Kaira duduk di balkon rumahnya sambil menggenggam sebuah bola karet dan terkadang membuka tangannya. Wanita itu sedang melakukan terapi untuk bisa menggerakkan jari-jari tangan kirinya.Terkadang, ia harus meringis menahan sakit ketika otot pergelangan tangan dan jari-jarinya bergerak. Namun, Kaira terus berusaha melakukannya meski sulit. Napas wanita itu pun kadang tersengal ketika harus menahan kesakitan tersebut.Kaivan datang membawa segelas jus stroberi kesukaan Kaira dan kukis. Menaruh kudapan tersebut di meja samping sang istri. Kemudian, duduk disebelah Kaira. Pria tampan bermata elang itu mengambil handuk kecil di meja dan mengelap kening Kaira tang berkeringat perlahan."Sayang, istirahat dulu, ya. Kau sudah cukup lelah," ucap Kaivan lembut sambil meraih tubuh Kaira dan menghadapkan ke arahnya."Aku belum lelah," tolak Kaira sambil melirik ke arah tangan kirinya."Aku tahu, kau wanita yang kuat dan pantang menyerah. Tanganmu sudah banyak perubahan dan aku senang melihatnya.
Kaivan tampak kesal. Wajahnya memerah menahan amarah. Kedua tangannya mengepal dan meninju meja. Kedua matanya nyalang menatap ke arah dinding. Ferdinan yang berada di hadapan Kaivan tidak berani berkata-kata, ia paham betul bagaimana pria yang di hadapinya jika tengah marah. Bisa-bisa menjadi bahan amukan. Diam lebih baik dan aman menurut Ferdinan."Bagaimana mungkin ini terjadi? Aku benar-benar tidak habis pikir."Kaivan berkata geram sambil duduk dan meremas rambutnya. Dadanya sesak menahan amarah yang terbendung. Ferdinan melirik ke arah Kaivan tanpa suara. Meski pun mereka bersahabat. Namun, jika pria tampan itu sudah marah, sebaiknya di diamkan saja dahulu sampai mereda."Fer, apa semua yang kau dengar itu benar adanya?" tanya Kaivan sambil menatap tajam ke arah Ferdinan dan curiga.Ya, Kaivan emosi setelah mendengar perkataan Ferdinan tentang Tasya. Pasalnya, gadis itu meminta perlindungan maminya agar Kaivan tidak mempersalahkan kasus Kaira yang telah ia celakai beberapa waktu
Harun terus membujuk Kaira agar mau memaafkannya. Sebab, ia tidak terbiasa bertengkar selama ini dengan sang adik. "Apa kau ingin aku meminta maaf kepadamu di depan mereka? Supaya kau mau memaafkan ku? Jika itu yang kau inginkan, akan aku lakukan. Sekarang, ikut aku ke rumah sakit dan aku akan meminta maaf padamu di hadapan mereka."Harun geram karena Adzkia tidak juga memaafkan dan masih merajuk padanya. Pria berparas manis itu berdiri dan meraih sebelah tangan Kaira, hendak membawanya ke rumah sakit untuk meminta maaf.Kaira mendelik. Berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Harun. Namun, tenaga lelaki itu terlalu kuat dan sulit bagi Kaira untuk memberontak."Tidak perlu. Lepaskan aku, Kak. Sakit tahu," ucap Kaira kesal."Tidak mau, sebelum kau ....""Oke, aku maafkan Kakak. Namun, tolong lepaskan dulu tanganku.""Baiklah."Harun pun melepaskan tangan Kaira. Wanita itu memegangi tangannya yang tampak merah. Harun khawatir dan kembali merasa bersalah."Maaf. Kau sih keras kepala
Tasya terlihat mondar-mandir di ruang tamu, sembari jari telunjuk ia ketukan pada dagu. Tampak wanita seksi itu sedang memikirkan sesuatu. Kedua matanya nyalang menahan amarah."Aku harus buat perhitungan. Lihat saja, aku akan membuat hidupmu lebih menderita, Kaira. Itu adalah hukuman yang harus kamu terima karena merebut Kaivan dariku," ucap Tasya dengan tatapan menyeringai.Wanita seksi itu melangkah keluar rumah. Sepertinya, ia hendak keluar menemui seseorang. Tasya melajukan mobilnya cukup kencang. Terlihat tergesa-gesa sekali.Empat puluh lima menit kemudian, Tasya tiba di sebuah rumah tua yang bangunannya sudah tampak rapuh. Namun, cukup baik untuk di gunakan sebagai tempat persembunyian.Tasya tampak bersama beberapa orang lelaki. Postur tubuhnya cukup tinggi dan menyeramkan. Wanita itu memperhatikan mereka satu per satu."Aku ada kerjaan untuk kalian," ucap Tasya dengan wajah serius."Apa? Apa bayarannya besar?" ucap salah seorang dari mereka yang bertubuh gembul."Kalian tena
