisa sedang membuat makan malam."Dengan langkah panjangnya, Reza masuk dan langsung menemui Lisa di dapur. "Kamu menangis? Ada apa?" tanya Reza pada kekasihnya itu."Kamu benar akan pergi sekarang?""Iya. Ini perintah dari Aidan.""Tidak bisakah kamu beri aku kepastian kapan akan kembali?""Aku sendiri tidak tahu. Tapi, aku janji akan selalu menghubungimu."Melihat betapa lembutnya sikap Reza terhadap Lisa, membuat Maya teringat kenangan masa lalunya. Dia kembali masuk ke kamar sang anak lalu melamunkan hal yang selalu membuatnya menangis."Dulu, sikap Aidan yang lembut dan tulus sangat membuatku yakin kalau kita akan terus bersama. Namun nyatanya, kita berakhir seperti ini."Pintu kamar terbuka lebar, Reza bicara empat mata pada mantan istri dari atasannya tersebut. "Kamu tidak menginginkannya?""Entahlah. Aku hanya mengikuti kata hati.
Karena hujannya terlalu deras, Maya tidak dapat melihat apa-apa di luar. Hans baru terlihat saat sudah sampai di gerbang rumah. Maya mendekatinya, tidak peduli seluruh tubuhnya yang akan basah kuyup. Dia dengan cepat membantu pria berusia 27 tahun itu untuk masuk ke dalam rumah yang berantakan karena pecahan kaca.Dengan kakinya yang tanpa alas, Hans menyingkirkan pecahan kaca itu agar Maya tidak menginjaknya. “Hati-hati kakimu.”"Lisa, tolong bawakan air hangat dan handuk kecil. Aku akan mengambil kotak obat," perintah Maya dengan tubuh sedikit menggigil.Setelah mengambilnya, Lisa langsung membersihkan darah dari lengan Hans. "Maaf, ya?"Maya menemukan yang dia cari. Terlebih dahulu dia lihat tanggal kadaluarsa obat tersebut. Saat dirasa aman, Maya membersihkan luka gores itu dengan alkohol kemudian diteteskan obat merah.Lukanya lumayan panjang dan dalam. Namun Maya tidak mendapati Hans meringis kesakitan. "Tidak sakit?""Tentu saja sakit.""Kamu terlihat baik-baik saja?""Hanya ti
Berusaha untuk tidak sedih, namun hatinya terasa sesak setiap kali datang ke kafe itu. Sudah tahu begitu, Maya tetap saja mampir ke sana setiap harinya walau hanya sekedar minum kopi. Berkat Hans, dia bisa kembali memakan donat yang sudah lama tidak berani dilakukannya.Aidan. Tiba-tiba pria itu terlintas dipikirannya. Ketika ingat dengan sang anak, Maya juga jadi teringat dengan Aidan. Dia membuka ponselnya, mencari room chat milik Aidan yang kosong. Padahal, Maya selalu menyimpan riwayat chatnya dengan Aidan sejak mereka pacaran. Namun setelah bercerai, semuanya sengaja dia hapus. Meninggalkan penyesalan yang terus mengganggu hatinya.“Bagaimana, ya? Apa aku cari pekerjaan di tempat lain saja?”Awalnya, Maya yakin dia akan diterima si perusahaan itu. Keberadaan Rachel sebagai manager di sana membuat Maya berpikir untuk mundur sebelum nantinya bergabung.Sebuah pesan masuk dari Hans tidak pernah langsung dibuka. Setelah beberapa menit, Maya baru membukanya. “Jalan-jalan?” ucap Maya s
“Sudah kubilang, ini hanya luka biasa.”“Setidaknya aku mendengarnya langsung dari dokter.”Tentang luka di lengan Hans, dokter mengatakan kalau luka itu tidak perlu di jahit. Itu masih termasuk luka sayatan yang dangkal dan bisa ditangani sendiri. Sepulangnya dari rumah sakit, Hans kembali mengingatkan Maya perihal jalan-jalan.“Jadi, kita mau ke mana sekarang?”“Aku akan mengantarmu pulang.”“Bagaimana kalau kita jalan-jalan?”“Oh, iya, kamu sudah melapor ke polisi?” tanya Maya mengingatkan.Hans menelan ludah, mencoba untuk menjaga ketenangan wajahnya saat dia menjawab, "Ah, tentang itu ... aku sudah melaporkannya."Maya mengerutkan kening, terlihat tidak yakin. "Benarkah?”Hans berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. "Tentu saja. Itu masalah serius. Mana mungkin aku diam saja? Jangan terlalu khawatir. Semua sudah aku urus."Maya mengangguk ragu. "Baiklah. Terima kasih, ya, Hans?"Hans merasa lega karena Maya terlihat percaya. Namun, i dalam hatinya dia tahu
Jakarta Aquarium Safari adalah salah satu destinasi wisata yang menawarkan pengalaman menyelam ke dalam dunia bawah laut tanpa harus benar-benar pergi ke laut. “Seminggu sebelum meninggal, anakku memintaku untuk mengajaknya ke sini. Ini pertama kalinya aku datang, tapi bukan bersama dia.” "Aku yakin dia akan senang melihatmu menikmati tempat ini.” Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya, “Dia pasti akan senang melihat semua ikan ini,” ucap Maya yang berdiri di depan akuarium raksasa dengan mata terpaku pada gerombolan ikan yang berenang dengan indah di dalamnya. Dengan lembut, Hans menyentuh pundak Maya. “Aku di sini bersamamu, meski tidak bisa menggantikan kehadiran anakmu." “Ayahnya …,” Maya diam sejenak untuk menyaring ucapannya. “ayahnya anakku juga berjanji untuk mengajak kami ke sini.” Merasa kalau Maya jadi sedih karena teringat dengan masa lalunya, Hans menawarkan sesuatu. “Kalau begitu, apa kamu ingin kita pergi ke tempat lain saja?” “Tidak perlu, Hans. Aku senang be
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Mulutnya terasa kaku, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun meskipun banyak yang ingin diungkapkan. Aidan pun terdiam, menanti jawaban mantan istrinya dengan tidak yakin.Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Maya menjawab dengan suara yang tenang. "Aidan, kita sudah tidak berhubungan selama dua tahun dan beberapa hari lalu sudah resmi pisah secara negara. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Aku pikir tidak semudah itu untuk kembali seperti dulu."Aidan merasa dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu. "Aku mengerti, May. Aku hanya merindukanmu dan ingin tahu apakah masih ada kesempatan untuk kita memperbaikinya."“Kita bercerai memang bukan karena tidak saling mencintai lagi, tapi karena ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan bersama. Dan sejak itu, kita telah menjalani kehidupan masing-masing.”“Jadi maksudmu, kamu masih mencintaiku?”Maya menghela napas dan melanjutkan ucapannya karena tidak mendengar res