Share

Bab 5

Aidan menatap sinis Amira. Ia jengkel karena gadis itu bersuara tadi.

"Tidak, Sayang. Itu hanya suara dari ponsel Marco saja."

"Masa sih?? Tapi suaranya mirip dengan teman kampusku."

Aidan mencoba menenangkan istrinya. Ia ngotot memberitahu Calista bahwa dirinya sedang di jalan. Dan sebentar lagi sampai rumah.

Panggilan telepon itu kemudian berakhir. Aidan menyimpan kembali ponselnya dalam saku lalu menatap Amira.

"Kau! Sini!" Panggilnya dengan tangan menunjuk pada pahanya yang mengangkang.

Amira membawa langkahnya mendekat. Ia tahu maksud pria itu menyuruhnya berada disana.

"Cepat buka, dan puaskan aku." Perintah Aidan. Suaranya dingin dan wajahnya datar.

Amira melakukan seperti yang pria itu katakan. Ia menurunkan resleting pada celana kain yang dikenakan Aidan, lalu meloloskan sebuah pedang dari dalam boxer.

Pedang itu menjulur kokoh di wajah Amira. Besar dan panjang, Amira sering melihatnya beberapa hari terakhir ini.

Amira masih menatap diam. Mulutnya mendadak susah mangap. Ia tidak mau menghisapnya karena ukurannya terlalu panjang.

Hoeek!! Hoeek!!

Tiba-tiba gadis itu mual. Ia menutup mulutnya agar isi perutnya tidak ada yang keluar.

"Kurang ajar, kau!!"

Pakkh!!!

Aidan kesal. Ia menampar Amira tanpa peduli gadis itu bakal kesakitan. Ia sangat tersinggung, karena tingkah Amira yang jijik dengan kejantanannya.

Aidan menutup kembali resletingnya. Nafsu birahinya mendadak hilang. Ia pergi dari sana tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Setelah terdengar suara mobil pergi, air mata Amira seketika terjatuh. Ia menangis tersedu-sedu. Meratapi takdir yang tak pernah berpihak padanya.

Ia kemudian bangkit. Lalu pergi ke kamarnya. Ia mengambil piyama dari dalam lemari lalu berganti pakaian.

"Ibu, bawa aku ikut denganmu, Bu. Rasanya aku tak sanggup lagi." Amira kembali terisak. Jika bunuh diri tidak haram, maka sudah ia lakukan.

**

Aidan sampai di rumah mewahnya. Ia memberikan kunci kepada satpam untuk memarkirkan mobilnya.

Di ambang pintu, Calista sudah menanti kedatangan suaminya. Raut wajahnya terlihat masam, dua tangannya memeluk dada, kata-kata omelan sudah tertampung di rongga mulutnya, bersiap sebentar lagi akan tersembur.

Aidan tahu istrinya sedang marah. Ia memantapkan langkahnya mendekati wanita itu, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil.

"Surprise!" Ucapnya berusaha mendapatkan hati Calista.

Dan benar saja, netra Calista berbinar senang melihat isi kotak kecil itu ternyata adalah kalung berlian.

Emosi yang tadinya sudah mengubun-ubun hilang begitu saja.

"Ini adalah hadiah pertama untuk anniversary pernikahan kita." Jelas Aidan. Tangannya bergerak memakaikan kalung berliontinkan berlian itu ke leher jenjang istrinya.

Calista memeluk suaminya. Ia senang diberi hadiah sampai-sampai ia lupa bahwa dirinya sedang emosi tadi.

Aidan akhirnya menghirup nafas lega. Ia lagi-lagi berhasil meluluhkan hati istrinya.

Tapi tiba-tiba Calista mengendus-ngendus. Ia merasakan ada parfum yang berbeda di baju Aidan.

"Kok baumu seperti ada parfum perempuan?" Tutur Calista dengan dahi berkerut.

Aidan kemudian mencoba mengendus sendiri tubuhnya. Ia mendapati aroma parfum menempel di jas yang ia gunakan. Aroma parfum itu sepertinya milik pelacurnya. Tapi ia berlagak tidak mencium apa-apa.

"Aku tidak mencium apa-apa. Kamu mungkin keliru."

"Tidak, aku yakin menciumnya." Calista memaksa ingin mengendus kembali jas yang digunakan suaminya, tapi pria itu malah mengajaknya masuk.

"Sudah, sudah, jangan berpikir yang aneh-aneh. Kalaupun benar ada parfum wanita mungkin itu parfum pelayan toko tempat aku beli kalung itu." Aidan masih berdalih. Demi menghindari kecurigaan istrinya.

"Ya sudah, eh, iya, apa persiapan pesta kita di hotel itu sudah matang? Ini sudah H-2 lho, Sayang."

