Tanpa sadar, dia menatap ibunya di sampingnya. Mata Mustika sudah memerah.Wanita tua itu berdiri perlahan, berjalan tertatih-tatih dan menatap Mustika. "Kamu ... Mustika?""Bu!" Tanpa diduga, Mustika tiba-tiba berlutut. "Bu, aku Mustika!""Bu, kamu sedang apa? Ayo bangun." Siska kaget dan segera menarik Mustika.Akan tetapi, Mustika tidak mau diajak bangun. Dia menatap wanita tua di depannya dengan mata berkaca-kaca. "Bu, maafkan aku, aku anak durhaka dan nggak pernah pulang."Wanita tua itu mendengus dan mengumpat dengan suara rendah, "Anak nggak tahu terima kasih, masih ingat jalan pulang?"Siska kaget dan langsung menjelaskan pada neneknya, "Nenek, ibuku ...""Oke." Fabian tiba-tiba berkata datar, "Kakak akhirnya pulang juga, Bu, kamu ingin membuatnya lari lagi?"Dia menarik Mustika dengan satu tangan. "Kamu juga, buat apa berlutut? Malu dilihat orang."Sambil mengatakan ini, dia melirik ke arah Yara.Yara cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Meski kejadian di depannya ini membuatn
Tak disangka, wanita tua itu langsung meledak.Dia berkacak pinggang dan menuding ke arah Siska sambil mengumpat, "Gadis murahan. Nggak jauh-jauh dari ibumu yang nggak tahu terima kasih itu. Sampah!"Yara dan Siska seketika tertegun."Punya wajah cantik nggak ada gunanya. Cari laki-laki saja nggak bisa. Pantas kalau ditipu dan dicampakkan. Nggak bisa apa-apa!" Wanita tua itu masih mengumpat. "Masih muda nggak tahu sopan santun, berani-beraninya melawan omonganku. Nggak takut disambar petir!"Untuk pertama kalinya, Siska merasakan saat kata-kata hanya tersangkut di tenggorokannya. Dituding dan dimarahi di depan mukanya.Tiba-tiba, dia paham alasan Mustika tidak pernah pulang ke rumah dan enggan menghubungi keluarganya selama bertahun-tahun.Dia menatap Yara, meminta maaf.Yara menggeleng dan terlebih dahulu menghampiri wanita tua itu untuk menghiburnya. "Nenek, Siska nggak bermaksud jahat, jangan marah."Wanita tua itu sudah kelewat marah. Dia memegangi dadanya dan terengah-engah. Jika
Mustika tersenyum getir. "Ya, nenekmu lebih sayang dengan pamanmu dan menganggapku sebagai beban. Jadi, aku dulu menikah dengan ayahmu untuk melarikan diri dari keluarga ini. Melarikan diri dari sini."Siska dan Yara sama-sama mengerutkan kening.Mustika menggenggam tangan kedua anak itu. "Tapi ternyata ibu salah. Kata orang, pernikahan adalah kehidupan kedua seorang wanita. Mungkin ada benarnya juga. Di kehidupan pertama, kita nggak bisa memilih. Tapi yang kedua ..."Dia menepuk tangan mereka dan mengingatkan, "Kalian harus berhati-hati.""Bu." Suara Siska seperti menahan tangis. "Jadi Ibu menyesal sekarang?""Bicara apa kamu, Ibu nggak menyesal." Suara Mustika terdengar sedikit lebih gembira. "Ibu punya kamu sekarang. Yang lain-lain sudah nggak penting lagi."Air mata yang dibendung Siska akhirnya pecah.Dia membenamkan wajahnya di bahu Mustika dan memeluk Mustika dengan lembut.Yara juga sedikit trenyuh. Dia memandangi perutnya saat ini, tampak semakin bertekad untuk melahirkan mere
"Kami?"Siska langsung menggeleng. "Kalau kami berdua punya otak untuk pekerjaan seperti itu, sudah sejak dulu kami kaya raya."Namun, Fabian tetap keras kepala dan tidak mau melepaskan mereka."Kalian nggak harus apa-apa, cuma menemani di tempat saja. Lebih bagus lagi kalau bisa ikut bicara."Fabian menoleh kepada Yara. "Ini menyangkut kehidupan banyak orang di Wulindra. Kalau negosiasinya gagal dan mendapat kesepakatan yang nggak terlalu menguntungkan, aku akan merasa bersalah. Anggap saja kalian sedang membantu semua orang.""Mereka cuma gadis kecil, memangnya bisa bantu apa?" Nenek mengerutkan bibirnya dengan jijik."Bu, mereka pernah kuliah dan tinggal di kota besar." Fabian sama sekali tidak menatap ibunya. "Malah kamu yang nggak ngerti apa-apa, jadi nggak usah berisik."Wanita tua itu tidak marah. Dia sepertinya sangat menyukai Yara dan membantu membujuk Yara, "Rara, tolong bantu pamanmu."Meski Yara enggan, dua orang yang lebih tua darinya sudah angkat bicara. Mereka mungkin me
