Ternyata, Tanto tidak peduli apa pun. Jadi, dia kemarin ...Kata-kata Liana membuyarkan lamunan Siska."Bertahun-tahun lamanya, Perusahaan Lastana mendanai banyak panti asuhan. Ayah angkatku membawaku ke keluarga Lastana saat aku berumur lima tahun. Waktu itu, Tanto masih tiga tahun. Dia masih kecil dan belum mengerti apa-apa."Siska menatapnya, menunggu dia melanjutkan."Kami tumbuh bersama dan saling menjaga satu sama lain. Saat itu, Perusahaan Lastana sedang dalam masa penuh tantangan. Kami sering ditinggal ayah kami selama beberapa bulan.""Aku selalu menganggap dia sebagai adikku. Aku sudah membalas semua kebaikan yang diberikan ayahku dan keluarga Lastana untukku. Mereka sangat berharga bagiku, jauh lebih berharga dari hidupku sendiri. Aku kaget setelah mengetahui ternyata Tanto jatuh cinta kepadaku."Kuku Siska menghunjam kuat di telapak tangannya."Aku sudah menolaknya, lalu dia menyakiti diri sendiri dan melukai sekujur lengannya. Dia membiarkan dirinya jatuh, mulai merokok da
Yara belum pernah melihat Siska seperti ini sebelumnya. Hatinya benar-benar dilanda panik."Siska, kamu kenapa? Liana bilang apa? Jangan menangis, jangan menangis."Siska tidak ingin Yara khawatir, tetapi dia sama sekali tidak bisa membendung air matanya. Dia hanya bisa berkata dengan suara lirih sambil sesenggukan, "Rara, nggak ... nggak apa-apa. Biarkan ... biarkan aku menangis sebentar.""Menangislah, menangislah." Yara memeluk Siska dan menepuk-nepuk punggungnya.Mereka berdiam di tempat sepi itu selama hampir setengah jam sebelum akhirnya Siska bisa mengendalikan dirinya lagi."Rara, aku sudah memutuskan, aku ingin pergi dari Selayu.""Pergi?" Yara juga baru-baru ini memikirkannya. Setelah menceraikan Yudha, dia pasti harus menyembunyikan kehamilannya, jadi, tentu saja dia harus pergi.Dia hanya tidak menyangka Siska juga ingin pergi. "Kalau begitu, ibumu ...""Aku ingin membawanya pulang ke kampung halaman." Siska tampak sudah memikirkan banyak hal selama setengah jam terakhir. "
Logikanya, Yara seharusnya tidak bisa hamil. Apa yang terjadi?Teresa berusia sekitar 40 tahun, memakai kacamata tanpa bingkai, dengan mata penuh keagungan.Dia menatap Melanie dan menyerahkan berkas pasien di tangannya. "Baik apanya? Dengan kondisinya, nggak perlu berharap untuk bisa hamil."Mata Melanie langsung berbinar saat mendengar hal ini. Dia membalik-balik berkas di tangannya dan menemukan bahwa Yara hanya melakukan pengobatan rutin saja.Teresa melanjutkan, "Kalau bukan karena dipercayai seorang teman, saya sudah ingin meyakinkan dia untuk berhenti membuang-buang waktu.""Bu Dokter, saya minta maaf sudah merepotkanmu." Melanie merasa sangat gembira di dalam hatinya.Namun, begitu dia meninggalkan kantor, Teresa langsung menelepon seseorang."Felix, ada perempuan yang mengaku sebagai sepupu Yara baru saja datang ke sini. Dia tanya-tanya soal kehamilan Yara."Wajah Felix menggelap.Teresa melanjutkan, "Aku memberinya catatan medis palsu seperti yang kamu minta waktu itu. Aku bi
Yudha dapat melihat wajah Felix memucat, jadi dia berhenti bicara.Setelah beberapa saat, Felix perlahan bertanya, "Apa hubungannya ... dengan Melanie?""Kak." Yudha menegaskan, "Melly adalah gadis yang waktu itu.""Mana mungkin? Kamu pasti keliru." Felix jelas tidak setuju."Kak, saat aku keluar dari rumah sakit, aku meletakkan liontin milikku di tangannya," jelas Yudha dengan sangat yakin. "Liontin itu ada di tangan Melly sekarang."Felix ragu-ragu sejenak. "Gadis kecil itu nggak sadarkan diri waktu itu. Mungkin ... liontinnya diambil orang lain?"Yudha menggelengkan kepalanya. "Nggak diambil orang lain. Gadis itu memang benar Melly. Ada hal lain yang kamu nggak tahu."Dia menghela napas dalam-dalam. "Waktu itu, aku dengar yang dikatakan dokter. Dokter itu bilang, gadis itu nggak akan bisa lagi menjadi seorang ibu."Dia berkata dengan mantap, "Karena itulah, aku pasti akan menikah dengan Melly.""Hanya karena ini?" tanya Felix bimbang. "Bagaimana dengan Rara? Apa kamu nggak punya sed
