Pria itu masih memejam saat Delia masuk. Kantung infus sepertinya baru selesai diganti."Hari ini kalau nggak ada kendala, setelah CT scan Barra akan dipindahkan ke ruang perawatan," ucap Samudra lirih di telinga adiknya. Delia menjawab dengan anggukan kepala. Lega kalau dipindahkan dari ICU. Bermakna kondisi suaminya tidak mengkhawatirkan lagi. Meski masih butuh perawatan untuk beberapa hari ke depan.Delia menggenggam jemari Barra. Spontan pria itu membuka mata dan mencari orang yang sedang menyentuhnya. Senyum menghiasi bibirnya yang masih pucat. Tangannya merespon genggaman Delia. Membuat wanita itu berdiri dan mendekat ke wajah suaminya. Bulir bening meluncur dari sudut mata Barra saat melihat Delia berkaca-kaca. Bibirnya bergerak mengucapkan kata maaf tanpa suara. Membuat Delia makin sedih. Harusnya dia yang minta maaf. Saat Barra berangkat, dirinya masih bermuram durja. Semalaman membiarkan Barra bicara tanpa tanggapan serius darinya. Bahkan mengantarkan ke bandara dengan paks
Delia lega melihat suaminya jauh lebih baik. Wajahnya tak sepucat kemarin. Dan selang oksigen pun telah dilepas. Barra juga berbaring setengah duduk."Mas, sudah makan?" tanya Delia menggeser kursi lebih mendekat pada sang suami."Belum. Mas nunggu kamu," jawab Barra lirih sambil tersenyum. Tubuhnya masih tampak lemas dan terasa pegal-pegal. Efek dari guncangan di pesawat waktu pilot melakukan manuver penyelamatan meski pada akhirnya berujung naas. Kepalanya juga masih pusing, tapi tak separah kemarin."Aku suapi ya!" Delia bangkit dan mengambil jatah makan untuk pasien. Nasi putih, sup daging, tempe, dan perkedel kentang. Ada juga sepotong puding di sebuah wadah persegi."Kamu makan dulu. Mas makan habis kamu saja," kata Barra."Nggak apa-apa. Aku sudah makan buah sebelum Maghrib tadi," jawab Delia sambil membuka plastik wrap yang menutupi mangkuk makanan. Kemudian mulai menyuapi suaminya. Barra mengunyah sangat pelan. Ia merasakan rahangnya kaku dan tubuhnya masih sakit jika dipak
Seorang pria usia enam puluhan dan sang istri tersenyum saat pintu di buka oleh Samudra. Mereka datang sambil membawa parcel buah dan sekotak besar aneka rasa roti."Pak Broto dan Ibu, mari silakan duduk." Bu Diyah buru-buru berdiri menyambut tamu sekaligus mitra bisnis suaminya. Pak Adibrata menyalami mereka. Begitu juga dengan semua yang ada dalam ruangan menyalami sepasang suami istri yang sangat ramah itu. Ini kali kedua Pak Broto datang membesuk, yang pertama waktu Barra masih di ruang ICU dan belum sadarkan diri. "Bagaimana Mas Barra? Nggak trauma kan jika kita mesti meeting di Jakarta lagi?" goda Pak Broto sambil berdiri di sebelah Barra yang duduk di atas brankar."Insyaallah nggak, Pak," jawab Barra sambil tersenyum. Pertemuan mereka membahas tentang kecelakaan yang menimpa Barra, bicara tentang spekulasi apa yang menyebabkan terjadinya accident kemarin. Setelah itu pembicaraan tak jauh dari dunia perniagaan dan bisnis. Hanya Samudra saja yang berbeda profesi di antara mer
Barra membuka aplikasi pesan. Semua pesan yang masuk menanyakan kondisi dan keadaannya. Juga berisi doa agar dirinya lekas pulih. Barra membalasnya satu per satu dengan kalimat yang sama. Ucapan terima kasih dan mengabarkan bahwa dia sekarang baik-baik saja."Ada yang mengirimkan email juga, Mas.""Oh ya?""Iya. Tapi maaf, aku sudah membuka dan membacanya. Ada email dari Cintiara. Dia tahu Mas kecelakaan. Mungkin dia khawatir karena berkali-kali mengirimkan pesan bertanya keadaanmu." Delia bicara dengan wajah tenang. Kendati perasaannya sedang bergolak. Pria itu diam sejenak, kemudian beralih memeriksa emailnya. Benar yang dikatakan Delia. Cintiara berulang kali menanyakan kabarnya. "Maafkan Mas ya, karena tidak bisa mengganti email. Jadi dia masih bisa mengirimkan pesan. Tapi Mas nggak pernah membalasnya."Delia tersenyum meski hatinya pedih. Ia bisa memahami dan tidak akan menuntut hal itu pada suaminya. Sebab email itu sangat penting bagi Barra. Banyak pekerjaan yang terhubung ke
