Tak lama kemudian, mereka tiba di kantor tim pengembang. Mereka mengatakan bahwa orang-orang dari developer sudah menunggu di ruang konferensi.Fabian memimpin jalan ke sana, menyuruh Yara dan Siska untuk tetap berpegang pada harga 20 juta per meter persegi dan jangan pernah mundur.Mereka diam-diam memutuskan untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun.Ketika tiba di ruang konferensi, di dalam sudah ada seorang pria paruh baya berusia antara 40 atau 50 tahun bersama dua orang pengikutnya.Melihat Yara dan Siska, pria paruh baya itu tampak tercengang. "Oh, sepertinya Pak Fabian datang dengan persiapan yang matang hari ini dan meminta bantuan.""Bukan bantuan. Mereka keponakan saya. Mereka peduli juga dengan masalah ini dan ingin ikut menyaksikan prosesnya."Fabian memperkenalkan dengan wajah bangga, "Ini penanggung jawab proyek dari Perusahaan Lastana, Pak Juno Hilmawan.""Ini Yara Lubis, dan ini Siska Jayadi. Semuanya, silakan duduk."Yara dan Siska berdiri dengan wajah pucat.Siska mem
Di ruang pribadi, Siska menarik sebuah kursi dan duduk di samping Yara."Bagaimana perasaanmu?" Dia menepuk punggung Yara dengan lembut dan menatap wajah Yara yang tampak pucat.Yara menggeleng dan tersenyum pahit. "Aku nggak nyangka Perusahaan Lastana mau mengembangkan tempat ini.""Nggak sama sekali." Siska mendesah. "Nggak apa-apa, sekali ini saja. Setelahnya nggak akan ada urusan lagi.""Lagian, ini pasti cuma proyek kecil bagi Perusahaan Lastana, ya 'kan?" katanya. "Yudha mungkin nggak perlu datang.""Semoga begitu." Yara benar-benar tidak tahu seberapa kuat keuangan Perusahaan Lastana dan apa yang biasanya menyibukkan Yudha di perusahaan itu.Namun, satu hal yang dia yakini adalah orang-orang sekelas Fabian tidak akan pernah menemui Yudha.Keduanya menghibur satu sama lain untuk sementara waktu dan sepakat akan pergi jalan-jalan setelah makan siang untuk mencerahkan suasana hati.Fabian dan Juno segera kembali dan membawakan minuman, diikuti pelayan yang menyajikan makanan.Kedua
Yara mengerutkan kening, "Siska. Aneh, kenapa dia nggak jawab teleponku?"Fabian mengalihkan pandangan sejenak. "Mungkin sedang bersenang-senang ngobrol dengan Pak Juno. Bagaimana kalau kita berkeliling dan membiarkan mereka mengobrol? Aku tahu kamu nggak suka Juno itu. Aku juga nggak suka. Tapi demi kepentingan orang-orang, aku nggak punya pilihan selain menyenangkan dia.""Cepat kembali." Yara tergesa-gesa kembali ke restoran. Siska masih belum menjawab telepon dan seluruh hatinya berdebar."Kenapa harus buru-buru?" Fabian mengikuti di belakang. "Mereka sedang ngobrol. Mungkin dia nggak mau diganggu, makanya teleponnya nggak angkat."Yara berbalik dan menatapnya dengan ekspresi tidak ramah.Fabian menggeleng. "Kamu ini masih kecil, nggak ngerti sama sekali cara pikir Siska. Dia itu seperti ibunya yang ...""Apa maksudmu?" kata Yara dingin."Apa kamu tahu bagaimana ibunya bertemu ayahnya saat itu?" Fabian tampak menghina. "Baru kenal online beberapa hari saja, ibunya kabur bersama pri
Fabian melihat Yara benar-benar menelepon polisi, jadi dia segera pergi menelepon Juno dengan panik.Namun, teleponnya tidak dijawab juga. Jadi dia mengirim pesan: "Kalian pergi ke mana? Cepat kembali!"Dia berpikir sejenak dan mengirim pesan lain: "Yara telepon polisi."Ketika Yara menoleh kepadanya kembali, dia bertanya dengan ekspresi dingin, "Kamu beneran nggak tahu mereka di mana? Aku sudah telepon polisi. Kalau terjadi sesuatu ...""Aku beneran nggak tahu." Fabian hampir menangis. "Siska itu keponakanku. Mana mungkin aku menyakiti dia?"Yara sangat cemas. Tiba-tiba dia memikirkan sesuatu dan segera menyingkir untuk menelepon seseorang.Revan sedang rapat ketika melihat panggilan masuk itu. Rapatnya sangat penting dan dipimpin oleh Yudha sendiri.Dia bergumul dalam hati sejenak, bingung apakah harus menjawabnya atau tidak, kemudian dia melihat Yudha menatapnya.Tanpa ragu, dia buru-buru bangkit dan menunjukkan ponselnya kepada Yudha.Penelepon yang ditampilkan bernama "Nyonya". Re