Yudha menandatangani dengan cepat. "Tunda semua agenda untuk besok pagi. Aku akan pergi mengurus perceraian."Revan bertanya-tanya dalam hati: Mengurus perceraian juga tidak perlu pagi hari, 'kan?Namun, dia tidak berani mempertanyakan Yudha dan langsung mengangguk. "Baik, saya akan minta mereka untuk mengubah jadwalnya segera."Setelah akhirnya menandatangani semua dokumen, Yudha meletakkan penanya dengan suasana hati yang senang. "Aku nggak nyangka Yara langsung setuju. Semoga dia nggak mempermainkan aku lagi kali ini. Kalau nggak, aku nggak akan mengampuni dia."Revan memeluk dokumen itu dan tertawa dua kali. Dia ingin segera pergi karena setiap kali Yudha berbicara menyangkut perceraian, dia tidak mengerti apa isi pikiran bosnya."Pak Direktur, kalau begitu ..." Dia baru saja ingin izin keluar, tetapi Yudha menyelanya lagi."Mari kita rayakan malam ini. Ayo pulang kerja tepat waktu."Pikiran Revan mengembara: Pulang kerja tepat waktu untuk merayakan? Mungkin bosnya sangat bahagia d
"Felix, bagaimanapun juga, Yara sedang mengandung anak-anak keluarga Lastana. Kalau mereka benar-benar bercerai ..."Setelah naik ke atas, Agnes tidak sabar bicara. "Jangan sampai anak-anak itu terlantar."Bagaimana mungkin anak-anak keluarga Lastana dibiarkan tinggal bersama Yara?Ekspresi Felix berubah. "Bu, apa maksudmu?""Apa maksudmu?" Wajah Agnes berubah dingin. "Mana mungkin kita biarkan darah daging keluarga Lastana memanggil orang lain sebagai ayah mereka? Apakah pantas?"Dia kembali bertanya kepada Felix, "Yara benar-benar mengandung anak kembar?"Felix dengan wajah seriusnya tidak menjawab."Bicara!" Agnes mau tidak mau meninggikan suaranya."Hah?" Felix tersentak. Jelas, dia tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan ibunya."Aku tanya, Yara benar-benar mengandung anak kembar?"Felix mengangguk. "Seharusnya begitu."Agnes menggeleng. "Aku nggak percaya dia bisa mengandung anak kembar. Padahal dia nggak terlihat seperti orang yang diberkati."Memikirkan anak kembar itu, di
Dia diam-diam mengeluh, betapa sulitnya ingin bercerai.Jadi dia menunggu satu jam lagi. Yudha masih belum muncul juga. Kesabarannya benar-benar sudah habis.Yara hampir yakin Yudha sengaja mempermainkan dia untuk membalas dendam. Pria itu terkadang terlalu kekanak-kanakan.Biarlah, dia akan pergi besok. Yudha tidak akan punya kesempatan untuk menyiksanya lagi.Yang terpenting, dia tidak ada rencana untuk menikah lagi. Tidak ada bedanya dia bercerai atau tidak. Jika saatnya tiba, Yudha-lah yang akan memohon-mohon padanya untuk kembali!Yara mengumpat dan berjalan keluar, tetapi seseorang menghentikannya sebelum pergi jauh.Saat dia mendongak, ternyata itu Yudha."Kenapa? Menyesal? Nggak ingin bercerai lagi?" Yudha menatapnya merendahkan. Matanya penuh dengan arogansi."Tuan Muda Lastana yang terhormat, akhirnya kamu datang juga. Bisakah kita masuk dan menyelesaikan prosesnya sekarang?" Yara terlalu malas untuk melayaninya. Dia berbalik dan masuk lagi.Yudha mengikuti dari belakang deng
"Bukan urusanmu." Yara meletakkan pulpennya dan memimpin untuk mengambil nomor antrean dan menunggu.Tidak banyak orang yang datang untuk bercerai hari ini. Sepertinya masih ada dua pasangan di depan mereka. Yara mencari tempat duduk.Setelah beberapa saat, Yudha pun datang menghampiri. Dia melihat sekeliling dan duduk berselang satu kursi di samping Yara. Revan duduk di barisan di belakang mereka.Yudha menoleh ke arah Yara dan menyadari bahwa dia bahkan tidak berniat membuka mulut sedikit pun.Dia tiba-tiba merasa sedikit kesal, berbalik kepada Revan dan menggeram dengan suara pelan, "Kenapa kamu duduk jauh sekali?"Revan terdiam sejenak. Sejak dulu dia tahu Yudha tidak suka duduk bersama orang lain. Jadi, setiap mereka ada di luar, dia akan berdiri atau duduk di barisan belakang.Apa maksudnya sekarang?Dia tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi, jadi dia harus memberanikan diri dan duduk di barisan yang sama dengan Yudha, berselang satu kursi.Alhasil, bosnya masih tidak senan