Share

Bab 4

Besok hari.

Amira mengerjap. Ia pingsan setelah kegiatan panasnya bersama Aidan berlanjut lebih panas, hingga memakan waktu hampir dua jam.

Ia terisak mengingat kembali perlakuan kasar Aidan saat mereka berhubungan intim.

Pria itu melakukannya dengan tidak berperasaan. Amira sudah beberapa kali meminta berhenti tapi pria itu seolah tuli.

Amira mengira hidupnya akan lebih baik, karena tidak perlu melayani laki-laki berbeda setiap harinya. Belum lagi, Aidan memberikannya sejumlah fasilitas yang lebih dari cukup.

Tapi, nyatanya apa? Hidupnya lebih sengsara dari sebelumnya. Laki-laki bernama, Aidan Salvador itu seperti iblis dari neraka.

Amira menggunakan sisa tenaganya untuk membersihkan diri. Siang ini, ia ada mata kuliah maka ia perlu bersiap-siap.

Beberapa waktu kemudian ia melaju ke kampus menggunakan motor matic yang terparkir di garasi tempat ia tinggal.

"Amira!" Dua orang wanita mendekati gadis itu. Mereka adalah teman dekat Amira di kampus.

"Elsa, Calista." Sebut Amira seraya menanggalkan helm yang ia gunakan.

"Kamu beli motor baru?" Celetuk Elsa sambil memperhatikan kendaraan roda dua yang ditumpangi Amira.

Amira bingung harus menjawab apa. Motor itu disediakan untuk ia gunakan, tapi tidak pernah sekalipun Amira menganggap itu miliknya.

"Tidak, ini motor punya tetangga, aku disuruh menggunakannya karena berhubung motor ini tidak dipakai."

Elsa mengangguk paham.

Mereka kemudian berteduh di sebuah pohon rimbun yang dibawahnya terdapat bangku panjang.

Mereka terlibat obrolan santai, di dalamnya membahas tugas kuliah serta beberapa hal random.

Trrr, trrr, trrr.

Calista merasakan ponselnya bergetar. Ia menerbitkan senyum tatkala melihat suaminya menelepon.

"Ada apa, Sayang?" Jawab Calista, membuat Elsa dan Amira menatapnya.

Teman mereka yang satu itu terkenal bucin dengan suaminya. Hubungan pernikahan mereka bisa digambarkan seperti Queen and King di negeri dongeng. Seolah tak bosan-bosannya setiap hari kasmaran.

"Aku ingin mengajakmu makan malam berdua dan menginap di hotel. Apa kamu mau?" Ajakan Aidan terdengar sangat romantis, tapi sayang Calista harus menolaknya.

"Aku tidak bisa, minggu depan saja kita menginap di hotel. Apa kamu lupa? Aku masih datang bulan."

Elsa dan Amira terkekeh kecil mendengar kalimat Calista. Wanita itu kalau sudah bicara, tidak mengenal tempat.

"Begitu … ya sudah jangan lupa beritahu aku kalau kamu sudah selesai mens."

"Iya, Sayang." Balas Calista mengakhiri panggilan itu.

Hari ini genap 5 hari dia datang bulan, biasanya tinggal berflek saja, tapi Calista sengaja menunda berhubungan intim dengan suaminya karena ia belum siap harus menyeimbangi permainan ranjang suaminya.

Trrr, trrr, trrr.

Terdengar suara ponsel berdering kembali. Tapi kali ini suara itu menyeruak dari arah tas Amira. Ia memeriksanya, lalu menemukan ponsel pemberian Aidan bergetar. Ia sudah bisa menebak siapa si penelepon.

Amira bergidik ngeri melihat kontak bertuliskan 'Tuan Aidan' di telepon itu, tapi ia tidak berani menolak panggilannya.

"Ada apa? Siapa yang menelepon?" Calista kepo, siapa yang menelepon Amira sampai-sampai wajah gadis itu berubah pucat.

"Tidak, tunggu sebentar ya, aku mau jawab telepon dulu." Amira melangkah sedikit menjauh. Ia tidak mau teman-temannya mendengar ia telponan dengan pria yang telah membelinya.

Ia menjawab panggilan itu setelah merasa aman.

"Halo, Tuan?"

"Malam ini, aku ingin kau mengenakan lingerie berwarna merah maroon." Perintah Aidan dari seberang. Laki-laki itu seakan tak puas-puasnya berhubungan s*ks. Baru juga semalam ia menggauli Amira dengan liar.

"Apa kau mendengarku??" Nada Aidan lebih tinggi dari yang tadi. Ia kesal Amira tidak menanggapi kalimatnya.

"Ba-baik, Tuan." Balas Amira sebelum panggilan itu terputus. Ia lemas, dan tidak bersemangat. Tubuhnya saja masih terasa remuk karena pergulatan mereka semalam.

Amira memang berpengalaman sebagai wanita kupu-kupu malam, ia nyaris seminggu penuh melayani clientnya, dan tidak pernah ia merasa remuk atau lelah seperti yang ia rasakan saat ini.