"Tak perlu khawatir, Marco akan mengurus semuanya."

**

Waktu berlalu cepat. Tak terasa sudah memasuki akhir pekan. Hari ini adalah hari sabtu, dimana ini adalah hari anniversary pernikahan Aidan dan Calista.

Sebuah hotel bintang lima dipilih menjadi saksi kemeriahan pesta itu. Meski ini hanya pesta anniversary, tapi Aidan dan Calista sengaja merancangnya selayaknya pesta pernikahan.

Itu karena mereka tak sempat mengadakan pesta pernikahan di Indonesia, waktu itu pesta mereka dilangsungkan di luar negeri.

Calista dan Aidan turun panggung untuk menyapa para tamu mereka.

"Selamat, ya. Tak terasa pernikahan kalian sudah satu tahun saja. Semoga langgeng terus." Ujar seorang pria tampan, berbadan tinggi dan tegap.

Namanya Andre Jordan berumur 30 tahun. Dia merupakan sepupu Calista.

"Terima kasih." Balas Aidan singkat, lalu mengalihkan pandangannya ke istrinya. "Aku akan menyapa teman-temanku dulu." Pria itu meminta ijin kepada istrinya.

"Hmp." Calista berdehem mengiyakannya.

Setelah Aidan pergi, barulah Andre menanyakan Amira pada Calista.

"Apa dia tidak datang?" Laki-laki itu terlihat khawatir.

"Maksudmu Amira? Masa sih dia tidak datang. Padahal sudah aku wanti-wanti mereka datang." Pandangan Calista menilik sekitar, mencari dua teman kampusnya.

Wanita cantik berbalut gaun pengantin sederhana dan elegan itu menatap cemberut kepada dua gadis yang mendatanginya.

"Huft, huft. Maaf, apa kami terlambat?" Sontak tanya Elsa sambil ngos-ngosan.

"Kenapa tidak sekalian datang pas acaranya selesai?" Rajuk Calista kepada dua gadis itu.

Elsa menungging senyum maaf.

Pandangan Andre terkunci kepada Amira, tidak bisa dipungkiri, gadis itu sangat cantik malam ini. Dia mengenakan dress hitam ketat yang panjangnya selutut. Body ideal Amira membentuk lekukan tubuh yang mempesona.

Amira tersipu malu, menyadari pria di depannya menatapnya lama.

"Sayang, ayo ikut aku, aku mau memperkenalkanmu pada-" Aidan tiba-tiba datang, hendak mengajak istrinya ikut dengannya, namun mendadak ia terdiam ketika pandangannya bertemu dengan Amira.

Amira terkejut. Wajahnya berubah pucat. Tubuh mungilnya bergidik ngeri saat melihat pria di depannya menatapnya tajam. Bagaimana bisa pria itu ada disini?

"Sayang, kenalkam mereka ini teman-temanku di kampus. Ini Elsa dan ini Amira." Elsa memperkenalkan Elsa dan Amira kepada suaminya.

Aidan hanya memberikan senyum tipis lalu mengalihkan pandangannya kepada istrinya. "Ayo, ikut aku sebentar, aku mau memperkenalkan kamu pada rekan bisnisku." Aidan menggandeng Calista dan membawanya pergi.

Amira shock. Jantungnya berdetak kencang. Salivanya tertelan kasar. Realita sungguh menamparnya.

"Amira, ada apa? Kau melamun lagi?" Pertanyaan Elsa membuat Amira tersadar.

"Maaf, aku mau ke toilet sebentar." Amira pergi dari sana.

Andre masih menatap kepergian Amira. Begitu pula dengan Aidan. Pria itu juga tidak menyangka bisa bertemu dengan pelacurnya disana.

Sesampainya di toilet, Amira menjatuhkan dua tangannya di westafel. Ia menghembuskan nafas yang sejak tadi menyesakan dada.

Kemudian menatap dirinya dipantulan cermin. Ternyata selama ini, pria yang dibangga-banggakan Calista adalah pria yang sama, yang selalu menggaulinya.

Huftt …. Nafas panjang terhembus. Tatapan Amira berubah sendu. Bagaimana jika Calista tahu hububungan mereka?

Jujur, Amira merasa seperti pengkhiatan.

Brak!! Suara pintu menghantam dinding. Gadis itu ketakutan, saat Aidan tiba-tiba muncul.

Pria itu mengambil lengannya secara kasar lalu memaksanya masuk ke salah satu bilik toilet. Sengaja menabrakan punggung Amira ke dinding.

Tatapannya tajam. Auranya dingin. Membuat tubuh Amira bergetar ketakutan. Ia tidak berani menatap mata elang pria itu.

"Lihat aku!" Suara bariton itu bernada rendah tapi penuh penekanan. Terpaksa Amira menatapnya lekat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status