Setelah masuk ke dalam mobil, Fabian sedikit curiga. "Benar di Hotel Golden? Bagaimana kamu bisa tahu?"Dia samar-samar merasa bahwa ada sesuatu dengan orang yang ditelepon Yara terakhir tadi. Kalau tidak salah dengar, Yara menyebutnya dengan nama "Pak Revan"."Cepat." Yara tidak menjawab pertanyaannya.Dalam perjalanan, dia mengirimkan pesan lagi kepada Revan: "Terima kasih untuk hari ini. Tolong jangan beri tahu Yudha. Aku pasti akan membalas kebaikanmu kalau ada kesempatan nanti."Yudha melihat pesan itu dan mendengus.Dia mengembalikan ponselnya kepada Revan. "Kamu sendiri yang akan menindaklanjuti proyek ini.""Baik." Saat itulah Revan samar-samar menyadari bahwa bosnya mungkin menyimpan perasaan pada Yara.Setelah meninggalkan ruang rapat, dia segera membalas pesan Yara: "Sama-sama, Nona Yara, beri tahu saya kalau perlu bantuan apa pun. Saya pasti siap sedia!"Dia mengirim pesan lagi: "Silakan lanjutkan urusanmu. Kita ngobrol lagi kalau saya sudah sampai di Wulindra."Dia punya f
Yara menunggu di luar selama setengah jam sebelum pintu kamar mandi akhirnya terbuka.Dia segera menyambut dan menitikkan air mata saat melihat Siska.Dia mengenal Siska lebih dari sepuluh tahun, dari SMA hingga sekarang. Dalam kesannya, Siska seperti berlian yang sangat sempurna.Jernih, transparan, indah ... semua itu adalah Siska, tetapi untuk pertama kalinya Yara melihat semua itu terbantahkan.Dia memeluk Siska, suaranya tercekat karena isak tangis tetapi tidak tahu harus mengatakan apa.Siska berdiri seperti sebatang kayu yang kaku dan berkata dengan tenang, "Rasanya seperti nggak bisa dicuci bersih."Namun, Yara bisa melihat dengan jelas bahwa kulit Siska semuanya sangat merah, pasti sudah digosok dengan keras dalam waktu yang lama.Juno, binatang buas itu, benar-benar pantas mati!Dia mengerti apa yang dimaksud Nicolas barusan, seakan Siska tidak dilecehkan sedikit pun. Siapa yang bisa memahami kerusakan mental dan fisik yang diderita Siska?"Siska." Yara tahu dia tidak boleh t
Setelah Siska ganti baju, dia pun sadar Nicolas tahu sesuatu. Baju yang dikirimkannya adalah sweater berkerah tinggi yang menutupi semua luka di leher Siska.Siska berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum. "Bagaimana? Cocok 'kan? Kelihatannya baju mahal.""Cocok." Yara hampir tidak bisa berkata-kata.Keduanya keluar kamar dan melihat Fabian masih menunggu di luar pintu.Dia pasti berjongkok sangat lama. Saat berdiri, dia terhuyung dan hampir jatuh."Bagaimana keadaanmu?" Dia berpegangan pada dinding dan memandang Siska dari atas ke bawah, terlihat sangat gugup."Nggak apa-apa." Siska menggelengkan kepalanya.Fabian bertanya lagi, "Juno tadi nggak ...""Paman!" Yara memelototi Fabian, merasa pria ini benar-benar tidak punya nalar."Cuma tanya, memangnya kenapa? Anak ini belum menikah. Kalau dia benar-benar diperkosa ..." Fabian merasakan amarah Yara dan dengan sadar diri menutup mulut."Nggak." Siska cepat berkata dan melangkah keluar."Baguslah kalau begitu." Fabian tampak lega dan terta
Setelah kembali, mereka bertiga tidak menyebut apa yang terjadi pada siang hari.Setelah makan malam, Siska kembali ke rumah untuk istirahat lebih awal, dan Fabian memanggil Yara keluar."Rara, kamu kenal Pak Revan?" Dia memandang Yara baik-baik, menebak-nebak hubungan Yara dan Revan."Ya." Yara mengangguk. "Nggak terlalu kenal, cuma ketemu beberapa kali saja."Fabian merasa skeptis. "Kalau Siska? Dia kenal dekat dengan Pak Revan?"Yara tahu apa yang dia pikirkan dan berkata langsung, "Siska nggak kenal Pak Revan. Paman, ambil pelajaran dari hari ini. Jangan minta Siska atau aku pergi untuk urusan apa pun soal pengembangan ini.""Hari ini kecelakaan saja," kata Fabian sambil tersenyum. "Paman janji nggak akan ada dua kali lagi."Yara tetap menolak. "Kalau sudah, aku mau tidur dulu."Fabian mengumpat.Ibu Fabian menghampiri dengan penasaran. "Ada apa? Rara kelihatannya nggak senang."Dia merendahkan suaranya dan berkata, "Fabian, menurutku Rara ini lumayan. Dia muda dan cantik, dan sifa