Tak lama kemudian, mereka tiba di kantor tim pengembang. Mereka mengatakan bahwa orang-orang dari developer sudah menunggu di ruang konferensi.Fabian memimpin jalan ke sana, menyuruh Yara dan Siska untuk tetap berpegang pada harga 20 juta per meter persegi dan jangan pernah mundur.Mereka diam-diam memutuskan untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun.Ketika tiba di ruang konferensi, di dalam sudah ada seorang pria paruh baya berusia antara 40 atau 50 tahun bersama dua orang pengikutnya.Melihat Yara dan Siska, pria paruh baya itu tampak tercengang. "Oh, sepertinya Pak Fabian datang dengan persiapan yang matang hari ini dan meminta bantuan.""Bukan bantuan. Mereka keponakan saya. Mereka peduli juga dengan masalah ini dan ingin ikut menyaksikan prosesnya."Fabian memperkenalkan dengan wajah bangga, "Ini penanggung jawab proyek dari Perusahaan Lastana, Pak Juno Hilmawan.""Ini Yara Lubis, dan ini Siska Jayadi. Semuanya, silakan duduk."Yara dan Siska berdiri dengan wajah pucat.Siska mem
Di ruang pribadi, Siska menarik sebuah kursi dan duduk di samping Yara."Bagaimana perasaanmu?" Dia menepuk punggung Yara dengan lembut dan menatap wajah Yara yang tampak pucat.Yara menggeleng dan tersenyum pahit. "Aku nggak nyangka Perusahaan Lastana mau mengembangkan tempat ini.""Nggak sama sekali." Siska mendesah. "Nggak apa-apa, sekali ini saja. Setelahnya nggak akan ada urusan lagi.""Lagian, ini pasti cuma proyek kecil bagi Perusahaan Lastana, ya 'kan?" katanya. "Yudha mungkin nggak perlu datang.""Semoga begitu." Yara benar-benar tidak tahu seberapa kuat keuangan Perusahaan Lastana dan apa yang biasanya menyibukkan Yudha di perusahaan itu.Namun, satu hal yang dia yakini adalah orang-orang sekelas Fabian tidak akan pernah menemui Yudha.Keduanya menghibur satu sama lain untuk sementara waktu dan sepakat akan pergi jalan-jalan setelah makan siang untuk mencerahkan suasana hati.Fabian dan Juno segera kembali dan membawakan minuman, diikuti pelayan yang menyajikan makanan.Kedua
Yara mengerutkan kening, "Siska. Aneh, kenapa dia nggak jawab teleponku?"Fabian mengalihkan pandangan sejenak. "Mungkin sedang bersenang-senang ngobrol dengan Pak Juno. Bagaimana kalau kita berkeliling dan membiarkan mereka mengobrol? Aku tahu kamu nggak suka Juno itu. Aku juga nggak suka. Tapi demi kepentingan orang-orang, aku nggak punya pilihan selain menyenangkan dia.""Cepat kembali." Yara tergesa-gesa kembali ke restoran. Siska masih belum menjawab telepon dan seluruh hatinya berdebar."Kenapa harus buru-buru?" Fabian mengikuti di belakang. "Mereka sedang ngobrol. Mungkin dia nggak mau diganggu, makanya teleponnya nggak angkat."Yara berbalik dan menatapnya dengan ekspresi tidak ramah.Fabian menggeleng. "Kamu ini masih kecil, nggak ngerti sama sekali cara pikir Siska. Dia itu seperti ibunya yang ...""Apa maksudmu?" kata Yara dingin."Apa kamu tahu bagaimana ibunya bertemu ayahnya saat itu?" Fabian tampak menghina. "Baru kenal online beberapa hari saja, ibunya kabur bersama pri
Fabian melihat Yara benar-benar menelepon polisi, jadi dia segera pergi menelepon Juno dengan panik.Namun, teleponnya tidak dijawab juga. Jadi dia mengirim pesan: "Kalian pergi ke mana? Cepat kembali!"Dia berpikir sejenak dan mengirim pesan lain: "Yara telepon polisi."Ketika Yara menoleh kepadanya kembali, dia bertanya dengan ekspresi dingin, "Kamu beneran nggak tahu mereka di mana? Aku sudah telepon polisi. Kalau terjadi sesuatu ...""Aku beneran nggak tahu." Fabian hampir menangis. "Siska itu keponakanku. Mana mungkin aku menyakiti dia?"Yara sangat cemas. Tiba-tiba dia memikirkan sesuatu dan segera menyingkir untuk menelepon seseorang.Revan sedang rapat ketika melihat panggilan masuk itu. Rapatnya sangat penting dan dipimpin oleh Yudha sendiri.Dia bergumul dalam hati sejenak, bingung apakah harus menjawabnya atau tidak, kemudian dia melihat Yudha menatapnya.Tanpa ragu, dia buru-buru bangkit dan menunjukkan ponselnya kepada Yudha.Penelepon yang ditampilkan bernama "Nyonya". Re