Share

6. Teringat senyum Hendri

Hari itu Mira benar-benar kelelahan, sehingga dia memutuskan istirahat seharian di apartemennya, padahal dia rencananya akan berbelanja pakaian bersama Leo. Kondisinya yang sedang hamil muda membuatnya sering muntah dan tidak enak badan. 

"Sebaiknya kau istirahat saja, biarkan aku saja yang membelikan pakaian dan keperluanmu," ujar Leo setelah melihat kondisi Mira.

"Tidak perlu, Leo. Nanti merepotkan mu. Setelah aku sembuh, aku akan membeli semua keperluanku." Mira merasa sungkan selalu merepotkan pria ini.

"Sebaiknya mulai sekarang kau tidak usah mengatakan seperti itu, karena berani datang padaku, kau harus menerima resikonya, kau harus menerima semua pemberianku dan menerima jika aku mengatur semua kebutuhanmu," ujar Leo dengan arogan.

Mira mengatupkan bibirnya mendengar perkataan lelaki itu, dia melihat sisi lain dari seorang Leo. Jika seperti ini, Leo tampak mirip dengan Hendri, apakah semua pria di keluarga Kusuma selalu bersikap demikian? Ya, mungkin saja, Meraka kan memiliki gen turunan yang sama, dididik dan dibesarkan di keluarga yang sama.

"Okelah ...." Akhirnya Mira menyerah pada sikapnya yang selalu tidak enakkan.

"Di rumah saja, ya. Nanti akan datang seorang pembantu paruh waktu ke sini," ujar Leo, sambil berlalu menuju pintu ke luar.

Setelah Leo pergi, Mira hanya berbaring di sofa sambil menonton acara televisi, namun tak berapa lama dia segera mematikan televisi itu, dia merasa sia-sia menonton semua acara televisi namun tak mengerti bahasa mereka. Mira berpikir, dia akan tinggal cukup lama di sini, dia harus bisa menguasai bahasanya. Segera diambil ponselnya dan mencari aplikasi bahasa Jerman. Dia membaca masih dengan ejaan Indonesia, sebenarnya apasih lafaz dari kata-kata itu? 

Ting tong ....

Tiba-tiba bel pintu dipencet seseorang dari luar, Mira segera menghampiri pintu dan mengintipnya dari sebuah lobang kecil dilapisi kaca di pintu. Tampak seorang wanita paruh baya berbadan tambun berdiri di sana, siapa ya? Mira segera membuka pintu tersebut.

"Halo, selamat siang, Nona. Saya Marni, pelayan baru anda," kata wanita itu dengan bahasa Inggris yang fasih.

"Marni? Apakah kau orang Indonesia?" tanya Mira antusias dengan bahasa Indonesia setelah mendengar wanita itu menyebut namanya yang khas asli Indonesia.

"Ah, benar, Nona. Saya dari Indonesia, senang sekali bisa bertemu dengan anda," ucap Marni berbinar senang, seolah menemukan keluarganya.

Ya, bagi perantauan apalagi di negeri orang, bertemu dengan orang berkebangsaan yang sama bahagia sekali rasanya, mereka akan segera akrab serasa keluarga sendiri, menanggung beban bersama, senasib sepenanggungan.

"Ah, Bibi Marni, aku sangat senang bertemu denganmu, sehingga aku tidak perlu bicara dengan pelayanku sendiri memakai bahasa asing. Aku Mira, ceritakan padaku, bagaimana kau bisa menjadi pelayan internasional seperti ini." Mira menggandeng tangan Bibi Marni ke sofa mengajak bercengkrama di sana.

"Saya ke negeri ini dibawa oleh Den Leo dari Indonesia, Non. Dulu saya pelayan di rumah beliau ketika Den Leo masih SMA. Terus ketika dia kuliah di Amerika sampai sekarang saya mengikuti beliau terus," ujar Bibi Marni.

"Oh, ya ... Terus kenapa Bibi bekerja untukku juga? Apakah Leo yang menyuruhmu?" 

"Benar, Non. Den Leo menyuruh saya menjadi pelayan paruh waktu di rumah Non, sisanya saya akan menjadi pelayannya."

"Memangnya Bibi nggak capek kerja di dua tempat?"

"Sama sekali nggak, Non. Kan rumah Non Mira cuma lima langkah dari rumah Den Leo, lagipula, hanya melayani keperluan bujang satu itu pekerjaannya sangat ringan sekali, Non Mira tidak perlu kuatir."

"Baiklah, Bik. Apakah Leo membayar Bibi untuk bekerja di rumah saya?" 

