Share

4. Antara cinta dan benci

"Aku pasti akan menandatangi berkas ini, tetapi aku yang akan mengajukan gugatan cerai dan menalaknya. Aku yang akan mencampakannya bukan dia," ujar Hendriyanto geram, dihempaskan kertas di tangannya ke atas meja.

Sudut mata Edi menangkap raut wajah Sarah, selintas Edi melihat perempuan itu tersenyum puas, namun seketika wajahnya kembali menyamar menjadi begitu sedih. Edi menyadari perempuan di dekatnya bukan hanya pandai bersandiwara, namun di balik wajah polos dan tulus Sarah, ada serinai kebalikan dari itu, bahkan mungkin lebih bengis. 

"Baiklah, Mas ... Mas Hendri harus mengontrol emosi, jangan terlalu tertekan, tidak bagus untuk kesehatan spikologimu," ucap Sarah dengan nada lembut penuh perhatian.

"Yah, untung ada kamu, Sarah. Aku menjadi tidak terlalu tertekan," ucap Hendri, tatapannya yang garang jadi melunak.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak."

 Edi segera keluar dari ruangan bosnya, dia muak melihat pasangan itu saling memberikan perhatian. Bosnya itu benar-benar sudah buta, dia bahkan mengabaikan Mira selama dua hari di rumah sakit, dia justru selalu menemani Sarah. 

Perasaan Edi benar-benar dongkol sekarang, dia tahu dengan nyata siapa perempuan yang bersama bosnya itu, tetapi dia tidak bisa memberitahukan pada atasannya itu. Dia tidak berhenti mengutuki kelemahannya. Waktu itu dia hanya bisa menyaksikan Mira diintimidasi oleh Sarah, Edi hanya bisa bungkam dan bersembunyi, padahal dia ingin sekali menghajar perempuan itu setelah mendengar apa yang dia katakan.

Waktu itu Mira sudah tidak tahan dengan kelakuan Hendri yang selalu mengacuhkannya, sehingga dia tidak tahan untuk berbicara dengan Sarah, sebagai psikolog pribadi suaminya, Mira masih berpikir positif kepada Sarah, mungkin Sarah bisa mengembalikan kondisi suaminya. Mereka janjian di sebuah kafe, Edi mengantarkan Mira ke pertemuan itu, namun dia tidak duduk bergabung dengan mereka, dia mencari tempat yang tersembunyi, namun masih dapat mendengar pembicaraan mereka 

"Apa yang kau mau, Mira?" tanya Sarah dengan nada yang tidak mengenakkan.

"Kaukan psikolog Mas Hendri, Sarah, bisakah kau membujuk agar Mas Hendri mengatakan apa alasannya dia selalu mengacuhkanku?  Tolong Sarah, tolong kamu bujuk Mas Hendri," ujar Mira.

"Kenapa aku harus menolongku?" 

Mira tercekat mendengar tanggapan Sarah, diapun berkata, "Apakah kau tidak ingin melihat temanmu hidup rukun dan bahagia dengan istrinya?" 

"Jelas aku ingin Hendri bahagia, tetapi aku tidak ingin dia menghabiskan hidup bersamamu, seharusnya kau sadar Mira, dari awal Mas Hendri itu milikku."

Mendengar perkataan Sarah, sudah pasti Mira terlihat shock, apalagi Mira sebagai istrinya Hendri, Edi saja begitu terkejut.

"Sarah ... rupanya selama ini kau memiliki rencana tersembunyi," ujar Mira tersenyum miris menatap Sarah.

"Aku tidak akan sembunyi-sembunyi darimu, Mira. Aku akan berterus terang, aku akan merebut milikku kembali." Sarah tersenyum sinis menatap meremehkan Mira.

"Kau sadar, Sarah? Mas Hendri itu suamiku, kapan mas Hendri pernah menjadi milikmu?" Suara Mira tampak bergetar, dia berusaha untuk tenang menghadapi wanita di hadapannya.

"Kalau begitu cepat kau lepaskan dia. Mas Hendri juga sudah membencimu, baginya kau hanya sebagai pengganggu." Sarah mengatakan itu dengan santai, seolah dia tidak melakukan perbuatan salah.

"Kenapa mas Hendri tiba-tiba sangat membenciku? Apa yang sudah kau lakukan padanya? Kau pasti sudah melakukan sesuatu padanya, kan?" 

"Mira, pikiran manusia itu bisa dibolak-balik, untuk mengubah cinta jadi benci itu mudah bagiku."

Edi tersentak dari lamunannya, ketika wanita yang kini dipikirkannya baru keluar dari ruangan Hendriyanto, buru-buru Edi menghindari wanita itu, Sarah, berjalan dengan anggun melewati tempatnya berdiri. Edi bergidik menatap wanita itu, siapa yang menyangka wanita yang begitu lembut dan anggun itu pernah mengatakan hal kejam pada Mira. Dia sengaja membuat bosnya membenci istrinya.