"Kenapa kamu nggak tidur?" tanya Barra lagi sambil bergerak miring menghadap istrinya."Aku barusan bangun. Oh ya, aku dapat pesan dari Yovan," kata Delia hati-hati.Barra yang masih mengantuk langsung membuka mata dan menatap layar ponsel yang sedang dipegang istrinya."Yovan nanyain kabarnya, Mas.""Kamu balas saja nggak apa-apa." Jawaban Barra malah membuat Delia ragu. Terlebih selama ini sang suami telah membangun tembok tinggi di antara dirinya dengan Yovan. Voucher dengan nilai sebanyak itu juga dilarang untuk dibelanjakan. Padahal laki-laki itu tidak pernah mengusiknya seperti yang dilakukan Cintiara.Delia mengembalikan ponsel di nakas sebelah tempat tidur. Padahal sebenarnya ia kasihan. Yovan bertanya baik-baik, sebagai bentuk kepedulian terhadap kabar suaminya. Delia hanya khawatir, setelah ia membalas pesan Yovan, nanti Barra juga membalas pesan dari Cintiara. Ah, sejauh itu pikiran Delia. Bisa jadi, Barra mungkin sedang mengujinya."Nggak kamu balas?" tanya Barra."Nggak,
Diva tersenyum menyambut kepulangan Samudra jam dua belas malam. Sejak tadi ia memang belum tidur karena menunggu kepulangan sang suami dari simposium disalah satu ballroom hotel di Surabaya. "Mas, mandi dulu biar aku buatin teh hangat," kata Diva setelah mengambil jas dan tas dari tangan suaminya."Nggak usah bikin teh. Air hangat saja," jawab Samudra sambil merangkul istrinya masuk ke dalam.Samudra langsung mandi, sedangkan Diva membawakan segelas air hangat dari dapur dibawa ke kamar mereka."Bagaimana acaranya tadi? Lancar, Mas?" Diva bertanya sambil duduk di sebelah sang suami yang baru selesai mandi."Alhamdulillah, lancar. Besok masih sehari lagi. Mas minta maaf kalau masih sibuk di akhir pekan. Kita nggak bisa staycation."Diva tersenyum, tapi kemudian berubah sedih. "Nggak apa-apa. Aku juga lagi haid sekarang. Tadi sepulang kerja pas mau mandi, aku datang bulan. Padahal aku berharap kalau bulan depan ada kabar gembira."Samudra yang sebenarnya sangat lelah, fokus memperhati
"Sayang, ada apa?" Barra menjajari langkah istrinya."Kita pergi dari sini, Mas," jawab Delia memeluk lengan sang suami dan melangkah cepat tanpa menoleh.Barra terus mengikuti dan tidak bertanya lagi. Ia sekarang paham bagaimana harus menyikapi Delia. Tentu ada sesuatu yang membuatnya panik seperti itu. Rasa mengalami trauma itu sungguh luar biasa. Setelah merasakan sendiri, akhirnya ia bisa memahami. Terbesit penyesalan atas sikap dinginnya pada Delia dulu. "Kita pulang?" tanya Barra ketika mereka sampai di tempat motor terparkir.Delia masih diam sambil memperhatikan ke arah warung tadi. Barra menoleh untuk melihat ke arah yang sama. Namun ia tidak melihat ada kejanggalan di sana. Bahkan dia juga tidak mengenal satu pun orang-orang di warung tadi. Tidak biasanya Delia panik seperti itu. Dia terbiasa menghadapi apapun dan hanya takut pada dirinya ketika mereka baru menikah."Sayang, duduk dulu atau kita langsung pulang?" Sabar sekali Barra menanyai istrinya."Kalau kita pulang aku
Dua bulan kemudian ....Perut Delia kian membuncit di kehamilan delapan bulan lebih dua minggu. Namun bentuk tubuhnya tidak banyak berubah kecuali dadanya yang kian membusung dan panggulnya yang sedikit melebar. Gerakannya masih lincah dan tidak bisa berjalan pelan kalau tidak ditegur oleh suami dan Mbak Ida sewaktu di kantor. Namun begitu, dia tetap seperti kebanyakan perempuan hamil. Merasakan pegal di kaki dan pinggangnya karena menahan beban di perut yang kian berat. Tapi pekerjaan jalan terus. Dia tidak akan mengambil cuti sebelum seminggu dari hari perkiraan lahiran yang ditetapkan oleh dokter. Padahal Barra maupun papanya sudah memintanya untuk cuti dan istirahat di rumah. Hanya Delia saja yang degil karena tidak ingin bosan duduk diam di rumah."Kamu enak, Lia. Hamil sebesar ini badanmu masih langsing, perutmu aja yang membesar. Aku hamil dulu, seluruh tubuhku ikut bengkak. Jalanpun ngangkang," kata Mei saat mereka janjian makan siang di luar. "Iya, aku tahu. Tapi hebat, dal