Taksi sudah membawa Arumi berada di depan gedung Manajemen Stone. Di depan lobi yang di penuhi lalu lalang pegawai dan juga para wartawan yang masih menunggu kedatangan Dava, tatapan mereka kini teralih pada kaki jenjang yang baru saja mengeluarkan sebelah kakinya dari taksi.
Sebagian lelaki di sana menatap dengan bola mata yang hampir keluar, bahkan rahang mereka hampir terjatuh karena mengaga terlalu lebar saat mengetahui ada gadis cantik dan seksi keluar dari taksi. “Aku baru tahu, ada manusia secantik bidadari di dunia ini,” guman pegawai pria yang tak sadar sudah memegang botol minumannya dengan tangan gemetar, jantungnya berdegup sangat cepat. Wartawan bahkan mengarahkan lensa kamera pada Arumi seolah ia adalah artis terkenal. “Bisakah aku bertemu dengan seseorang yang bertanggung jawab pada rekrutmen artis baru di sini?” tanya Arumi saat ia sampai di meja resepsionis. “Maaf, kami sedang tidak mengaArumi mengakhiri lagunya dengan sempurna, Romi kini menelan ludah beberapa kali. Ia bahkan tak sadar sudah bertepuk tangan tanpa suara untuk gadis yang sempat ia remehkan. Dava dan Arumi tak berhenti saling beradu pandang, padahal di dalam otak mereka ada hal berbeda yang saling bertolak belakang.‘Menemukanmu adalah jackpot terbesar dalam hidupku selama ini,’ batin Dava. Ia semakin terpesona dengan kecantikan dan bakat yang dimiliki oleh Arumi.‘Balas dendam baru saja dimulai,” batin Arumi ‘dulu kamu bahkan tidak melirikku sebagai seorang wanita, tapi sekarang kamu bahkan tidak berkedip saat melihatku.“Bagaimana? Dia luar biasa bukan?” tanya Dava pada Romi.Romi yang kini berkeringat dingin di jemarinya tak bisa menampik mengenai bakat Arumi sekarang. Dia akan menjadi pendatang baru spektakuler, mereka bahkan tak perlu mencarinya dengan susah payah. Gadis itu datang sendiri dengan kedua kakinya ke Manajemen Stone di antara puluhan manajemen arti
“Maaf!” Farah mengatakan itu dengan menekan giginya. Ia segera berlalu begitu saja.Semua orang bertepuk tangan, Arumi kini di puji bak pahlawan dengan baju zirah hitam yang seksi. Tak ada yang tahu bahwa ia sedang membela dirinya sendiri saat dulu, jauh sebelum ia menjadi cantik seperti sekarang. Ia pernah menjadi gadis gendut yang tak bisa membela dirinya sendiri di depan banyak orang.“Kamu hebat sekali!” puji Dava saat menghampiri Arumi.Gadis itu masih diam, tak ada yang bisa membaca gejolak di dalam dirinya. Ia tengah berjuang melawan kilatan masa lalu memalukan bahkan sayatan-sayatan perih di meja operasi untuk membuat ia si gendut yang jelek menjadi secantik sekarang. Arumi memucat dan suhu di tubuhnya turun drastis.“Apa kamu sakit?” tanya Dava melihat wajah Arumi pucat pasi. Gadis itu masih diam dengan tubuh yang gemetaran. Dava menyentuh jemari Arumi yang terasa sedingin balok es. Ia segera melepas jas casual yang ia miliki dan mengalun
Dava mengkhawatirkan Arka, ia segera memacu mobilnya menuju apartemen Arka sore ini setelah bergulat dengan ketakutan pada dirinya sendiri. Bagaimanapun ia harus meminta maaf pada Arka cepat atau lambat karena membocorkan hal yang harusnya di sampaikan oleh Arka sendiri pada Gavin. Di depan pintu apartemen Arka, Dava berdiri mondar-mandir sambil menggigit ujung ibu jarinya. Entah berapa kali ia berusaha menekan bel di pintu itu tapi selalu ia urungkan, ia bukan tak tahu kode pintu Arka hanya saja ia cukup tahu diri bahwa masuk seperti itu tidak etis lagi untuk dirinya yang sudah membuat kesalahan.‘Apa yang kau takutkan Dava, dia bukan seekor Singa yang bisa menerkammu,’ yakin Dava pada dirinya sendiri.Setelah menarik nafas panjang ia memberanikan diri menekan bel pintu Arka.Ting tung...!Suara bel menggema di telinga Arka yang tengah berdiri menatap luar jendela di apartemen. Ia berjalan perlahan menuju pintu, wajahnya tampak penu