****

Hendriyanto menarik napas dalam setelah Sarah dan Edi keluar dari ruangannya, kembali dipandangi surat gugatan cerai isrtinya, kenapa ada perasaan tak rela melepaskan Mira? Padahal jelas-jelas dia sangat membenci perempuan itu. Dipikirannya, dia hanya mencintai Sarah, gadis yang telah menyelamatkannya ketika dia masih remaja dulu. Apalagi mendengar dari Darmawan dan Waluyo bagaimana Sarah berada diposisinya sekarang, dia bertambah ingin melindungi dan mencintai Sarah seorang di masa depan.

"Hendri, siapa yang kubawa ini?" Darmawan berteriak senang ketika mengunjungi kantornya sebulan yang lalu.

"Sarah?"

 Hendriyanto terperangah menatap gadis yang sudah lebih lima tahun menghilang tanpa jejak itu. Beberapa detik dia merasa kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Dia sangat terkejut melihat wanita itu.

"Kami sengaja membawanya kemari, kau sedang membutuhkan psikolog kan? Sarah seorang psikolog, dia baru pulang dari luar negeri melanjutkan program pendidikan megisternya," sambung Waluyo.

"Aku benar-benar terharu, Hend. Ternyata motivasi Sarah menjadi psikolog itu karena dia ingin menyembuhkan penyakit traumatis yang kau alami semasa di SMA dulu." Darmawan antusian membicarakan gadis di sampingnya.

"Benarkah itu?" Hendriyanto tidak menyangka dengan yang didengarnya, apalagi alasan itu begitu mengejutkannya. Kedatangan wanita itu benar-benar membuatnya terkejut berkali-kali.

"Hendriyanto? Lama tidak bertemu kudengar penyakitmu kambuh lagi," Sarah menatap Hendriyanto dengan wajah sumringah.

Hendri menghembuskan napas berkali-kali, segera di letakkan surat gugatan cerai ke dalam brankas dan menguncinya. Perasaannya benar-benar kacau melihat surat itu, dia benar-benar merasa sedih. Merasa sedih? Kenapa hatinya selalu tidak sinkron dengan pikirannya? Jelas-jelas pikirannya mengatakan jika dia hanya mencintai Sarah. Tetapi kenapa dia sedih dan ingin menangis ketika dia tahu akan berpisah dengan Mira? 

Ah, dia harus mengunjungi Mira di rumah sakit untuk meyakinkan perasaannya, mungkin setelah melihat wanita itu dia yakin jika dia memang membencinya.

"Edi, kemarilah ...," panggil Hendriyanto melalui telpon.

"Ikut aku," kata Hendri setelah Edi berada di hadapannya.

"Mau ke mana, Pak?" 

"Aku ingin melihat kondisi Mira di rumah sakit," katanya sambil berjalan ke luar kantor.

Edi tertegun mendengarnya, hampir saja dia spontan akan mengatakan jika Mira tidak ada di rumah sakit, tetapi wanita itu sudah pergi ke luar negeri. Untung saja dia segera tersadar, jika dia ungkapkan semua itu, tidak dapat dipungkiri pasti Hendriyanto curiga jika dia sudah membantu istrinya. Itu tidak boleh terjadi, sebisa mungkin Hendriyanto jangan sampai tahu ataupun curiga jika diam-dian Edi membantu Mira, jika Hendriyanto tidak curiga, Edi akan bisa membantu Mira terus di masa depan.

Sesampainya di rumah sakit, Edi menunjukkan kamar rawat Mira yang ternyata sekarang dalam keadaan kosong. Edi segera menghubungi perawat jaga untuk menanyakan keberadaan istri majikannya.

"Maaf, Pak. Ibu Mira sudah keluar dari rumah sakit tiga hari yang lalu," kata perawat jaga memberi informasi.

"Tiga hari yang lalu? Kenapa dia tidak pulang ke rumah?" Hendriyanto seoalah bertanya pada diri sendiri, karena orang di sekitarnya juga tidak tahu jawabannya.

"Edi!"

"Iya, Pak."

"Segera cari informasi, di mana Mira sekarang berada," kata Hendriyanto terlihat gusar.

"Baik, pak."

Bagi Edi mencari informasi keberadaan Mira sekarang bisa di berikan dalam hitungan detik, namun dia harus menunda-nundanya, seolah-olah dia tidak tahu menahu keberadaan wanita itu.

Hingga malam hari dia baru mengabarkan pada Hendri.

"Pak, setelah saya cek keberangkatan di bandara tiga hari yang lalu, saya menemukan data paspor atas nama Mirayanti Sukma melakukan penerbangan ke luar negeri."

"Ke luar negeri? Ke mana?"

"Ke Rusia, Pak."

"Apa? Rusia?" 

Kenyataan itu cukup membuat Hendri terbengong, Rusia? Kenapa wanita itu ke Rusia? Hendri sering bepergian ke luar negeri terutama ke Eropa, tapi dia sama sekali belum pernah ke Rusia.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
semoga nggak ketahuan ya Edi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status