Share

5. Bertemu leo

Leo menjemput Mira di stasiun, dengan memakai pakaian casual, lelaki itu tampak lebih macho dari yang dilihat Mira enam bulan yang lalu. Tubuhnya yang tinggi nampak begitu menjulang di hadapan Mira, wajahnya dihiasi jenggot tipis dan sedikit cambang menambah aura maskulinnya begitu kentara.

"Hai, Kakak Ipar! Bagaimana perjalananmu?" 

sapa lelaki itu dengan wajah gembira.

"Hai ...." 

Mira merasa canggung dengan lelaki di hadapannya, rasa gugup terlihat jelas di matanya, bagaimana tidak? Dia baru sekali bertemu dengan adik suaminya, maaf ralat, mungkin sudah menjadi mantan suaminya saat ini. Berkomunikasi jarak jauh lewat sambungan Vidio call juga cuma sekali ketika Hendri mengabarkan kehamilannya dengan gembira, selanjutnya hanya menelponnya ketika dia berencana untuk pergi dari sisi Hendri. 

Mira hanya tahu jika lelaki ini selalu melanjutkan studi, belum pernah menginjak dunia kerja, tetapi sering melakukan berbagai penelitian di dunia sains dan teknologi, wajar saja jika diusianya ke 26 tahun ini dia sudah mengambil program doktoral. Leo memang tampak cedas dan pembawaannya sedikit kalem, terlihat low profile berbanding terbalik dengan Hendri yang temperamen dan sedikit angkuh.

"Em, Leo ... Panggil namaku saja, aku bukan lagi kakak iparmu," ujar Mira.

"Aku selalu memanggilmu demikian, rasanya aku gak bisa memanggilmu dengan sebutan lain. Oh ya, bagaimana kabar keponakanku?"

Mira mengernyit mendengar perkataan lelaki itu, namun untuk sesaat dia tersenyum dengan canggung menanggapinya.

"Oh, dia baru dua bulan di sini, aku juga belum tahu bagaimana kabarnya di dalam sini."

Mira menunjuk perutnya membuat Leo tertawa lepas, memperlihatkan sederetan gigi seputih pualam. Sejenak Mira terpana melihat ketampanan lelaki di hadapannya itu hingga pikirannya mengelana, sayang sekali, mungkin saja jika dia  bertemu Leo lebih dulu sebelum ketemu Hendri, Mira akan jatuh cinta dengan pria tampan ini.

"Maksudku, apakah kondisi kandunganmu baik-baik saja selama melakukan perjalanan?" ujar Leo masih ada sisa senyuman di bibirnya.

"Oh, aku baik-baik saja." Semburat merah terlihat di pipi Mira, dia merasa konyol dengan jawabannya tadi.

"Syukurlah, aku sudah menyewakan sebuah apartemen untuk tempat tinggalmu, masih satu gedung dengan tempat tinggalmu. Ayo kita ke sana," ujar Leo sambil meraih tas ransel di bahu Mira.

"Baiklah." 

Mira tidak membawa barang yang banyak untuk kepergiannya ini, hanya lima stel pakaian yang di masukkan ke tas ransel, itupun dua pasang baju dan sebuah jaket dia beli di Kota Moscow. Dia tentu saja tidak sempat mengepak baju, karena kepergiannya yang mendadak, selain itu semua pakaian dan barang-barangnya masih berada di rumah kediamannya bersama Hendri. Mira tentu tidak akan mengambil resiko untuk bertemu dengan lelaki itu, kepergiaannya ini benar-benar minggat dari rumah.

Mendengar Leo telah menyewakan apartemen untuknya sendiri, Mira merasa lega dan tenang. Dia tentu saja keberatan tinggal serumah dengan pria yang bukan mahramnya, akan menimbulkan fitnah. Tiap hari bertemu dan berinteraksi dengan pria setampan dan selembut Leo tentu saja bisa menimbulkan gesekan hati suatu hari nanti, tidak menutup kemungkinan mereka akan saling jatuh cinta. Mira tidak ingin hal itu terjadi, jatuh cinta dengan mantan adik iparnya? Rasanya itu sangat tidak etis. Sejak bertemu dengan Hendri, rasanya hati Mira sudah habis di rampas lelaki itu, melihat lelaki setampan Leo hatinya biasa-biasa saja, tidak menimbulkan gejolak apapun.

"Kenapa tasmu begitu ringan, apakah kau hanya membawa pakaian sedikit?" Leo akhirnya menyadari dengan bawaannya, mereka berjalan kaki menuju halte bus.

"Ya, aku tentu saja tidak sempat mengepak barang. Kau kan tahu aku kabur," jawab Mira.

"Tidak perlu kuatir, kita akan berbelanja baju yang cukup untukmu besok."

"Baiklah ...."

Akhirnya mereka sampai di sebuah apartemen yang berada di gedung lantai dua, Mira mengamati semua kondisi apartemen, terdapat tiga buah kamar, ruang tamu, ruang keluarga dan dapur. Tiap kamar memiliki kamar mandi sendiri, apartemen ini sudah siap huni, karena sudah dilengkapi segala macam furniture.

"Apertemen ini tertalu besar untuk aku yang hidup sendirian," kata Mira.

