Malam harinya, Yudha dipanggil pulang ke rumah keluarga besar lagi.Begitu Yudha datang, Agnes menariknya ke samping dan bertanya, "Beneran sudah bercerai? Kudengar perceraian itu sangat merepotkan sekarang, ada semacam masa tenang.""Bu, apa yang kamu inginkan?" Sepanjang hari ini, Yudha merasa kesal. "Bukannya ibu yang setiap hari ingin kami bercerai?"Agnes mendesah. "Ibu nggak pernah bilang nggak setuju, cuma ... ah, pikirkan saja sendiri."Saat makan malam, semua orang diam membisu. Entah kenapa, suasananya sangat menyedihkan."Kakek." Felix yang pertama memecah keheningan. "Akhir-akhir ini Rara nggak di Selayu. Kalau Kakek kangen ...""Nggak di Selayu?" tanya Yudha dengan suara berat. "Ke mana dia?"Felix meliriknya dan lanjut berkata kepada Kakek Susilo, "Kamu bisa telepon kapan saja.""Baguslah, biar nggak terlihat, nggak jadi pikiran." Nada bicara Kakek Susilo terdengar tidak senang."Rara juga perlu keluar jalan-jalan," kata Tanto di samping untuk mencairkan suasana. "Biarkan
Tak lama kemudian, dia segera tersadar.Setelah Yudha dan Melanie menikah, Melanie pasti akan pindah ke kamar itu. Barang-barangnya pasti merusak pemandangan.Akan tetapi, dia sudah mau berangkat besok. Satu-satunya kesempatan untuk pergi ke sana adalah malam ini."Oke, aku ambil sekarang." Yara menutup teleponnya, menoleh ke arah Siska dan berkata, "Aku harus pergi ke rumah keluarga besar.""Kenapa? Kakek ..." Siska agak khawatir sejenak."Nggak." Yara tersenyum pahit. "Yudha minta aku pergi mengambil barang-barang dari sana."Siska tertawa jengkel. "Bajingan ini memang penuh drama, sebanyak uang yang dia punya."Melihat Yara benar-benar akan pergi, dia bangkit untuk mencegahnya. "Dibuang sajalah. Nggak bisa?"Dia mau tak mau mulai menebak-nebak, "Mungkinkah Yudha enggan melepaskanmu dan berubah pikiran, ingin menemuimu dengan segala cara?""Jangan khawatir, aku pergi ke sana cuma untuk bertemu Kakek." Yara sudah lama menyadari obsesi Yudha terhadap hal semacam ini dan tidak ingin tam
Yudha tidak berkata apa-apa dan berbalik memasuki vila.Yara buru-buru mengikutinya. Dia benar-benar tidak mendengar dengan jelas kata-kata Yudha tadi. Dia samar-samar mendengar "kalau aku", tapi mungkinkah?Dia yakin pasti dia salah dengar.Memasuki rumah, Yara melihat Agnes, Tanto, dan Liana sedang berbincang di ruang tamu.Begitu dia masuk, suasana seketika hening.Yara sedikit gugup, menundukkan kepalanya dan menyapa semua orang. "Bu ... oh, Bibi ....""Dia mau ambil barang-barang." Yudha menyela Yara dan memerintahkan, "Ikuti aku ke atas."Yara tersenyum kepada orang-orang itu. "Aku naik dulu.""Tunggu." Tak disangka, Agnes menghentikannya.Yara langsung merasa seperti menghadapi musuh yang kuat."Bu," kata Yudha lagi, nada bicaranya jelas tidak sabar. "Dia cuma mau ambil barang-barang, lalu pergi.""Kenapa? Kamu takut dia aku apakan?" Agnes berdiri dan berjalan mendekat. Tatapannya tanpa sadar menyapu perut Yara.Dia menghampiri Yara dan berkata dengan nada tidak senang, "Kenapa
Kakek Susilo mengerjap keras.Yara tersenyum melalui air matanya. "Kakek, ini benar-benar aku. Aku ke sini mau pamitan, sekalian ambil barang-barangku.""Mau diambil semua?" Kakek Susilo jelas tidak senang. Kalau barang-barangnya masih di sana, dia masih bisa berharap Rara akan kembali. Sekarang, mau dibawa pergi semua ....Dia mendesah dalam-dalam. "Entah kamu ambil atau dibiarkan, Kakek akan selalu merasa kamu masih tinggal di sini.""Kakek ..." Yara merasa semakin tidak enak.Namun, semuanya sudah terjadi. Yang baru akan segera datang. Punya hak apa dia, sebagai yang lama, untuk datang ke sini?Dia menahan tangisnya, mengobrol dengan Kakek sebentar, berjanji untuk sering mengobrol di telepon, lalu pergi.Yudha tidak ada di depan pintu. Dia pasti sudah kembali.Yara pergi ke kamar. Barang-barangnya membereskan barang-barangnya satu demi satu. Di akhir, dia menyadari yang kurang adalah satu setel baju tidur.Dia mencari ke dalam dan ke luar bolak-balik, tetapi masih tidak ketemu."Ane