"Ya tentu saja dong, Non. Mana mungkin orang tajir melintir kayak Den Leo tidak membayar saya lebih," ujar Marni terkekeh.

"Oya, Bik. Jangan memanggil saya Nona, saya calon seorang ibu, jadi kayaknya nggak cocok aja panggilannya."

"Jadi, Non Mira lagi hamil? Kenapa Non Mira gak meminta Den Leo untuk menikahi Non? Kenapa kalian harus pisah rumah? Kalau kalian tinggal bersama kan, Bibi juga ringan kerjanya, biarlah tidak dibayar double, yang penting melihat Non Mira dan Den Leo hidup bahagia, saya juga ikut bahagia."

Mira tertawa ngakak mendengar perkataan Bibi Marni yang panjang lebar, Bibi Marni benar-benar menyangka jika anak dalam kandungan Mira ada hubungannya dengan Leo. 

"Bibi Marni, Aku tidak ada hubungan perasaan dengan Leo, anak dalam kandunganku ini adalah anak kakaknya Leo, aku adalah kakak iparnya, maksudku mantan kakak iparnya, aku sudah bercerai dengan kakaknya, sekarang Leo ingin mengurusku demi keponakan dalam kandunganku." 

"Oh, kakak Den Leo? Saya hanya tahu kakak Den Leo itu adalah Den Hendri."

"Ya, itu ... Kakaknya Leo kan cuma Hendri," ujar Mira sambil nyengir Kuda.

"Ya ampun, sekarang non Mira gak usah memikirkan yang tidak-tidak, Non Mira sedang hamil, Bibi yang akan merawat Non Mira" ujar wanita paruh baya itu tersenyum simpati pada Mira.

"Bibi Mirna, senang sekali ada Bibi di sini."

 Mira sangat bersyukur dengan kehadiran Marni di sisinya, keputusannya kabur ke tempat Leo sangatlah tepat. Di sini Mira merasa tinggal di negeri sendiri, dengan kehadiran Bibi Marni, dia tidak merasa kesepian lagi.

*****

Sore hari Leo datang membawa banyak barang, paper bag berisi berbagai jenis pakaian dijinjingnya dengan tangan kanan, dan kantong-kantong sebelah kiri membawa berbagai macam sabun dan kosmetik.

"Leo, kau belanja banyak sekali!" pekik Mira setelah melihat Leo.

"Ini belum semua kubeli Kakak Ipar, aku lupa membelikanmu sepatu dan sandal, besok akan aku belikan lagi," ujar lelaki itu.

"Baiklah, kalau kau mau membelinya aku ikut ya, aku sekalian ingin jalan-jalan." 

"Apakah kondisimu sudah baikan?" 

"Iya, tadi Bibi Marni membuatkan aku sup daging yang segar sekali, aku jadi lahap makan. Dia juga membuatkan aku wedang jahe sehingga mual-mualku berkurang," ujar Mira dengan mata berbinar.

"O, syukurlah kalau begitu. Kau harus terus sehat demi anakmu."

"Leo ...."

"Ya." Bulu mata Leo berkibar memandang Mira.

"Terima kasih kau mengirim Bibi Marni ke sini,"  ujar Mira dengan pandangan tulus. 

"Ya, besok aku jemput. Aku pergi dulu," ujar Leo berjalan ke arah pintu keluar dengan acuh tak acuh.

Mira menatap punggung laki-laki itu hingga menghilang di balik pintu, cara berjalan Leo mengingatkannya pada Hendri, postur mereka hampir sama, hanya saja tubuh Hendri lebih kekar dan berotot. Wajah merekapun memiliki kemiripan, hanya saja sorot mata Leo sedikit kalem dan murah senyum, tidak seperti Hendri yang memiliki sorot mata tajam dan bibir lelaki itu selalu mengatup, jarang tersenyum memperlihatkan muka sangar dan dingin. Namun Mira sangat terpukau ketik melihat pertama kali lelaki itu tersenyum bahkan tertawa, memperlihatkan sederet giginya yang tersusun rapi, di pipi sebelah kanannya ada lesung pipi yang manis. 

Waktu itu Mira pulang kerja motornya mogok dan dia kehujanan, terpaksa dia mendorong motor itu ke bengkel, tiba-tiba ada mobil berhenti mendadak di sampingnya, Hendri muncul dari jendela.

"Kenapa motormu?" tanya Hendri.

"Mogok," jawab Mira singkat.

"Masuklah, biar kuantar pulang, hari sudah malam dan hujan pula." Hendri membuka pintu mobil menyuruh Mira masuk.

"Tidak, terima kasih," jawab Mira sambil melangkahkan kakinya kembali.

