Samudra mengangkat wajah. Gadis yang berpakaian kantoran itu tersenyum ke arahnya sambil mengulurkan tangan untuk menyalami. "Akhirnya kita bertemu juga. Boleh saya duduk di sini?" pintanya ramah."Boleh. Silakan.""Kenapa nggak menghubungi saya. Saya bertanggungjawab atas kerusakan lampu sein yang saya tabrak kemarin.""Nggak apa-apa. Saya sudah membereskannya sendiri," jawab Samudra sambil tersenyum.Diva jadi canggung dan tidak sanggup menatap mata teduh pria di hadapannya. Ada debar di dada yang getarannya terlalu kuat dan membuatnya jadi serba salah. Mata itu seolah menghipnotisnya.Dia terbiasa berhadapan dengan banyak orang. Di kantor, di butik, tapi ini sungguh berbeda. Ada kharisma tak biasa dari sosok pria di depannya."Nama Mas siapa?" tanya Diva pelan."Samudra."Samudra. Dahi Diva langsung mengernyit. Nama yang mengingatkannya pada seseorang. Mata, alis, dan tatapan itu ...."Apa Mas ini dokter yang saya temui di rumah sakit tempo hari?"Senyum menghiasi bibir Samudra. "I
"Cie, yang dijemput!" goda Mbak Ida pada Delia yang masih termangu memandang Barra yang melangkah menghampirinya.Tidak menyangka kalau Barra datang di hari terakhir Delia training. Padahal tadi pagi bilang kalau hari ini dia sangat sibuk. Nyatanya sekarang sudah ada di depan mata."Selamat berakhir pekan, Mbak Delia. Nikmati waktumu selagi masih berdua," ucap Mbak Ida sambil menepuk bahu putri big bosnya, tersenyum hormat pada Barra, kemudian melangkah pergi bergabung dengan rekan yang lain untuk kembali ke hotel dan bersiap pulang ke Surabaya."Loh, katanya Mas sibuk hari ini?" tanya Delia setelah berhadapan dengan suaminya."Sibuk, tadi siang. Habis ketemu relasi, aku langsung pulang dan berangkat menjemputmu ke sini. Kita akan habiskan akhir pekan di sini," jawab Barra sambil membuka pintu mobil untuk istrinya. Delia tidak segera masuk, tapi tengadah menatap sang suami."Kenapa?""Malam nanti ada acara dinner bersama di rumah mama, Mas. Acara ulang tahunnya Mas Sam.""Kamu udah ke
"Delia nggak bisa datang, Sam. Katanya Barra menyusul ke Malang sore tadi," kata Bu Hesti pada Samudra ketika mereka sudah berkumpul di ruang makan."Nggak apa-apa, Ma. Tadi sebenarnya Delia menelepon, tapi pas saya lagi mandi.""Mereka sedang ngebut bikinin baby buat keluarga kita," sahut Nira sambil terkekeh. Pak Irawan dan Bu Hesti tersenyum, hanya perasaan Samudra yang tergilas. Namun ia buru-buru sadar, tak boleh menyimpan rasa itu lebih lama lagi. Semoga hubungan Delia dan Barra makin membaik. Dan dirinya move dari perasaan itu."Mas, kapan ngenalin cewek nih pada kami?" todong Nira sambil membantu mamanya menyusun makanan di atas meja. Menu yang tersedia lebih lengkap malam itu. Samudra tersenyum memandang adik bungsunya. "Nggak sabaran kamu, Ra.""Bukan nggak sabar, Mas. Tapi penasaran tau, nggak?""Sama aja itu!""Nggak aku aja lho yang penasaran. Papa dan mama juga. Mereka nggak sabar pengen lekas dapat mantu," jawab Nira sambil melirik kepada kedua orang tuanya. Bu Hesti
Delia membuka selimut yang menutupi wajahnya, kemudian tersenyum. "Jangan sinting, Mas. Sinting itu nggak enak lho! Sering dibully, bahkan oleh pasangan sendiri." Suka sekali Delia menggoda suaminya. Membuat Barra menarik napas panjang. Menatap lekat wajah Delia yang dua hari ini membuatnya tidak bisa tidur. Inilah rasanya jatuh bangun karena memikirkan seorang istri. Inikah jatuh cinta yang sebenarnya.Siapapun orang pintar yang jatuh cinta, adakalanya ia akan menjadi bodoh dihadapan orang yang dicintainya. "Delia, aku ingin menanyakan sesuatu.""Apa?" "Ketika menikah denganku, kamu sedang mencintai siapa?"Delia tersenyum mendengar pertanyaan suaminya. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Hatinya yang tahu ia mencintai lelaki mana setelah putus dengan Yovan. "Pertanyaan ini hanya akan memperumit permasalahan kita, Mas. Aku sudah pernah bilang, yang pasti aku nggak sedang menjalin hubungan dengan siapapun. Lagian mana ada lelaki yang mau dengan perempuan depresi sepertiku. Bahkan