Yudha kembali ke kamar penuh berbagai macam pikiran.Tadi Yara mengatakan ada baju tidur yang belum ketemu. Sepertinya dia ingat pernah melihatnya di suatu tempat.Dia mencari di kamar tidur tetapi tidak ketemu, jadi dia pergi ke kamar mandi dan menemukan baju tidur Yara tergantung di jendela.Dia mengulurkan tangan dan menarik celana itu. Warnanya kuning kekanak-kanakan dihiasi gambar bebek cemberut.Yudha mengerutkan keningnya kesal, memikirkan bahwa bebek ini mirip Yara. Dia mengangkat tangan untuk melempar celana itu ke tempat sampah, tetapi akhirnya berhenti.Dia membawa celana itu kembali ke kamar tidur, melipatnya dengan rapi, dan menaruhnya di dalam lemari.Berbaring di tempat tidur, dia melirik ke arah lemari dari waktu ke waktu, merasakan emosi tidak dikenal yang membara di dadanya, membuatnya seperti sesak dan sulit bernapas.Akhirnya, dia hanya berbalik memunggungi lemari dan perlahan-lahan mulai tenang.Ibu Siska tinggal di daerah perumahan lama yang tidak bisa dimasuki mo
"Jangan sembarangan ngomong!" Yara agak tercengang. "Tapi, aku memang salah paham sebelumnya. Aku khawatir dia akan memaksa aku untuk menggugurkan anak-anakku setelah aku bercerai. Sekarang, sepertinya ..."Dia berpikir sejenak sebelum melanjutkan, "Dia sangat mementingkan anak-anak ini.""Itu pasti. Bukannya kamu bilang, Yudha nggak ingin punya anak? Jadi, yang ada dalam perutmu itu mungkin harapan keluarganya." Siska sebenarnya masih merasa sikap Felix terlalu tidak biasa terhadap Yara.Namun, setelah dipikir-pikir, Yara dan Felix tidak mungkin bisa bersama, jadi lebih baik pura-pura saja tidak terjadi apa-apa."Lupakan saja. Jangan pikirkan keluarga itu lagi. Setelah kita pergi ke Wulindra besok, kita nggak akan berurusan dengan mereka lagi.""Ya, nggak akan ada urusan lagi." Yara membuang napas pelan, air mata mengalir tanpa suara dari sudut matanya.Yudha, pria yang telah dicintainya selama tujuh tahun, ayah dari dua anak dalam kandungannya, akan menjadi orang yang melewati kehidu
"Kak Mustika, Siska, kalian akhirnya pulang juga."Fabian tampak masih sekitar 40-an. Dia mengenakan setelan formal dan rambut yang disisir rapi.Dia diikuti oleh seseorang yang melangkah maju untuk mengambil koper di tangan Siska.Mata Fabian terhenti pada Yara. "Siska, ini sahabatmu itu?""Iya Paman, dia Rara." Siska sudah memberi tahu keluarganya terlebih dahulu bahwa dia akan membawa seorang teman.Yara melangkah ke depan dan menyapanya. "Halo Paman, maaf harus merepotkan kalian.""Nggak kok. Selamat datang." Fabian secara pribadi mengambil barang bawaan Yara dan memimpin semua orang keluar dari stasiun. "Ayo. Mobilnya sedang diambil, kita tunggu di pinggir jalan.""Ayo." Siska tersenyum. "Paman naik pangkat lagi? Sudah punya sopir sekarang.""Naik pangkat apa?" Fabian tampak seperti seseorang yang banyak bicara. "Daerah kita 'kan mau dikembangkan. Aku jadi wakil ketua tim pengembangnya.""Memangnya mau dibangun apa di tempat kita?" Mustika membuka mulut untuk pertama kalinya. Nada
Tanpa sadar, dia menatap ibunya di sampingnya. Mata Mustika sudah memerah.Wanita tua itu berdiri perlahan, berjalan tertatih-tatih dan menatap Mustika. "Kamu ... Mustika?""Bu!" Tanpa diduga, Mustika tiba-tiba berlutut. "Bu, aku Mustika!""Bu, kamu sedang apa? Ayo bangun." Siska kaget dan segera menarik Mustika.Akan tetapi, Mustika tidak mau diajak bangun. Dia menatap wanita tua di depannya dengan mata berkaca-kaca. "Bu, maafkan aku, aku anak durhaka dan nggak pernah pulang."Wanita tua itu mendengus dan mengumpat dengan suara rendah, "Anak nggak tahu terima kasih, masih ingat jalan pulang?"Siska kaget dan langsung menjelaskan pada neneknya, "Nenek, ibuku ...""Oke." Fabian tiba-tiba berkata datar, "Kakak akhirnya pulang juga, Bu, kamu ingin membuatnya lari lagi?"Dia menarik Mustika dengan satu tangan. "Kamu juga, buat apa berlutut? Malu dilihat orang."Sambil mengatakan ini, dia melirik ke arah Yara.Yara cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Meski kejadian di depannya ini membuatn