Arka tiba-tiba berdiri dari duduknya, ia segera menuju lemari pakaian untuk berganti kemeja dan celana hitam sebelum menuju rumah duka. Ia tak sadar Dava juga berada di belakangnya sedang menyapu pandangan ke arah jajaran kemeja Arka yang tergantung rapi.“Aku pinjam kemeja hitam!” kata Dava mengagetkan Arka hingga membuatnya ter jingkat.“Astaga! Mengagetkan saja!” keluh Arka sambil memegangi dadanya.“Untuk apa kamu pinjam kemeja hitam?” tanya Arka.“Aku ikut!”Arka menarik nafas panjang, “Jangan buat masalah jika kamu ikut,” ancam Arka.Dava meringis dengan mata yang berbinar, “Tidak, aku hanya akan berdiri diam seperti bodyguardmu.”“Pakai ini, kedatanganmu bisa membuat kegaduhan,” kata Arka sambil menyodorkan kaca mata hitam.Mereka segera menuju rumah duka, sudah banyak pelayat yang mendatangi rumah duka. Saat Arka mulai masuk, ia mendapati ibunya sedang duduk di sebelah peti mati ayah tirinya. Mata ibunya semba
Dava mengemudi mobil Arka secepat kilat hingga hampir seperti terbang, ia berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan ibu sahabatnya yang tak henti mengalirkan darah segar dari kepalanya. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia melihat wajah pucat pasi Arka, air mata mengucur dari mata coklat indahnya. Ia masih ingat betapa dulu ia sangat tidak suka membahas tentang ibunya seolah wanita itu sudah tidak ada di dunia. Tapi hari ini wajah itu berkata lain, kekhawatiran dan rasa sayang masih jelas terpancar di sana.“Cepatlah, kumohon!” pinta Arka.“Aku bahkan hampir menerbangkan mobil ini, tak bisakah kau melihat seberapa cepat mobil ini sekarang?” keluh Dava. Hanya ia yang tahu betapa tubuhnya gemetar sambil mengemudi. Ia bahkan tak bisa menyeka keringat dingin yang mengucur dari keningnya.Mobil mereka tepat berhenti di depan rumah sakit, Arka tak menunggu tenaga medis untuk datang menyusul dengan ranjang medisnya. Ia tetap menggendo
Hari masih pagi saat peti mati ibu Arka sudah hampir sampai di dasar Liang Lahat. Tak banyak pelayat yang datang ke pemakaman, hanya rekan kerja terdekat Arka dan adik dari Ibu Arka.Mata Arka menyapu ke setiap orang yang datang, ia masih belum menemukan dua orang penting yang seharusnya datang menemaninya. Kini perasaan sedih dan kecewa berkumpul jadi satu di hatinya. Dava yang menyadari tatapan Arka yang seolah mencari keberadaan Gavin dan Ara hanya bisa menarik nafas panjang sambil menguatkan Arka dengan menepuk bahunya.30 menit yang lalu.“Cepat ganti pakaianmu, aku menunggu di bawah!” titah Gavin setelah membuka dari luar kunci kamar Ara.“Aku sudah siap dari semalam,” jawab Ara segera keluar dari kamarnya. Kemarin malam begitu ia mendengar berita meninggalnya Ibu Arka ia sudah bersiap dengan mengenakan baju hitam. Ia berharap kakaknya akan melunak dan membuka pintu kamarnya untuk pergi menemui Arka. Ia bahkan tidak tidur dan terus berharap
Gerbang besar berwarna hitam mulai terbuka begitu mobil Gavin tiba, mobil itu segera berhenti tepat di depan. Ada dua pengawal yang menghampiri mobil Gavin begitu datang, mereka adalah pengawal yang mulai sekarang bertugas menjaga adiknya. Sedari tadi Ara dan Gavin tidak terlibat pembicaraan sepatah kata pun. Ada kebencian di wajah Ara pada kakaknya, hingga membuat ia enggan mengeluarkan sepatah kata pun sejak ia dipaksa pulang saat di pemakaman ibu Arka.“Turunlah! Aku harus pergi ke tempat lain,” pinta Gavin pada Ara begitu sampai di depan rumah.“Aku kembalikan ponselmu, tapi jika kamu berusaha menghubungi Arka atau bahkan menemui dirinya. Sejak saat itu aku tak akan menganggapmu sebagai adikku lagi,”Duar!Perkataan Gavin bukan lagi terdengar sebagai ancaman, tapi tembakan timah panas yang tepat mengenai jantung Ara. Perkataan itu dikatakan oleh Gavin dengan wajah yang tegas, tak ada keraguan sedikit pun dari ancaman
Gavin sudah sampai di depan pintu gerbang rumah mewah Keanu, ia membuat keributan karena penjaga tak mengizinkan ia untuk masuk. Kepalan tangan Gavin berkali-kali menggedor pintu dan menimbulkan keributan.“Siapa yang membuat keributan di luar?” tanya Sivana pada sambungan telepon yang tertuju dengan pos satpam.“Gavin nyonya, lelaki yang tidak di izinkan masuk oleh Tuan Keanu.”“Buka pintunya, aku yang akan menemui dirinya!”Satpam segera membuka pintu gerbang secara otomatis melalui tombol yang terhubung di pos jaga. Gavin kembali ke mobilnya dan perlahan memasuki halaman luas rumah Sivana. Ia berhenti tepat di mana Sivana tengah berdiri di depan teras rumahnya.“Kenapa kamu membuat keributan?” tanya Sivana.“Apakah Nayara berada di sini?”Sivana terkesiap, ia mengerutkan alisnya karena merasa bingung dengan pertanyaan Gavin.“Apa kamu