Cintiara tampak lebih kurus dari sebelumnya. Mungkin karena opname beberapa hari yang lalu. Suasana canggung menyelimuti pertemuan pagi itu. Cintiara dan Siska tidak menyangka kalau Barra mengajak istrinya. Delia sedapat mungkin tetap tenang tanpa emosi, karena ia memang hanya menemani suaminya. Gurat luka, kesedihan, patah hati, kehilangan, tampak di wajah Cintiara yang tirus. Matanya yang agak cekung menatap Barra sangat lama. Delia nyaris tak sanggup menahan gejolak pemberontakan dalam dadanya. "Orang tuaku ingin mengajakmu bertemu." Siska yang memulai bicara."Nggak ada yang harus aku pertanggungjawabkan, Mbak. Pacaran lantas putus, bukankah itu hal biasa. Kalau harus perhitungan, aku lebih banyak kehilangan materi. Tapi itu nggak perlu diingat lagi," jawab Barra. Cintiara masih diam saja."Bukankah kamu memberi itu juga atas dasar cinta?" Siska menatap lekat Barra. "Hanya lelaki yang mencintai yang sanggup memberikan apa saja." "Mbak, antara aku dan Cintiara sudah menjadi masa
Delia menanggapi ucapan sahabatnya dengan santai. Sebab dia juga sempat kepikiran soal kehamilan, karena tidak lagi haid sepulangnya dari honeymoon ke Malang. Pil KB juga tidak pernah di konsumsinya lagi setelah diingatkan oleh Mei."Sebaiknya kamu nggak usah ngonsumsi pil kontrasepsi lagi. Di Malang beberapa hari kamu nggak minum pil. Siapa tahu saat itu terjadi pembuahan. Jika spre**a berhasil membuahi sel telur, maka sel telur akan membelah menjadi beberapa sel yang menjadi embrio. Kamu nggak ingin terjadi kecacatan pada janinmu, kan? Kata dokter kandungan langgananku, minum pil KB saat hamil bisa menyebabkan cacat jantung, resiko bayi mengalami asma dan rhinitis jika kandungan nggak gugur. Memang ada yang nggak apa-apa sampai bayi lahir, Lia. Tapi alangkah baiknya jika kamu berjaga-jaga. Lagian ngapain sih pakai ditunda segala. Anak itu rezeki. Berapa banyak orang yang mati-matian berjuang untuk mendapatkan keturunan. Kamu masih ada kesempatan lebar malah disia-siain." Mei berkata
"Delia, kulakukan ini agar dia nggak mengganggu kita lagi," teriak Barra dan Delia tidak mempedulikannya. Wanita itu terus melangkah ke dapur untuk membuatkan minum. "Tolong dengarkan alasanku." Barra mengejar istrinya."Aku nggak peduli. Apapun alasanmu, Mas. Karena sebenarnya kamu bisa menyempatkan waktu untuk membahasnya sejenak denganku.""Aku sudah meneleponmu tadi siang. Tapi kamu nggak mengangkat teleponku.""Mas, bisa menunggu atau menundanya sampai sempat bicara denganku." Delia menentang tatapan mata suaminya. "Sampai Mas nggak sabar menungguku karena dia lebih penting dari perasaanku. Sudah kubilang ini bukan soal berapa pun nominalnya. Selama ini aku berusaha menabung dengan usahaku sendiri. Aku ingin bangga bisa punya uang hasil keringatku sendiri, walaupun orang tuaku dan Mas bisa menyiapkan segala fasilitas yang aku butuhkan. Tapi dia, dengan mudahnya mendapatkan apa yang diinginkannya darimu. Dari lelaki yang sudah bergelar suami orang. Aku kecewa, aku berusaha menjadi
"Aku bisa pergi sendiri," jawab Delia tak peduli. Sambil terus menyiapkan berkas dan menyalakan laptopnya."Aku benar-benar minta maaf untuk masalah kemarin. Bukan aku nggak peduli dengan perasaanmu. Aku sudah menghubungimu tapi telponnya nggak kamu jawab.""Ya sudah, nggak apa-apa. Aku yang salah. Oke, masalah kita selesai. Sekarang tinggalkan aku sendiri. Aku mau kerja. Mas, harus ke kantor juga, kan?" jawab Delia dengan santai tanpa menatap suaminya. Ia malas lagi untuk membahas hal yang sangat menyakitkan hati.Jawaban Delia bukannya menenangkan Barra. Justru makin menambah gelisah perasaan pria itu. Barra menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap lekat istrinya. "Setelah kesempatan yang kamu berikan padaku. Aku nggak mungkin menyia-nyiakannya. Mungkin caraku salah, karena telah mentransfer uang tanpa sepengetahuanmu. Walaupun tujuannya agar mereka nggak ganggu kita lagi. Dia berjanji, kalau setelah yang kemarin, mereka nggak akan mengusik kita lagi. Aku percaya, karena memang b