Kaira berjalan sambil menangis di tengah rinai hujan yang turun cukup deras. Wanita itu menyeret dengan malas koper, mengangklek tas berukuran sedang di pundak kirinya. Tangis Kaira semakin menjadi kala ia harus kembali teringat peristiwa beberapa waktu lalu. Perempuan berambut hitam sepinggang dengan tinggi semampai tersebut di usir keluarganya dari rumah karena perbuatan yang tidak sengaja dan bukan kehendaknya terjadi."Pergi kau dari sini! Rumah ini tidak pantas di huni perempuan hina sepertimu!" usir wanita setengah baya yang berdiri di hadapan Kaira dengan lantang dan tatapan menyeringai."Jangan usir aku dari rumah. Aku mohon. Papa, Mama, Kak Karin, dan Kak Kevin," mohon Kaira dengan mengiba sambil bersimpuh di kaki sang kakak perempuannya."Jangan tunjukkan wajah sok polosmu di hadapan kami! Kau telah mencoreng nama baik keluarga ini dengan perbuatan kotor dan hinamu! Kami tidak ingin menanggung aibmu!" ucap Karin semakin menunjukkan amarahnya, dengan suara yang lantang."Seba
Kaira bersama gadis itu menoleh ke arah pintu dan langsung mendekatinya. Empat orang pria tampak mendorong sebuah brankar dan menerobos masuk ruangan IGD."Suster, dokter! Tolong bantu kami! Ada korban kecelakaan," seru salah seorang dari mereka.""Apa yang terjadi?" tanya Kaira sambil mengambil stetoskop dari saku jasnya."Pasien mengalami luka memar pada kening. Patah pada tangan dan kaki kiri. Pendarahan pada tangan Kiri. Paha kanan sobek cukup dalam," jelas salah seorang dari petugas paramedis yang membawa orang itu ke rumah sakit.Sekujur tubuh orang itu berlumur darah hingga sulit di kenali. Kondisinya sangat memprihatinkan sekali.Berapa suhu dan tekanan darahnya? Sudah menghubungi keluarganya?" tanya Kaira kembali sambil memeriksa denyut nadinya."Mereka masih di jalan. Suhu tubuhnya tiga puluh tujuh derajat. Tekanan darahnya tujuh puluh per seratus."Pindahkan ke ruang pemeriksaan itensif. siapkan larutan Nacl 0,9 persen infus 500 mili liter. Kasa, obat merah, dan alkohol," pi
Pasien tak kunjung sadarkan diri pasca melakukan operasi kemarin karena kecelakaan. Ferdinan, pria yang menunggu orang itu sejak kemarin, masih setia melihat perkembangannya dari balik jendela ruang ICU.Pria tinggi berkulit hitam manis itu menatap iba ke arah pasien yang di tubuhnya terdapat kabel listrik yang mengarah ke monitor perekam detak jantung. Kedua lubang hidungnya terdapat selang oksigen untuk membantu pernapasan. Kaki dan tangan kiri orang itu terbalut perban. tangan kanan terbalut selang infus dan paha kanan yang dijahit. Tidak terbayangkan, begitu parah luka yang di derita pasien tersebut. Rasanya, ingin sekali Ferdinan menangis tersedu-sedu melihat kondisi orang itu."Kenapa separah ini? Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa orang yang begitu teliti dan selalu berhati-hati saat berkendara sepertimu bisa luka seperti ini?" tanya Ferdinan dengan raut wajah sedih."Ferdinan memalingkan wajah. Tak mampu melihatnya. Namun, kedua bola matanya membulat sempurna saat mel
Seorang wanita tua duduk di kursi roda sambil menatap ke arah jendela kamarnya. Memandangi langit cerah di pagi hari. Wajahnya tampak terlihat begitu sedih. Perempuan muda bersama lelaki setengah baya datang menghampirinya.Netra mereka menatap dalam ke arah wanita tua tersebut. M elangkah pelan mendekati sang wanita yang tengah menatap langit itu.Perempuan muda itu berjongkok di samping wanita tua di sebelahnya. Menggenggam tangan yang sudah mulai keriput karena termakan usia tersebut."Ma, kenapa melamun di kamar? Mama juga belum sarapan, bukan?" tanya perempuan muda bernama Karin tersebut.Kayana, nama wanita tua itu. Menoleh ke arah Karin dan menatapnya datar. Kedua matanya berkaca menahan tangis. Kayana menghela napas dalam."Apa kau sudah menemukannya?" tanya wanita tua itu lirih.Karin menggeleng. "Belum, Ma. Aku, Kak Kevin, dan Mas Erlan sudah berusaha mencarinya. Namun, kami belum berhasil menemukannya. Papa juga sudah berusaha mencari. Akan tetapi, hasilnya masih nihil," je