Yara menunggu di luar selama setengah jam sebelum pintu kamar mandi akhirnya terbuka.Dia segera menyambut dan menitikkan air mata saat melihat Siska.Dia mengenal Siska lebih dari sepuluh tahun, dari SMA hingga sekarang. Dalam kesannya, Siska seperti berlian yang sangat sempurna.Jernih, transparan, indah ... semua itu adalah Siska, tetapi untuk pertama kalinya Yara melihat semua itu terbantahkan.Dia memeluk Siska, suaranya tercekat karena isak tangis tetapi tidak tahu harus mengatakan apa.Siska berdiri seperti sebatang kayu yang kaku dan berkata dengan tenang, "Rasanya seperti nggak bisa dicuci bersih."Namun, Yara bisa melihat dengan jelas bahwa kulit Siska semuanya sangat merah, pasti sudah digosok dengan keras dalam waktu yang lama.Juno, binatang buas itu, benar-benar pantas mati!Dia mengerti apa yang dimaksud Nicolas barusan, seakan Siska tidak dilecehkan sedikit pun. Siapa yang bisa memahami kerusakan mental dan fisik yang diderita Siska?"Siska." Yara tahu dia tidak boleh t
Setelah Siska ganti baju, dia pun sadar Nicolas tahu sesuatu. Baju yang dikirimkannya adalah sweater berkerah tinggi yang menutupi semua luka di leher Siska.Siska berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum. "Bagaimana? Cocok 'kan? Kelihatannya baju mahal.""Cocok." Yara hampir tidak bisa berkata-kata.Keduanya keluar kamar dan melihat Fabian masih menunggu di luar pintu.Dia pasti berjongkok sangat lama. Saat berdiri, dia terhuyung dan hampir jatuh."Bagaimana keadaanmu?" Dia berpegangan pada dinding dan memandang Siska dari atas ke bawah, terlihat sangat gugup."Nggak apa-apa." Siska menggelengkan kepalanya.Fabian bertanya lagi, "Juno tadi nggak ...""Paman!" Yara memelototi Fabian, merasa pria ini benar-benar tidak punya nalar."Cuma tanya, memangnya kenapa? Anak ini belum menikah. Kalau dia benar-benar diperkosa ..." Fabian merasakan amarah Yara dan dengan sadar diri menutup mulut."Nggak." Siska cepat berkata dan melangkah keluar."Baguslah kalau begitu." Fabian tampak lega dan terta
Setelah kembali, mereka bertiga tidak menyebut apa yang terjadi pada siang hari.Setelah makan malam, Siska kembali ke rumah untuk istirahat lebih awal, dan Fabian memanggil Yara keluar."Rara, kamu kenal Pak Revan?" Dia memandang Yara baik-baik, menebak-nebak hubungan Yara dan Revan."Ya." Yara mengangguk. "Nggak terlalu kenal, cuma ketemu beberapa kali saja."Fabian merasa skeptis. "Kalau Siska? Dia kenal dekat dengan Pak Revan?"Yara tahu apa yang dia pikirkan dan berkata langsung, "Siska nggak kenal Pak Revan. Paman, ambil pelajaran dari hari ini. Jangan minta Siska atau aku pergi untuk urusan apa pun soal pengembangan ini.""Hari ini kecelakaan saja," kata Fabian sambil tersenyum. "Paman janji nggak akan ada dua kali lagi."Yara tetap menolak. "Kalau sudah, aku mau tidur dulu."Fabian mengumpat.Ibu Fabian menghampiri dengan penasaran. "Ada apa? Rara kelihatannya nggak senang."Dia merendahkan suaranya dan berkata, "Fabian, menurutku Rara ini lumayan. Dia muda dan cantik, dan sifa
Pria itu menyerahkan menu dengan kedua tangannya.Yara tersenyum. "Pak Revan, atau sebaiknya aku panggil Kak Revan saja? Aku dan Yudha sudah bercerai. Kamu nggak perlu terlalu sopan denganku.""Kak Revan?" Revan langsung menolak dengan kedua tangannya. "Jangan, jangan. Panggil seperti biasa saja. Saya nggak terbiasa.""Ya sudah." Yara tidak memaksakannya. Dia sudah bersama Yudha selama bertahun-tahun, jadi dia bisa menebak kemampuan Revan."Terima kasih banyak atas bantuanmu kemarin." Dia mengganti anggur dengan teh. "Aku kurang enak badan akhir-akhir ini dan nggak boleh minum minuman beralkohol. Aku ingin bersulang untukmu."Revan buru-buru mengangkat gelas anggurnya. "Sama-sama, Nona Yara. Bukan masalah."Alhasil, sebelum dia sempat minum, dia mendengar ponselnya berdering di atas meja. Dia segera meletakkan gelas dan mengambil ponselnya.Sebuah pesan dari Yudha: "Tanyakan apa yang salah dengan kesehatannya."Revan tersenyum canggung. "Nona Yara, kurang enak badan kenapa? Ada yang di