"Nantikan enam bulan lagi kau tidak tinggal sendirian lagi, akan ada anggota keluarga baru yang akan hadir," ujar Leo.

"Dia hanya seorang bayi, tentu aku akan kerepotan membersihkan rumah ini," keluh Mira. 

"Tenang saja, nanti aku akan mencari seorang pembantu part time untuk membersihkan rumah dan beres-beres, kau jangan capek-capek, jaga saja keponakanku."

"Baiklah, terima kasih. Ngomong-ngomong, di mana apartemenmu?" tanya Mira 

"Tepat di depan apartemenmu, jadi jika ada apa-apa denganmu, aku bisa sigap menolongmu." Sudut bibir Leo melengkung.

Mira menghela napas berat, di depan apartemennya? Apa maksudnya itu? Biarpun tidak serumah mereka akan menjadi tetangga dekat. Ah, ambil sisi positifnya saja, seperti yang Leo katakan, agar dia menjadi paman siaga buat kepanakannya. 

"Sekarang istirahatlah, besok banyak barang yang akan kita beli, semua keperluanmu, kau bebas memilih barang dan pakaian yang kau suka, tidak usah sungkan. Besok aku akan menjemputmu setelah pulang dari kampus, untuk makan malam ini aku akan memesankan makanan, aku ada kelas penelitian hingga larut malam nanti," kata Leo.

"Em, Leo ... Sebaiknya, aku besok belanja sendiri, maksudku memakai uangku sendiri, aku memiliki uang yang cukup. Kau cukup menemaniku dan menunjukkan di mana saja tempatnya," kata Mira sungkan.

"Kakak Ipar, sebaiknya kau simpan saja uangmu untuk masa depan, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kau tidak perlu memikirkan biaya hidupmu di sini, aku tidak melakukan apapun, hanya menggantikan tanggung jawab kakakku yang tidak melakukannya. Kau tidak perlu memikirkannya, sebagai bagian dari keluarga Kusuma, aku akan bertanggung jawab karena kau ibu dari keponakanku." Leo menatap Mira dengan serius, dan berlalu meninggalkannya.

Mira hanya menatap punggung lelaki itu tanpa mengucapkan satu katapun. Tanggung jawab? Itu sebuah kata yang agung di benak Mira, dia pernah merasakan seseorang yang memiliki rasa itu beberapa bulan lalu. Hendri dulu seorang yang gentleman dan bertanggung jawab, setiap ucapan janji dari mulutnya selalu berusaha lelaki itu penuhi. Hari itu Hendri berjanji akan menikahinya di depan ayah Mira yang tengah terbaring sakit dan besok janji itu dia wujudkan, di depan ayahnya yang tengah di rawat di rumah sakit, lelaki itu mengucapkan ijab qobul.

"Aku ingin ayahmu tenang, karena putrinya satu-satunya sudah ada yang menjaga dan bertanggung jawab terhadap hidupnya," ujar lelaki itu setelah Mira menanyakan kenapa Hendri harus buru-buru menikahinya.

Mendengar itu, hati wanita mana yang tidak tersentuh, hati Mira bahkan meleleh, lelaki itu bukan hanya peduli padanya tapi juga pada ayahnya. Padahal awal bertemu lelaki itu benar-benar seperti balok es, acuh dan dingin. Namun siapa sangka, setelah jatuh cinta dengan Mira, Hendri menjadi lelaki dengan kepribadian sehangat mentari pagi.

Mira kembali meneteskan air mata jika mengingat lelaki yang selalu  memeluknya ketika tidur selama lima bulan yang lalu, entah racun apa yang perempuan itu berikan padanya hingga sikapnya berbanding seratus delapan puluh derajat. 

"Edi, apakah kau mendengar dengan jelas perkataan wanita itu?" tanya Mira sesaat setelah pertemuannya dengan Sarah 

"Ya, Bu. Saya mendengarnya," jawab Edi sambil menyetir mobil.

"Apa kau percaya guna-guna? Pelet? Sepertinya perempuan jalang itu menghipnotis Mas Hendri, membuatnya menjadi membenciku," ujar Mira gusar.

"Kita orang Indonesia, Bu. Bukannya hal-hal klenik dan mistik masih berkembang di sini?" 

"Rasanya aku tidak percaya, seorang psikolog yang brilian seperti dia, seorang yang sepertinya relistis dalam berpikir, bisa melakukan semua ini," sudut mata Mira berkedut, dia tak malu lagi menangis sesenggukan di depan Edi 

"Sabar, Bu. Ini hanya menyangkut personal, bukan profesi. Menurut orang-orang seperti itu semua halal demi cinta, harta dan tahta."

Tangis Mira menjadi-jadi mengingat itu semua, bahkan tubuhnya limbung ke lantai, disenderkan bahunya ke sofa, wajahnya menelungkup di kedua tangannya yang dilipat. Tak ada gunanya lagi diselali, dia sendiri yang dengan suka rela meninggalkan pria yang dicintainya hingga ke aliran darah, walaupun menahan sakit dan derita, demi melihat laki-laki itu tetap hidup, dia rela walau raganya hancur sekalipun. Ini hanya perpisahan raga, Mira merasa akan baik-baik saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status