Hal itu jelas, karena cara main Aidan yang kasar. Entah nikmat apa yang pria itu dapatkan, tapi yang jelas itu sangat menyiksa Amira.

Bisa dibilang Amira adalah pelacur, tapi bukan berarti dia adalah pemain handal. Tidak! Dia hanya wanita biasa yang terpaksa melayani nafsu para lelaki yang  membayarnya demi pengobatan mendiang ibunya.

"Amira! Hei! Kenapa melamun? Apa terjadi sesuatu?" Elsa menepuk pundak gadis itu, berhasil mengembalikan kesadaran Amira.

"I-iya? Ada apa?" Jawab Amira linglung.

"Kami yang harus bertanya padamu, Amira. Kamu sebenarnya kenapa? Apa kamu melamun karena telepon barusan? Katakan padaku siapa yang meneleponmu?" Tanya Calista prihatin. Ia tidak tahu saja, bahwa yang menyebabkan Amira menjadi seperti ini adalah suaminya sendiri, Aidan.

Amira tidak mungkin mengatakan apa yang menjadi masalahnya kepada dua sahabatnya itu. Mereka bahkan tidak tahu bahwa ia adalah wanita kupu-kupu malam.

"Tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya keingat ibuku saja." Dalih Amira.

Setelah selesai kuliah, Calista mengajak dua temannya makan di restoran langganannya. Ada hal penting yang perlu ia sampaikan kepada mereka.

"Sabtu ini, aku akan mengadakan pesta besar-besaran memperingati anniversary pernikahanku. Aku ingin kalian berdua hadir."

"Oh, ya? Dimana?" Sontak tanya Elsa.

"Nanti aku akan mengirim alamat hotelnya ke kalian."

Amira dan Elsa terlihat antusias mendengar kabar baik itu. Selama ini mereka tidak pernah tahu seperti apa suami Calista? Katanya beliau sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai CEO, makanya jarang menemani Calista. Tapi Calista selalu mengatakan bahwa suaminya sangat baik, penyayang dan perhatian padanya.

"Ohiya, Amira. Kamu kenal sepupuku kan, yang namanya Andre?"

Tentu saja banyak yang mengenal Andre, sepupu Calista, karena laki-laki itu merupakan pewaris dari kampus mereka menimba ilmu.

"Iya, kenapa?"

"Katanya dia mau kenalan denganmu."

"Cieee." Sorak Elsa turut mendukung jika Andre dekat dengan Amira.

Amira tersipu malu. Ia pernah melihat Andre beberapa kali di sela-sela ia kuliah. Bahkan ia pernah memergoki Andre menatapnya. Hanya saja mereka tidak pernah bicara secara langsung.

**

Aidan memberi kabar kepada Amira bahwa ia sedang dalam perjalanan ke sana.

Malam ini ia tidak memiliki waktu banyak karena Calista mendesaknya pulang.

Aidan hanya akan pulang setelah hasratnya sudah tersalurkan. Beberapa hari terakhir ini, Calista menolak berhubungan intim, karena sedang datang bulan, tapi untunglah sekarang Aidan memiliki pelacur yang bisa melayaninya.

"Selamat datang, Tuan." Amira menyambut pria itu dengan senyum yang ia paksakan.

Tubuh polosnya berbalut sehelai lingerie merah maroon, sesuai permintaan Aidan. Amira menunduk, merasa pria itu sedang menikmati pemandangan tubuhnya. Amira sebenarnya malu, ia merasa seperti telanjang.

Aidan tersenyum sinis melihat tubuh seksi itu. Sebelum ia melangkah masuk, tangannya bergerak cepat menyentuh liang Amira yang berlapis lingerie. Ia melakukannya hanya demi merasakan kehangatan benda itu.

"Ahh!!" Amira tersentak kaget. Ia merasa seperti tidak memiliki harga diri. Tangan dan kakinya tidak bisa digunakan untuk melakukan pembelaan.

Ia ingin marah, tapi tak berdaya. Ingin melarikan diri, tapi bagaimana jika ia berhasil ditemukan oleh Aidan? Yang bisa ia lakukan sekarang adalah pasrah.

"Buatkan aku minuman dingin." Perintah Aidan sebelum menjatuhkan dirinya di sofa.

Ia merasakan ponselnya bergetar. Lagi-lagi panggilan telepon dari istrinya.

"Kenapa lama sekali? Katamu sudah otw, tapi kok belum muncul-muncul juga!!" Omel Calista.

"Iya, Sayang. Sebentar lagi juga sampai." Nada Aidan rendah. Suaranya lembut, berusaha membujuk istrinya agar tidak marah-marah.

Amira memperhatikan pria itu. Ternyata dia bisa bersikap selembut itu, tapi kenapa kepadanya pria itu sangat kasar?

"Ini minuman Anda, Tuan." Ujar Amira seraya menaruh minuman dingin buatannya ke permukaan meja.

"Sudah, ya. Sampai ketemu di-"

"Tunggu! Jangan matikan dulu, aku seperti tidak asing dengan suara wanita tadi," Calista mencoba berpikir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status