Keluar dari ruang pribadi, Yara tiba-tiba bertemu Fabian."Paman, kenapa kamu ada di sini?"Fabian buru-buru menarik wanita itu ke samping sambil menunjuk ke arah ruang pribadi tadi. "Pak Revan ada di sana?"Yara mengangguk."Dia mengajakmu makan malam begitu tiba ke Wulindra?" Fabian berpikir sebentar. "Cuma kalian berdua?""Ya, aku ingin berterima kasih padanya." Yara tidak menyembunyikan apa pun.Ekspresi Fabian berubah. Hanya ada dua orang, tetapi mereka memesan ruang pribadi yang begitu besar. Apa lagi itu adalah ruang pribadi yang dilengkapi dengan kamar tidur. Jelas sekali apa yang mereka lakukan.Dia langsung membenarkan dugaannya bahwa Yara pasti adalah kekasih gelap Revan.Pria itu tersenyum tipis. "Kamu sudah bicarakan soal uang ganti rugi dengan Pak Revan? Kamu punya hubungan dekat dengan Pak Revan. Kalau kamu yang bilang, pasti dia langsung setuju.""Aku nggak bilang apa-apa." Yara berkata terus terang. "Paman, menurutku harganya terlalu tinggi. Aku nggak bisa bantu.""Ter
Revan memotongnya. "Kalau nggak ingin mendapat masalah, pergi saja!"Dia mendengus jijik. Dia paling meremehkan pria seperti dua yang bahkan tega mengkhianati kerabat sendiri.Fabian sangat ketakutan sampai banjir keringat dingin. Dia tidak menyangka Revan benar-benar berbeda dari Juno. Dia benar-benar tak berdaya menghadapi orang-orang kelas ini.Dia menyeka keringat di dahinya. Kemudian dia memikirkan hubungan antara Yara dan Pak Yudha dan langsung mendapatkan kepercayaan diri lagi."Apa hebatnya? Main-main dengan wanita janda saja, sudah menganggap diri sebagai orang terhebat?" Fabian mendengus keras.Dia masih sedikit khawatir tentang kata-kata Revan tadi, jadi dia bersiap pergi menemui tim pengembang.Alhasil, setelah menelepon, dia justru mendapat kabar bahwa dirinya dipecat."Pak Ketua, dengarkan penjelasanku ..." Jika Fabian dipecat, dia akan kehilangan muka di Wulindra. Seperti apa kehidupannya nanti?"Fabian," kata ketua tim tanpa daya. "Aku nggak bisa apa-apa untuk membantum
Yara dan Siska berencana tinggal di Wulindra untuk sementara waktu, sehingga mereka sudah mengosongkan rumah di Selayu.Ingin pulang tiba-tiba sudah pasti tidak mungkin.Namun, Yara juga tahu mereka tidak bisa selamanya tinggal di keluarga Wardhana dan harus segera mencari rumah di Wulindra.Dia tersenyum dan bertanya kepada Mustika, "Bibi, kamu ingin pulang ke Selayu? Nggak mau tinggal di Wulindra?""Nggak." Mustika menggeleng dan memandangi sungai jernih di hadapannya. "Rara, kamu percaya nggak, seseorang nggak akan bisa memutus keterikatan pada tanah kelahirannya sepanjang hidupnya. Bahkan meski nggak banyak kenangan indah di sana."Suaranya sangat lembut dan halus, membuat hati terasa nyaman. "Saat dalam masa-masa tersulit, mimpiku dipenuhi dengan pemandangan kampung halamanku ini.""Kalau saja nggak ada Siska." Mustika tersenyum tipis. "Aku mungkin berniat mencari tempat di sini saja dan mati perlahan sendirian.""Bibi!" Kata-kata itu membuat Yara merasa sesak. "Aku dan Siska akan
"Lalu kenapa?" Wanita tua itu beralasan dengan percaya diri, "Kalau adikmu sukses, bukannya kamu juga ikut kebagian untung?""Kebagian untung?" Mustika terkekeh. "Lalu selama tahun-tahun aku nggak di sini, berapa banyak keuntungan yang sudah kamu ambil, sebagai ibunya?"Wanita tua itu tercekat. "Apa kamu buta? Nggak bisakah kamu lihat betapa indahnya hidup kami? Setelah kami dapat ganti rugi tanah nanti, Fabian akan membelikan rumah besar untukku.""Iya juga. Kamu harus ikut kalau sudah ada rumah besar. Kalau nggak, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk membayar pembantu?"Begitu Mustika selesai berucap, wanita tua itu menamparnya. "Beraninya kamu bicara seperti itu!"Mustika menutup wajahnya dan memandang ibunya tak percaya.Inilah ibu yang melahirkan dan membesarkannya, tetapi ibu ini jugalah yang menginjak-injak dirinya sejak dia masih kecil, hanya karena dia perempuan.Bertahun-tahun, dia sangat ingin mengakhiri hidupnya. Baru setelah memiliki Siska, dia mendapat keyakina