"Perempuan itu bahaya pulang malam-malam, apalagi jalan kaki seperti ini." Hendri menghentikan jalannya dengan mencekal lengannya.

"Apa peduli anda, Pak." Mira masih memperlihatkan muka juteknya.

"Kubilang masuk."

Hendri benar-benar memaksa tetapi wanita di depannya sepertinya tidak takut sama sekali kepadanya, bahkan gadis itu cenderung melawan. Hendri memicingkan mata geram, baru kali ini ada seorang wanita yang berani meninggikan suara di hadapannya, apakah gadis ini mau cari mati?

"Kalau aku masuk terus motor aku gimana? Dibiarkan di sini?" Suara Mira meninggi, benar-benar tidak senang dengan ucapan lelaki itu.

"Parmin, bawa motornya ke bengkel. Biar saya bawa mobil sendiri!" perintah Hendri kepada supirnya.

"Baik, Pak." Supir itu patuh pada Hendri.

Huh, kasian supir itu, paling tidak ada pilihan, gerutu Mira dalam hati.

"Ayo masuk," ujar Hendri membuka pintu depan.

Tetapi Mira malah masuk ke tempat duduk di belakang.

"Benar-benar gadis ini ya, selalu membuatku emosi," gumam Hendri. 

Hendri segera menyeret Mira yang berada di bangku belakang mendorongnya ke kursi di sebelah pengemudi.

"Kau duduk di belakang, kau anggap aku supirmu?" hardik Hendri.

"Apalagi, sih? Aku kan sudah masuk ke mobilmu!" pekik Mira yang merasa tidak senang di seret oleh Hendri.

"Aduh! Augh!"

Ketika Hendri akan berjalan, Mira memekik kesakitan. Hendri pun mengurungkan kakinya, terlihat Mira memegangi rambut panjangnya yang di urai, tangan satunya memegang kepalanya. Rupanya ada beberapa helai rambut yang menyangkut di kancing kemeja Hendri.

"Pak, jangan bergerak, Pak. Sakit nih."

Mira bangkit berdiri, berusaha melepaskan rambutnya yang sudah tergulung kusut di kancing kemeja Hendri. Hendri hanya diam saja, berdiri sangat dekat dengan gadis itu, membuat jantungnya berdetak lebih kencang, Mira yang sudah kedinginan karena kehujanan, tangannya gemetar menguraikan simpul sembarangan yang di bentuk rambutnya, tetapi yang paling membuatnya gemetar adalah posisi berdirinya sekarang, dekat dan menempel di tubuh lelaki itu. Sehingga dia kesulitan melepaskan rambutnya, jalinan rambutnya malah semakin kusut.

Mencium aroma shampo di rambut gadis itu membuat Hendri tidak tahan untuk tidak menghirup aroma rambut gadis itu, posisi Mira yang menundukkan kepala, membuat lelaki itu bebas menghirup aroma shampo itu bahkan mencium rambut gadis itu.

"Sudah belum? Kok lama sekali?" tanya Hendri kemudian setelah beberapa menit kemudian tetapi rambut gadis itu belum juga terbebas dari jeratan kancing Hendri.

"Belum, Pak. Ini susah," jawab Mira.

"Kalau susah, digunting saja," ujar Hendri kemudian.

"Digunting? Bapak pengen membuat rambut saya botak?" sembur Mira, bahkan air ludahnya sampai muncrat ke muka Hendri, sehingga lelaki itu harus mengelap mukanya dengan tangan beberapa kali.

"Ha ... Ha ...." Hendri tidak kuasa menahan tawa mendengar ketolonan hakiki gadis ini.

"Hei, bego! Ini cuma sebagian kecil rambut kamu, kok sampai kepikiran kalau rambutnya sampai botak, sih?" ucap Hendri masih ada sisa tawa di sana.

Mira terpana melihat senyum dan tawa lelaki itu dari jarak yang sangat dekat. Dia menatap lesung pipi pria ini yang terlihat sangat manis. Tanpa dia sadari Hendri sudah mematahkan rambutnya dari kancing kemejanya, sehingga masih tertinggal di kancingnya rambut patah yang cukup banyak.

"Ayo masuk mobil, jangan cuma bengong saja." Hendri menepuk pipi Mira dengan pelan menyadarkan gadis itu yang terpesona padanya.

"Ha! Oh ... Rambutku, kok dipatahin, Pak! Padahal saya memanjangkannya selama bertahun-tahun," keluh Mira.

"Gak usah lebai, nanti juga bakal tumbuh lagi," ujar Hendri ketus, sepertinya lelaki itu kembali lagi menjadi batu es.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status